SEPULUH

14 1 0
                                    

"Sombong ya sekarang. Mentang-mentang udah jadi sekretaris bos, udah nggak mau makan bareng kita lagi." Agni berujar kemudian duduk disebelah Gavia yang menyantap makan siangnya.

Diikuti oleh Gibran dan Tio yang duduk didepannya. Kedua laki-laki itu tersenyum pada Gavia dan mengisyaratkan kawannya itu untuk tidak mendengarkan perkataan Agni.

"Belum minum obat dia, makanya jadi kayak gitu." Bisik Tio.

Gavia menyesap minuman nya lalu mendekati Agni yang tampak merajuk. Benar kata gadis itu bahwa beberapa hari ini Gavia jarang bahkan tidak pernah lagi makan bersama mereka namun Gavia punya alasan untuk itu yakni Ardega yang mejadi penyebabnya.

"Lo jangan bilang gitu dong. Gue kayak gini juga terpaksa, kalau bukan karena pak bos kalian yang super nyebelin itu gue nggak mungkin nolak ajakan lo buat makan siang bareng." Melas Gavia sambil merangkul tangan Agni.

"Emang lo disuruh apa sama dia?" Tanya Tio penasaran.

Mendengar pertanyaan Tio membuat Gavia teringat kembali dengan tugas-tugas tidak masuk akal yang diterimanya dari Ardega.

"Pernah sekali gue disuruh beli makan siang buat dia jauhhh banget, sampai dua jam perjalanan. Dan baru gue sampai kantor, ternyata dia udah makan diwarteg depan. Kan kesel ya."

"Terus, gue disuruh ke apartemen dia dan bawa baju-baju kotornya ke laundry. Dikata gue pembantu kali, dasar!"

"Dan yang paling parah, masa gue disuruh nyalin data keungan kantor yang dari tahun 2018 sampai sekarang sendirian. Rasanya mata gue mau kebakar tau nggak karena dua hari dua malam diam didepan komputer terus. Emang nggak waras tu orang."

Bukannya iba, Agni beserta Tio dan Gibran malah tertawa mendengar cerita Gavia. Ketiganya sampai terbahak-bahak mengetahui Gavia disiksa habis-habisan oleh Ardega.

"Sekarang lo tau kan, sekejam apa pak Ardega. Lagian lo juga sih sok ngide pakai menerima tawaran buat jadi sekretaris dia segala. Gini kan jadinya, lo sendiri yang ribet." Cibir Gibran masih tertawa.

"Iya nih. Apa gue batalin aja ya kontraknya? Nggak kuat gue sumpah, pengen balik magang aja, nggak apa-apa deh disuruh bikin kopi, tiap hari juga gue jabanin asalkan nggak tersiksa kayak gini." Keluh Gavia merasa sengsara.

"Telat! Lagian lo tau sendiri kalau memutus kontrak secara sepihak itu ada sanksi nya. Lo pasti udah baca kan. Jadi lo harus bertahan setidaknya selama dua tahun kedepan." Tio menambahkan.

Tubuh Gavia lemas seketika "Mending gue mati aja daripada harus disiksa sama si iblis. Sekarang gue tau kenapa orang-orang menyebut pak Ardega itu iblis."

"Eh btw tadi lo bilang lo disuruh ngapain?" Agni akhirya buka suara setelah berdiam diri cukup lama, "Nyalin data keuangan kantor?"

Gavia mengangguk membenarkan ucapan Agni.

"Wah, kayaknya lo beneran dikerjain deh sama pak Ardega. Soalnya setau gue, data-data keuangan udah dimasukin semua sama mbak Vira dan sisanya yang waktu itu lo kerjain dihari pertama lo masuk kerja."

"Oh iya ya, gue juga baru ingat." Gibran menambahkan.

Sendok ditangannya, Gavia lempar begitu saja keatas meja saking geramnya. Dia benar-benar dipermainkan oleh bosnya itu, pasti sekarang Ardega sedang mengejek Gavia karena kebodohannya.

"Sabar, bukan lo doang kok yang benci sama dia. Kita semua bahkan seisi kantor juga pada nggak suka sama tuh orang." Ujar Tio.

"Masalahnya, gue nggak pernah dapet kerjaan yang sesuai job desk gue. Yang ada melenceng semua, nggak ada yang benar. Emang rada gila tu orang satu." Lanjut Gavia

"Jangan pikir cuma lo doang yang dapat kerjaan diluar job desk, kita juga kayak gitu kok bahkan mbak Vira yang manajer pun dapat perlakuan yang sama. Dia yang harusnya mengurus projek, malah disuruh input data yang jelas-jelas itu kan tugas admin." Agni menjelaskan.

Gavia manggut-manggut "Pantas aja waktu gue liat isi mapnya, kayak familiar ternyata itu map yang sama sama yang udah pernah gue kerjain sebelumnya."

Ditengah obrolan mereka, dari kejauhan terlihat Ardega baru keluar dari ruangan nya lalu berjalan menuju lift dan tampak begitu tergesa-gesa. Disanalah gosip baru dimulai.

"Mau kemana tu bos lo?" Tanya Agni pada Gavia.

"Bos lo juga kali." Balas Gavia lalu mengikuti arah pandang Agni, "Tau ah, bodo amat. Lagian dia nggak kasih tau gue mungkin bukan urusan kantor. Biarin aja lah, setidaknya gue jadi dapat waktu untuk bersantai."

"Gue liat-liat, kayaknya lo nggak pernah tuh ikut sama pak Ardega buat ketemu klien, emang lo yang nggak mau apa gimana dah?" Tanya Tio menyingat kembali kejanggalan itu.

Gavia mengindikkan bahu "Gue selalu menawarkan diri kok tapi dia nya aja yang nggak mau. Nggak ngerti deh kenapa dia kayak gitu." Jawabnya.

"Mungkin karena pak bos selama ini selalu apa-apa sendiri jadi dia udah terbiasa, dia nggak pernah ngajak lo ya karena dia belum butuh aja." Gibran menambahkan.

Tio merangkul bahu Gibran lalu mencubit pipinya gemas "Stay positif banget ya teman kita yang satu ini, salut gue." Pujinya.

Gibran mendorong Tio menjauh dari tubuhnya, "Apaan sih lo, jijik tau. Jauh-jauh!" Titahnya.

Gavia geleng-geleng kepala melihat kedua kawannya itu. Gadis itu mencuci piring dan gelas yang sempat ia pakai kemudian meletakkan nya kembali kedalam rak penyimpanan.

"Gue kesana dulu ya." Pamit Gavia sembari merapikan barang-barangnya, "Takutnya pas pak bos balik gue nggak ada, dia marah-marah lagi. Bye guys."

Gadis itu pun beranjak pergi dari pantry dan meninggalkan ketiga orang yang masih betah berada disana. Sementara Gavia sibuk mengerjakan beberapa tugasnya, Agni dan Tio serta Gibran melanjutkan pembicaraan mereka.

"Eh, eh, lo berdua ingat nggak sih sama cewek yang waktu itu nabrak gue di lift?" Tanya Agni membuka kembali pembicaraan.

"Yang cantik itu." Ingatan Tio kuat juga ternyata.

"Iya, iya, yang pakai dress putih. Lo berdua sadar nggak sih kalau dia turun dari lantai 10." Lanjut Agni.

"Dari kantor kita dong." Gibran ikut menimpali.

Agni mengangguk "Seingat gue, hari itu nggak ada siapapun dikantor kecuali Gavia yang masih sibuk sama kerjaan nya, kalau pun cewek itu teman nya Gavia, dia pasti cerita ke kita, tapi ini enggak tuh." Tambahnya.

"Terus dia ngapain datang kesini dan mau ketemu siapa?" Tio mulai berpikir.

Gibran menjentikkan jari "Setau gue, pak Ardega masih ada diruangan nya pas kita semua turun kebawah. Jangan-jangan..."

"Dia mau ketemu pak Ardega." Ucap ketiga orang itu serempak.

"Tapi ada urusan apa? Kalau pun klien, kenapa perginya buru-buru banget dan kenapa pak Ardega nggak anterin dia kayak yang biasa dia lakuin ke klien-klien lain." Kata Gibran.

"Aneh." Agni berujar.

To Be Continued...

How To Make U Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang