BAB 9

535 9 0
                                    

Hujan gerimis turun pada awan yang memang sudah mendung pagi itu. Titik air jatuh membasahi rambut blonde serta gaun hitam yang Tessa kenakan. Sigap Emrel memayunginya.

Berdiri mematung wanita itu di samping mobil hitam gelap miliknya. Menatap lurus ke depan yang merupakan area pemakaman. Terdengar isak tangis pilu di tempatnya berdiri, dari beberapa orang kerabat jasad wanita yang hendak dimakamkan.

Tessa berjalan kaku di antara satu kaki dan dua tongkat miliknya yang diarahkan maju secara bergantian— antara tongkat kemudian kaki pun seterusnya.

Wanita itu baru menjalani operasi penyatuan tulang kering pada kakinya yang patah dan remuk tadi malam. Gips tebal masih menempel pada kakinya. Namun pagi ini ia bersikeras keluar dari rumah sakit untuk menghadiri pemakaman seseorang.

Di sana dirinya berdiri, di belakang beberapa orang yang sedang menangis meratapi kepergian kerabat mereka. Berdiri mematung terpaku di atas tanah.

Richard. Kabut hitam gelap seolah mengitari sisi pria itu. Berdiri tegak nan kokoh tak tergoyahkan. Tubuh besarnya terbalut kemeja hitam sehitam hati dan pikirannya saat ini, terbuka beberapa kancing dibagian atasnya. Kacamata hitam gelap tersangga pada pangkal hidungnya yang mancung.

Tertegun. Bola mata Tessa membulat tatkala dirinya menangkap sosok pria tersebut. Hening, gelap, hitam aura pria itu terpancar. Wajah dingin tegas juga tenang seperti lautan menatap lurus pun terpatri ke arah Tessa.

Di sana pandangan keduanya bertemu. Menatap satu sama lain dari jarak yang cukup jauh.

Pria itu bergeming, tak bergerak ataupun mengeluarkan suara. Terpaku di atas tanah basah yang nantinya akan menyatu dengan tubuh dingin kekasihnya.

****

DUA MINGGU KEMUDIAN.

“Di mana Tuan?”

“Tuan berada di minibar lantai dua, Nyonya.”

Masuk ke dalam lift untuk menuju lantai dua. Tessa pergi menuju minibar yang kala ia datang sudah tidak karuan rupanya.

Botol-botol kaca bekas alkohol terserak pada meja maupun lantai. Gelas panjang, pendek hingga besar berisikan berbagai jenis minuman berdiri tumbang dan pecah. Serta seorang pria mabuk tidak sadarkan diri yang telungkup setengah tubuhnya di atas meja marmer mahal di sana.

Melengos wajah cantik itu ke samping bersama decakan halusnya lalu memandang kembali ke arah pria frustasi di depan.

“Sudah berapa lama dia seperti ini?” tanya Tessa pada seorang pelayan yang berdiri menunduk di belakang.

“Dua Minggu Tuan selalu mabuk dan tidak ingin diganggu. Saat pelayan akan membereskan tempatnya beliau marah.”

“Marah seperti orang gila, uh?” Tessa berdecih. Malas benci memandang Richard. Lalu ia angkat sebelah tangan kanannya untuk meminta pelayan itu pergi. Mundur beberapa langkah kemudian berbalik, pelayan tersebut meninggalkan tempat berjalan menjauh.

Mendorong pelan botol kaca alkohol itu menggunakan kakinya yang terbalut higheels cantik setinggi tujuh inch hingga menimbulkan bunyi denting saat botol-botol tersebut menggelinding di atas lantai pun bertabrakan dengan botol lainya.

Richard mendadak menggeram, merasa terganggu dengan suara-suara berisik yang timbul di sekitarnya. Mendorong tubuhnya bangkit dengan kedua tangan kokohnya, mengerjap beberapa kali matanya yang berat dan buram.

“Berisik, Bitch! Sudah kukatakan untuk tidak menyentuh barang-barang itu.” Richard membentak, menunjuk kuat telunjuknya ke arah lantai. Berbicara tanpa memandangi lawan bicaranya.

Tessa berjongkok, mengambil botol kemudian kembali berdiri. Mengangkat botol itu ke atas lalu melemparnya kuat-kuat menghempas lantai hingga pecah berserakan dan menimbulkan bunyi yang lebih nyaring dari sebelumnya.

Melengos cepat pun tajam. Mata memerah murka itu kini menyoroti Tessa tak berkedip. Tajam alisnya saling bertaut menampilkan mimik wajahnya yang semakin marah.

“APA YANG KAU LAKUKAN?” memekik berteriak garang sampai urat-urat besar pada lehernya menonjol keluar. Bangkit dirinya lalu berjalan cepat namun limbung ke arah Tessa.

Saat Richard datang, Tessa langsung mengepal jemarinya kuat-kuat menggenggam botol di tangannya lalu ia hantam kepala pria itu dengan botol tersebut yang spontan pecah dan darah segar mengalir langsung dari kepalanya yang bocor.

Pening. Kepala Richard terasa sakit pun berkunang-kunang antara efek mabuk dan kepalanya yang terluka. Tubuh besarnya tiba-tiba limbung jatuh ke atas lantai.

Pria itu sangat berantakan tidak karuan. Kemeja putih yang dia kenakan kotor karena tertumpah minuman, rambutnya sangat berantakan, wajah lesu pun tidak ada gairah hidup.

Tessa bersimpuh di hadapannya. Memegang rahang Richard yang langsung dihempaskan lengan Tessa oleh pria itu. Mengangkat sebelah alisnya wanita cantik itu kemudian berkata, “Apakah wanita itu pantas mendapatkan perhatian seperti ini darimu?”

Terkekeh Richard, lalu kekehannya berubah menjadi tawa seketika berubah lagi menjadi tawa menyedihkan. Alisnya bertaut pun lingkar matanya yang memerah berair.

“Tidak.” Pria itu menggeleng lemah. “Tidak pantas. KAU TIDAK PANTAS MEMBUNUHNYA, TESSA!” berteriak memekik tajam.

Richard kembali berdiri dan mencekik leher Tessa dengan murka pun ia angkat tubuh ramping itu hingga melayang tak menginjak lantai.

Tidak ingin dihempas untuk kedua kalinya, kali ini dengan sigap Tessa mengangkat kakinya lalu menendang pangkal paha Richard sampai pria itu melepaskan cekikan tangannya pada leher Tessa.

“AAARGGHH! DAMN BITCH! DAAAAMNN!” Jatuh lagi ke atas lantai kini pria itu pun terus berteriak-teriak sambil memegangi telurnya yang hampir pecah akibat tendangan Tessa.

Ngilu, sakit, rasanya seperti menuju ke kematian menyusul Anne yang Richard rasakan saat ini. Pria itu mengamuk, menangis pilu, kemudian menjerit-jerit pun mengumpat kembali.

“Gila,” decak Tessa tidak percaya, menggeleng kepalanya singkat berkaca pinggang. Dia pandangi wajah Richard yang tidak karuan lalu kembali bersimpuh di hadapan pria itu dan memegang rahang Richard lagi dengan kuat-kuat kini. “Demi wanita sampah rendahan seperti dirinya kau menjadi seperti ini, uh?”

“Di mana Richard Carter Douglas yang berwibawa itu, di mana pria yang paling disegani pun ditakuti. Pria itu hilang akal, gila, frustasi karena seorang wanita sampah jalang menjijikan. Cih,” timpal Tessa merasa jijik memandangi wajah Richard yang begitu frustasi.

“Ini karena hatiku, perasaan, dan cintaku untuk wanita itu hingga aku seperti ini. Kau tidak akan pernah merasakannya karena kau tidak memiliki hati maupun cinta sepertiku, Tessa Hoffman.” Nafas Richard tersengal-sengal beriringan dengan isak tangisnya yang terdengar sangat memilukan.

“Kau tidak tahu rasanya seperti apa kehilangan seseorang yang begitu kau cintai. Sakit hati, pikiran, dan juga batin kau begitu tersiksa seperti di neraka.” Lalu tangisannya kembali menjadi kekehan-kekehan pelan pun mengejek, memandang wajah Tessa menggunakan matanya yang sembab dan memerah. “Apa yang diketahui oleh manusia-manusia Hoffman, hah? Manusia egois, gila, dan hobi merebut kehidupan orang lain. Kumpulan manusia gila.”

Tessa bergeming memandang wajah lesu tidak berdaya itu pun darah segar masih mengalir pada pelipisnya yang bocor.

“Kau tidak akan tahu apa rasanya dikhianati oleh orang yang kau percaya. Jika saja kau merasakan apa yang diriku rasakan, aku yakin kau akan lebih memilih untuk mati dan bunuh.”

“Pria bodoh. Maka itu gunakan logikamu ketika mencintai seseorang,” timpal Tessa yang kemudian mendorong kepala Richard dengan jari telunjuknya.

Tawa Richard pecah kini, menggelegar pada seisi ruangan. “Ya—ya. Kau benar. Gunakan logika untuk mencintai seseorang.”

*****
Jangan lupa pake logika kalian
Kalau mencintai seseorang ya.
Jangan bodoh kaya lelaki bucin satu ini Wkwkkwkwk.

See you🌹🌹

TRAPPEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang