Bab 1; Merah dan Merah Muda

5 1 0
                                    

Bunga mawar kugenggam satu

Tak sadar tercucuk durinya

Katakanlah aku rindu

Tapi aku malu mengakuinya

*

Sudah seminggu aku tak melihat batang hidung Layla. Baik di perkebunan karet, gudang penyimpanan, bahkan di kediaman kakeknya. Padahal gadis itu bilang dia tinggal di sana. Selama itu juga aku memikirkan kalimat Mas Danang tempo hari, tentang lalat yang tidak akan pernah menjadi takdir sebuah mawar.

Aku hampir hilang akal, rasanya semua hal di dunia ini jadi rumit semenjak aku bertemu dengan Layla. Kawan-kawan sering meledekku sebab jarang andil dalam permainan petak umpet, aku lebih suka menyendiri. Di rumah, aku melamun dari pagi sampai malam, bahkan menolak ajakan Adi untuk memancing—aku pernah bilang kalau memancing adalah hobiku, kan?

Terlebih sekarang Bu Broto kerap kali menawarkan makanan gratis dari warungnya, ketika aku lewat sana untuk pergi ke tong sampah tempat pertama kali aku bertemu Layla. Apa beliau pikir aku ke sana karena menjadi semakin miskin? Ah, salahku juga. Tidak mungkin gadis secantik cucu pemilik perkebunan itu tiba-tiba nongkrong di area pembuangan sampah.

"Pram!" panggil seorang pemuda dengan seragam sekolah yang berantakan.

"Weii, Mar! Apa kabar? Lama ndak kelihatan," balasku, seketika menyungging senyum lebar.

"Baik. Kamu sendiri, bagaimana? Aku sudah lama ndak lihat kamu di toko Pak Bambang."

Ini Amar, teman seperjuanganku semasa SMP. Dia anak seorang pemilik restoran yang beroperasi di pusat kota, alasan kenapa dia memilih melanjutkan pendidikannya di sini tidak lain adalah karena orang tuanya ingin Amar turut dalam mengelola rumah makan yang berjalan di bawah pimpinan pamannya. Sehingga setelah lulus dari SMU nanti, ia bisa langsung terjun ke dunia bisnis kuliner.

"Oh, haha. Aku sibuk bantu masku di perkebunan, Mar. Lagipula, Pak Bambang sudah ndak ada ngabari aku lagi sejak beberapa hari lalu," jawabku seadanya. "Mungkin karena aku agak lalai, aku dua kali salah kasih pesanan orang."

Amar hanya mengangguk-angguk. Aku pun mengajaknya ke warung Bu Broto, duduk sebentar untuk mengobrol. Sejak resmi menjadi alumni SMP, aku dan Amar jarang bertemu. Kecuali ketika aku bekerja dengan Pak Bambang, pemilik toko bangunan di dekat rumah paman Amar. Biasanya beliau akan ke rumah saat ada karyawannya yang tidak hadir, atau saat toko terlalu ramai. Lalu, aku akan dengan senang hati datang, membantu mengerjakan beberapa pekerjaan yang membuat Pak Bambang kewalahan.

"Aku kangen banget sama kamu, Pram. Kapan, ya, terakhir kali kita mancing bareng?"

Aku tergelak, setelah itu Bu Broto datang dengan dua gelas es teh dan sepiring pisang goreng yang masih panas. Rampung mengucap terima kasih, aku melanjutkan percakapan dengan Amar. Jarang-jarang dia kemari, laki-laki ini serupa burung dalam sangkar emas. Kegiatannya banyak, pagi berangkat sekolah, sepulangnya dari sana langsung pergi ke rumah makan.

Sementara aku, bangun pagi untuk mengurus ayam di halaman belakang rumah, siangnya ikut Mas Danang, lalu malamnya melamun sambil menulis di buku diari. Aku tidak melanjutkan sekolahku seperti Amar, bukan apa-apa, hanya saja rasanya menyekolahkan Adi saja sudah berat bagi Mas Danang. Jadi aku tidak mau memberatkan pundaknya lagi. Apalagi ibuku tidak bekerja. Sejak kematian bapak, kami hanya bergantung pada gaji Mas Danang.

"Setahun lalu? Aku juga sudah lupa, hahaha."

Amar menyeruput tehnya, kemudian mengeluarkan sebungkus rokok. "Rokok, Pram?"

"Ah, ndak. Makasih." Sudah jadi kebiasaan laki-laki itu, merokok adalah solusi dari berisiknya kepala. Meski telah berkali-kali ditegur guru atau dihadiahi cambukan dari ayahnya, ia tetap saja begitu.

Mawarku, LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang