Utahime

299 21 2
                                    


.


.


.



Suhu dingin bulan ini perlahan mulai terasa. Sebagian orang menggunakan pakaian tebal untuk berjaga-jaga dari kondisi salju di bulan Desember ini.

Beberapa lagu-lagu populer dimainkan di beberapa toko berbeda. Suara tawa dari berbagai kalangan malam itu menjadi satu hingga membuat suasana malam menjadi ramai dan hangat walaupun salju satu-persatu turun, ditambah dengan cahaya lampu-lampu berwarna-warni membuat semuanya semakin bewarna.

Tapi sepertinya itu semua tidak sesuai dengan kondisi seorang gadis yang kini berjalan dengan cepat dengan air mata yang kini ditahannya agar tidak mengalir lagi.

Untuk apa menjauhkan air mata hanya karna seseorang yang sombong dan tidak lebih dari seonggok sampah, bukan?

Utahime mempererat kardigan yang dipakainya . Kakinya sudah mulai kedinginan karna seragam yang dikenakannya hanya mencapai bawah lututnya, tidak bisa memberinya kehangatan karna kaos kakinya tidak terlalu tebal.

Langkah kakinya membawa gadis itu menaiki rumahnya yang berada di tingkat atas.

Melihat tempat tinggalnya, Utahime berpikir mengapa dirinya merasa kecewa. Jelas saja Satoru berkata seperti itu karna kasta mereka berbeda.

Jika rumah Utahime sederhana, maka rumah Gojo besar dan desainnya berbeda dari rumah-rumah lain di sekitarnya.

Jika Utahime menggunakan kipas, maka Satoru menggunakan AC.

Jika kamar Utahime sempit, maka kamar Satoru sudah pasti luas.

"Dadaku sesak." Gumamnya di depan pintu rumahnya.

Jika dilihat dari atas sini, terlihat semua aktivitas sebagian orang di kota itu. Bunyi lagu yang bercampur aduk terdengar dari sini.

Utahime membuka kunci pintu rumahnya, namun gerakannya terhenti seketika saat mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. Ia menoleh lalu mendapati laki-laki bersurai putih itu berjalan dengan cepat ke arahnya sambil memanggil namanya.

Tidak ingin berbicara dengan Satoru, Utahime segera membuka pintunya lalu masuk ke dalam dan langsung menutupnya, tepat sebelum tangan Satoru berhasil menggapainya.

"Utahime-"

"Ngapain ke sini? Dasar cabul!"

Perkataan Satoru langsung tertahan di kerongkongannya. Ternyata Utahime mendengar semuanya dari jauh-jauh pembicaraan mereka tadi.

"Semua yang kau katakan benar, kok. Aku hanya terbawa emosi saja." Ucap Utahime dari dalam. "Jangan pikirkan aku. Aku baik-baik saja."

Satoru menyerah untuk berusaha membuka pintu rumah Utahime. Sebelum benda itu rosak, Satoru memilih untuk duduk sambil bersandar pada pintu itu -sama seperti yang dilakukan Utahime.

Mereka diam untuk beberapa detik, bunyi instrumental dari piano tertangkap oleh telinga keduanya yang membuat mereka terbawa oleh alunan musik itu.

Utahime mengeratkan kardigan yang ia kenakan, sementara Satoru di luar mengacak-acak rambutnya dengan gusar. Penyesalan yang datang terlambat.

"Utahime..." Dirinya memanggil nama itu dengan lembut. Utahime menghiraukan, dan Satoru tau bahwa kali ini Utahime benar-benar marah.

Laki-laki bersurai putih itu menengadah keatas, nafas hangat keluar dari mulutnya. Memikirkan wajah marah Utahime entah mengapa membuat dirinya rindu dengan omelannya setelah berurusan sana-sini dengan banyak hal.

Tapi harusnya itu menjadi kesalahan dirinya sendiri karna telah menambah urusannya.

"Dari kecil aku sudah dilatih untuk menepati julukan Yang Terkuat hingga aku tidak punya waktu memikirkan sesuatu seperti ini."

Dari balik pintu itu, Utahime hanya diam, menunggu Satoru menghabiskan kalimatnya.

"Terkadang aku penasaran dengan apa yang dilakukan anak muda pada umumnya. Tapi aku benar-benar tidak punya waktu." Sambungnya lagi.

"Kau popular di kalangan gadis-gadis. Sedangkan aku sama sekali tidak pernah bermasalah dengan laki-laki, bahkan daya tarik saja aku tidak punya." Jawab Utahime setelah berdiam diri untuk beberapa waktu. Hal itu membuat Satoru sedikit lega karna Utahime mau bicara.

"Mungkin hal itu sudah biasa menurutmu, tapi untuk aku yang bahkan menyentuh laki-laki saja tidak pernah...itu...sungguh..." Utahime tidak melanjutkan kata-katanya, ia lebih memilih untuk menelannya sendiri daripada membuat hubungan mereka lebih membingungkan lagi.

...membuatku bingung....

Apa semua kata-kata Satoru saat itu hanyalah kebohongan semata-mata karna pikirannya sedang tidak baik saat itu?

"Maaf....."

"Aku bahkan sampai menjalankan hukumanku sebagai seorang miko. Aku sempat menunda-nunda pekerjaanku hingga menumpuk karna terjangkit demam. Semuanya karna kau, Gojo."

Tidak ada yang bisa dikatakan oleh Satoru lagi. Kata-kata Utahime benar.

Harusnya dia mengendalikan diri dari awal karna tau bahwa Utahime itu seorang miko. Ya, gadis suci yang ditugaskan sebagai penjaga kuil.

Harusnya Satoru tau bahwa seorang miko tidak bisa melakukan tindakan 'romantis' dengan orang.

Pada akhirnya, Utahime lah yang menanggung risiko akibat dari tindakannya. Perkataan 'Maaf' juga tidak akan merubah apa-apa.

Kini Satoru memperkuat kepalan tangannya, berharap semuanya bisa berjalan normal lagi mengingat ia mempunyai banyak sekali urusan di luar sana. "Apa yang harus kulakukan untuk menebus tindakan bodohku Waktu itu?" Tanyanya dengan penuh hati-hati. Tapi jauh dalam dirinya, Satoru berharap Utahime mengatakan hal-hal yang mau didengarnya, misalnya Utahime menerima permintaan maafnya.

Tapi Satoru pasti tau, mustahil untuk mendapatkan itu.

"Aku tidak tau, Gojo. Yang pasti, aku tidak mau berbicara denganmu untuk sementara."

Baru saja Satoru mau mengangkat bicara, ia merasakan pergerakan dari dalam. Sepertinya Utahime sudah beranjak pergi dari pintu.

Satoru menghela nafas frustasi.

"Perempuan itu benar-benar mengerikan, ya?" Gumam Satoru pada diri sendiri.

Sedangkan di dalam, Utahime sudah tidak peduli lagi dengan Satoru-seperti yang dilakukan kepadanya. Utahime hanya ingin fokus dengan pekerjaannya sebagai seorang penyihir tanpa memikirkan perasaan pribadi.

Couses Probleml||GojoHimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang