Bab 2; Hujan Beserta Badai

1 0 0
                                    

Kudayung perahuku
Tak peduli badai mengancam
Bening obsidianmu itu
Buatku jatuh hingga tenggelam

*

Sekolah libur hari Jum’at, oleh karenanya aku berada di rumah hari ini. Di luar hujan, gerimisnya datang-pergi sejak semalam, tetapi baru menderas siang ini. Udara sejuk masuk ke kamarku sebab jendelanya terbuka sedikit. Aku tak acuh, lagipula mustahil ia membekukanku.

Hampir dua minggu aku tidak mengunjungi Pram di perkebunan, alasannya satu, aku sibuk mempersiapkan agenda ulang tahun sekolah dan latihan untuk drama yang akan tampil mengisi rangkaian acara. Parahnya, hari libur ini hujan, makin sulit aku meminta izin keluar rumah.

Lama aku melamun di meja belajar, membiarkan buku diariku terabaikan, sementara mataku sibuk menatap ke luar jendela. Aku perhatikan gerbang depan rumah dari kamarku di lantai dua, membayangkan bagaimana jika Pram datang dan melambaikan tangan. Sungguh, aku sudah kepalang rindu senyum manisnya.

Namun, memang sebaiknya jangan bermain-main dengan harapan pada Tuhan. Bisa jadi dikabulkan tanpa aba-aba. Kini, aku justru lihat Pram di sana, menggedor gerbang sembari memanggil-manggil nama ibuku. Bajunya basah, dia bawa kantong plastik hitam di tangan kanan.

Sontak aku berdiri, mendekat ke jendela supaya bisa melihat Pram lebih jelas. Laki-laki itu gemetar kedinginan, dan ibuku baru keluar dari pintu utama dengan payung pelangi favoritnya. Sesekali kami saling memandang, tapi mungkin Pram sungkan karena ada ibuku di hadapannya.
Aku tersenyum, mengangkat tangan sebatas telinga, melambai sedikit. Sepeninggal ibu, Pram langsung menyungging senyum lebar. Di balik gerbang yang tertutup itu, ia angkat tangan tinggi-tinggi, mengayunkannya ke kanan dan ke kiri dengan semangat. Lalu melangkah pergi setelah mengucap selamat tinggal tanpa suara.

“Layla!” panggil ibu dari bawah tangga. Aku langsung melangkah cepat memenuhi panggilan beliau.

“Bantu Ibu memasak, ya? Kamu senggang, kan?” tanyanya, kuberi anggukan sebagai jawaban.

Aku mengekor langkah Ibu menuju dapur, menelisik sekitar guna mencari plastik hitam yang Pram berikan beberapa menit lalu. Siapa tahu isinya bahan masakan, atau makanan ringan, Benar saja, benda yang kucari tengah Ibu genggam, beliau mengintip isinya.

“Dari Pram, ya, Bu?” Aku beranikan buka mulut.

Ibu mengangguk. “Iya, pesanan Ibu dua hari lalu. Entah kenapa jadi Pram yang bawa, padahal ikan ini Ibu pesan ke Mbak Eni di pasar.”

Oh, ikan. Aku jadi senyum-senyum sendiri, dalam hati merapal doa semoga tidak tertangkap basah.

“Mungkin Mbak Eni sibuk, jadi minta tolong Pram?” terkaku, seketika disetujui oleh Ibu.

“Hmm, bisa jadi.” Beliau melanjutkan kegiatannya membersihkan sisik ikan. Sedangkan aku mengupas bawang dan menyiapkan bumbu lain.

**

Agenda makan siang hari ini terlaksana dengan tenang dan khidmat. Tuan Sudarsono, Kakekku, menikmati hidangannya tanpa mengucap sepatah kata. Diam-diam aku merapal kalimat syukur, sebab biasanya beliau suka mengomentari masakanku—padahal sama saja resepnya dari Ibu. Namun, keterdiaman ini juga membuatku khawatir. Sejak selesai makan, Kakek tidak melepaskan pandangannya dariku. Entah rencana apalagi yang beliau ingin aku lakukan.

Mawarku, LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang