🥀 Chapter 23 Happy New Year

7 2 0
                                    

🥀 Chapter 23 Happy New Year 🥀

🥀 Olkan pulang saat hari gelap. Tadi, pria itu sempat berteduh di kediaman Kiara begitu sampai hingga hujan reda.

Ia dibuat bingung akan sikap Kiara yang mendadak dingin. Wanita itu meminta Bu Alka membuatkan kopi untuk Olkan, tetapi sama sekali tak keluar setelah masuk kamar. Hingga Olkan pun tergerak untuk mendatanginya.

"Non, hujan di luar sudah reda. Aku pamit pulang, ya," katanya tepat di depan pintu kamar Kiara.

Olkan menghela napas saat tidak ada sahutan dari dalam. Berpikir nonanya sudah tidur, Olkan akhirnya beranjak pulang setelah pamit pada Bu Alka.

Akan tetapi, tanpa pria itu ketahui, Kiara mengintip dari jendela saat Olkan memacu kuda besi menjauhi rumah klasik berlantai dua. Sorot matanya tampak dingin tak terbaca, entah apa yang sedang dipikirkan.

Dengan perasaan tak karuan akan sikap Kiara yang tiba-tiba berubah, Olkan beruntung tidak salah jalan pulang seperti waktu itu.

Ia kini sudah duduk di sofa bersama Arnest sang pemilik kuda besi yang dipinjamnya. Pria itu sudah mandi dan wangi tentunya.

"Seingatku, ditelepon tadi kau sangat senang, Olkan. Kenapa wajahmu tertekuk seperti itu?" tanya Arnest tidak senang melihat raut Olkan yang lesuh.

"Aku tidak tahu kenapa Non Kiara tiba-tiba ... bersikap dingin padaku."

"Bisa dijelaskan perubahan sikapnya seperti apa?" Arnest kemudian meraih cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

"Ya ... waktu aku ajak jalan naik motor, dia sangat senang. Tapi ... karena hujan, jadi kita berteduh di warung pinggir jalan. Terus ... ya begitu."

"Begitu bagaimana?"

"Kita pesan kopi sama makan snack di warung itu."

"Lalu?"

"Lalu ... kau meneleponku."

"Setelah itu?"

"Setelah itu ...." Olkan terdiam menyadari sesuatu, ada hal yang memantik syaraf otaknya. Namun, masih belum jelas.

"Kau ingat, kau menyebutkan namaku saat di telepon tadi. Itu artinya dia marah karena kau berbicara denganku lewat telepon." Arnest menyimpulkan cerita singkat Olkan. Di mana hal sepeleh itu bisa menjadi pemicu yang paling masuk akal kenapa Kiara marah, menurutnya.

"Tapi ... aku hanya menerima teleponmu. Itu juga hanya sebentar. Tidak mungkin kan, Non Kiara marah hanya karena hal sepeleh semacam itu?"

"Akan lain ceritanya kalau wanita yang kau panggil Non Kiara itu tidak memiliki perasaan padamu, Olkan."

"Jadi?"

Arnest menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Ia memilih untuk tidak membalas, membiarkan Olkan menemukan sendiri jawabannya.

"Nest." Olkan memohon, meminta Arnest menjelaskan.

Sayangnya, Arnest malah menyesap kopi, menikmatinya hingga sisa sedikit.

"Apa Non Kiara ... benar-benar marah karena aku menerima telepon darimu, Nest?"

Arnest mengabaikan perkataan Olkan, ia bangkit bersiap pulang.

Olkan ikut bangkit dan berdiri di belakang Arnest. "Ini sudah malam, Nest. Kau tidak mau menginap saja? Kau bisa tidur di kamar Ivana."

"Kau ingin membuat nonamu semakin marah?" balas Arnest seraya berbalik, menatap Olkan.

"Kenapa dia harus marah?"

"Dengarkan aku baik-baik, Olkan."

Olkan mengangguk patuh seperti anak kecil.

Happy New Year (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang