Alarm berbunyi pukul tiga dini hari. Aku bangkit dari tempat tidurku, mematikan alarm itu. Aku mengusap wajahku pelan,agar mataku lebih terbuka. Di jam-jam seperti ini memang waktu ternyenyak untuk tidur. Yah wajar saja godaan tidur itu adalah yang paling sulit untuk dikalahkan. Padahal jelas sekali hadits-hadits yang mengatakan bahwa doa di sepertiga malam seperti panah yang tepat sasaran-cepat terkabulkan.
Aku berusaha melawan rasa kantukku. Melawan diri sendiri itu lebih melelahkan dari pada melawan orang lain. Dengan susah payah aku menyeret kakiku ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian aku keluar, mengambil mukenah dan sajadahku-memulai ibadahku pada Tuhanku.
Aku bukanlah wanita shalihah. Aku wanita yang masih belajar, kekuranganku banyak, karena itu aku berusaha untuk terus mendekatkan diriku pada-Nya. Aku tau hanya Dia-lah yang punya kuasa untuk mengubah semua yang menimpaku. Bukan berarti semata-mata aku berpasrah saja,doa dan usaha harus seimbang. Allah sudah berjanji kalau siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan hal yang setimpal. Sama seperti hukum tabur-tuai, sebab-akibat. Itulah sebabnya apa yang kamu lakukan harus kamu pikirkan dengan benar, karena dampaknya mungkin saja bukan hanya terhadapmu tapi juga terhadap orang sekitarmu.
Begitu dua rakaat shalatku selesai,aku meraih majmu' syarif di atas nakas,membaca doa usai tahajud. Tidak banyak hal yang kuminta pada Tuhanku. Aku hanya ingin hatiku lebih lapang agar suatu saat aku bisa menghadapi ayahku sebagaimana seharusnya seorang anak menghadapi ayahnya. Aku tidak ingin jadi anak yang durhaka. Tapi munafik rasanya jika aku bersikap biasa saja padahal di hatiku api amarah itu bergejolak hebat.
Usai menunaikan ibadah sunah,aku mengisi waktuku untuk menulis. Aku terbiasa menuangkan semua yang aku alami dan rasakan di dalam sebuah buku. Hampir seluruh perjalanan hidupku kutulis di buku itu. Buku bersampul hitam itu sudah seperti rekaman sepanjang hidupku. Banyak hal yang tidak bisa atau tidak berani kubagi dengan orang lain,aku tuliskan di sana.
Hari ini aku hanya akan mengikuti satu mata kuliah saja,jadi waktuku juga lebih leluasa.
Setelah menulis diary,aku membuka handphoneku melihat notif pesan dari sahabatku. Sudah pasti dia mengirimkan hal-hal yang tidak penting. Entah itu stiker atau video reels konyol. Tapi semua yang dia lakukan sejujurnya selalu menghibur hari-hariku yang monoton.
Berbeda denganku, Rasya adalah anak tunggal dari keluarga yang Cemara. Dia sangat dekat dengan kedua orang tuanya. Cerita konyol apapun bisa ia bagi dengan ayahnya. Terkadang aku merasa iri padanya.
Aku membuka room chat kami,melihat deretan video random yang ia kirimkan. Sebagian besar adalah video idol K-Pop. Ya, sahabatku itu seorang k-popers. Dia penggemar berat boygroup BTS. Dia sering memperlihatkan padaku video-video mereka. Tapi dimataku semuanya terlihat sama. Bukan berarti aku tidak punya ketertarikan terhadap apapun.
Aku sangat menyukai banyak negara. Keindahan alam dan budaya-budaya mereka. Suatu saat kalau aku punya kesempatan, aku akan mengunjungi negara-negara itu.
Karena ini semester akhir,aku harus lebih fokus pada kuliahku. Mempersiapkan skripsi. Aku sangat berharap kalau skripsi ku nanti tidak banyak melalui revisi.
Pikiranku buyar saat suara ketukan pintu kamar terdengar.
"Nak sudah bangun?" suara lembut Ibu terdengar. Aku bangkit dari dudukku. Berjalan ke arah pintu.
"Sudah Bu" jawabku sambil membuka pintu kamar ku. Menyapa Ibu dengan senyum.
"Ayo sarapan dulu,Ayahmu sudah menunggu di meja makan"Aku sempat lupa bahwa Ayahku masih di sini,kalau satu Minggu terakhir ini adalah jadwalnya pulang ke rumah kami.
Aku menghela nafas " Ibu makan lebih dulu saja dengan Ayah,Haura masih harus mengerjakan sesuatu" ucapku
"Nak sudah lama kamu tidak duduk dan bicara dengan Ayahmu" Ibu mengusap bahuku"Tidak baik terus bersikap seperti ini pada ayahmu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Level of Love
FanfictionAku pernah membaca novel romansa tentang cinta beda agama. Saat itu kupikir kenapa semuanya jadi rumit? bukankah harusnya sedari awal mereka sudah punya batasan? harusnya mereka tidak melewati batasan itu. Saat itu aku belum mengerti apa-apa tentang...