Prolog

12 1 0
                                    

Rintik hujan di pagi hari

Basah semua tanaman mawar

Kupikir bunga mana yang mewangi

Nyatanya kau sang mawar mekar

*

Pramoedya mengernyit, seumur-umur baru kali ini tong sampah tempat persembunyiannya itu bau wangi. Padahal saat datang kemari tadi, ia dapati Bu Broto-pemilik warung kopi perempatan-masih membuang sampah ikan asin di sana. Beberapa jam lalu juga masih ada kucing oren yang buang air di tempat yang sama.

Tidak bisa dibiarkan! Kepalang penasaran, Pram akhirnya berdiri. Dari dua tong sampah besi yang besar itu, pasti ada yang sengaaja membuang wewangian ke salah satunya. Maka dengan keyakinan penuh, ia melongok, mencari-cari keberadaan benda tersebut.

Nihil hasilnya. Hanya sekumpulan plastik berisi macam-macam sampah rumah tangga. Daripada muntah, Pram memilih menyudahi kegiatan itu. Lantas kembali duduk meringkuk di belakang tong sampah, dengan harapan ia akan keluar sebagai pemenang dalam permainan petak umpet hari ini.

Napas Pram semula tenang, tetapi langsung tercekat setelah menoleh ke belakang.

"AAA!!" teriak Pram dan gadis remaja lain di balik punggungnya.

Pramoedya terpental keluar dari area persembunyian, sementara si gadis yang semula setengah jongkok, kini jatuh terduduk. Telapak tangannya menutupi seluruh wajah yang menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus takut.

"Siapa kamu!" seru Pram, telunjuknya lurus mengarah pada seorang remaja lain yang ada di sana.

Si gadis sontak panik, mendekati Pram untuk menutup mulutnya supaya tidak berisik. "Sstt! Aku lagi sembunyi, jangan teriak!"

"Aku juga lagi sembu-"

"MAS PRAM! TENG! KAMU JAGA!"

Pram lagi-lagi berjengit kaget, seruan itu memotong kalimatnya. Ia lantas berdecak, menatap si gadis dengan jengkel.

**

Adi, keponakan Pram yang terpaut dua tahun dengannya itu berjalan di depan. Sedangkan Pramoedya dan gadis berpakaian kuning mengikuti dalam diam, tidak ada satu dari mereka yang berniat membuka pembicaran. Bahkan hingga ketiganya sampai di area perkebunan karet.

"Wiiih ... Pram bawa cewek!" sorak Tama, sesaat Pram menjejak langkah di area bermain mereka.

Seruannya tentu mengundang berisik dari mulut-mulut lain yang ada di sana. Ditambah siul-siul menjengkelkan dari mereka, menambah kesan heboh pada suasana sore yang tenang hari ini.

"Ngomong lagi, aku tonjok," ancamnya, mengarahkan kepalan tangan pada remaja laki-laki berambut keriting bernama Tama.

Gelak tawa menjadi balasan yang Pram terima. Kawan-kawannya berhamburan ketika ia mulai serius mempercepat langkah. Masih dengan tawa yang mengudara, mereka berusaha menghindari pukulan main-main yang Pram layangkan.

"Sudah-sudah, berhenti dulu mainnya. Kita makan-makan!" Jaka berteriak, meraih tas kumal yang tergeletak di bawah pohon karet.

"Ndak usah sungkan, Mbak. Santai aja," ucap Adi, anak laki-laki yang tadi meneriaki Pram di tempat persembunyian.

Tikar digelar seadanya, lalu makanan ringan dikeluarkan dari tas, dibiarkan berserakan di tengah. Lima orang-termasuk Pram dan si gadis-duduk memutar, menikmati kudapan masing-masing.

Pramoedya diam sejenak, menyadari bahwa remaja perempuan di sampingnya hanya bisa memperhatikan. Maka dengan sukarela, ia bagi jeruk utuh di tangannya menjadi dua. Kemudian disodorkan ke depan wajah ayu si gadis.

"Makan," ujar Pram.

Awalnya ragu, tetapi tak urung perempuan itu menerima pemberian Pram. "Terima kasih."

Pram mengangguk. Pertama kali dengar suara normal dari si cantik. Baru mengerti pula kalimat mendiang bapaknya dulu, bahkan kain sutra pun kalah lembutnya dari suara wanita.

Dua suap ia nikmati jeruk yang manis rasanya, sebelum satu suara mengalihkan perhatian.

"LAYLA!"

Dentum tapak kaki mengusik pendengaran, bersamaan dengan suara melengking. "Ayo, pulang! Ibu cari kamu."

Empat orang pemuda yang ada di sana sontak berdiri, bertanya-tanya siapa yang bernama Layla di antara mereka. Tentu, tak lain dan tak bukan gadis yang Pram bawa bergabung sepuluh menit lalu.

"Ayo, Layla!" desak perempuan berambut sebahu itu, napasnya terengah.

Sosok yang didesak tentu panik, bingung harus melakukan apa selain mengikuti langkah kawannya yang tergesa. Namun, Layla mendadak berhenti, memutar tubuhnya 180 derajat ke arah gerombolan laki-laki yang tercenung di bawah rindang pohon karet.

"Kamu bisa tangkap kupu-kupu?" tanyanya, tertuju pada Pramoedya.

Remaja itu melongo, berhasil tersadar setelah mendapat pukulan di belakang kepala. Membuatnya meringis sakit.

"Bisa?" Layla mengulang pertanyaan.

"Bisa, bisa. Kenapa?"

"Besok temani aku tangkap kupu-kupu, untuk tugas sekolah. Kita ketemu di sini, pukul satu. Setuju?" Tangan lentik itu menjulur, meminta persetujuan dari Pram.

Cukup lama Pramoedya pandang tangan itu, hingga akhirnya ia raih untuk menyatakan kesepakatan.

"Aku Layla. Salam kenal," katanya sembari tersenyum, "Pram."

Siul-siul menggoda langsung terdengar, tepat setelah Layla dan temannya undur diri dari sana. Sungguh, rasanya gendang telinga Pram bisa pecah sebentar lagi.

"Asal Mas Pram tahu, dia itu cucu yang punya perkebunan karet ini. Bapaknya dosen perguruan tinggi di luar kota. Jarang-jarang mereka mau ke sini, apalagi sampai berkenalan dengan kita seperti tadi. Mas termasuk beruntung," jelas Adi panjang lebar.

"Ah, sudahlah. Dia cuma mau bantuanku, toh." Pram melahap sisa jeruknya. "Ayo, bereskan. Kita pulang, wis surup."

Kontras dengan kalimat yang terucap dari bibirnya, Pram sulit menampik bahwa cucu pemilik perkebunan karet itu cukup menawan. Rambutnya legam bergelombang, wajahnya rupawan dengan rona merah muda di pipi, bibir tipis, hidung kecil yang mancung, serta bulu mata lentik pada mata indah serupa rubah. Selayaknya ia bersuara, kulit yang baru saja Pram genggam juga sama, selembut sutra tanpa celah.

Layla namanya. Pramoedya bilang, ia terpesona.

Mawarku, LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang