Let Us be Free

55 12 2
                                    

Halo! Sebelumnya aku mau kasih tahu kalau cerita pendek ini sudah pernah aku submit untuk kebutuhan writing event #SOOBINAMOVIE yang dipublish di akun X-ku (whtvrnll) pada 1-10 Desember 2023 lalu.

Halo! Sebelumnya aku mau kasih tahu kalau cerita pendek ini sudah pernah aku submit untuk kebutuhan writing event #SOOBINAMOVIE yang dipublish di akun X-ku (whtvrnll) pada 1-10 Desember 2023 lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Have a great day! Enjoy reading.

***

Suara sepatu-sepatu yang berhambur keluar dari kereta mengiringi langkahku kelelahan. Padahal aku pulang satu jam lebih cepat hari ini, tapi aku tetap tidak bisa mengendalikan rasa jemuku yang makin terperosok jauh. Aku mulai mempertanyakan, sebegitu pentingnya kah eksistensiku memijaki bumi hingga terjerat kenyataan pahit yang masih terus menghampiri?

Yah, aku pulang membawa oleh-oleh kekesalan sebetulnya. Akibat tingkah kurang ajar kepala divisiku yang berani mencoreti tinta merah hasil draf desain kartu kredit buatanku. Draf yang telah kukerjakan berhari-hari sampai melembur, ditambah revisi lebih dari sepuluh kali membuatku muak dengan pekerjaan ini. Ralat, bukan pekerjaannya, melainkan orang-orangnya.

Di perjalanan pulang ditemani bulan yang mulai menampakkan cahaya, aku keluar dari stasiun pemberhentian terakhir beraut lesu penuh pikiran semrawut di kepala. Ketika menuruni tangga dan berjalan menuju halte bus—iya, aku harus menaiki transportasi umum sekali lagi—, tak sengaja sepasang netraku menangkap keberadaan seorang pria yang baru saja keluar dari minimarket.

Tangan kanannya tertaut sebuah kantong kresek hitam yang bisa ditebak apa isinya, "Beli bir lagi?" tanyaku sewaktu ia datang menghampiri.

Laki-laki itu tak menjawab, hanya memalingkan wajah lalu beriringan jalan menuju halte. Keberadaanku yang persis di sebelahnya bagaikan makhluk tak kasat mata. Tinggi badan kami tak sejajar, aku yang hanya memiliki 155 cm selalu melihatnya menjulang bagai tiang listrik dengan mendongakkan kepala. Tertangkap netraku surai legamnya yang acakadut tanpa disisir, refleks aku mengajaknya bicara lagi.

"Kamu belum mandi?"

Tiba-tiba kepalanya tertunduk ingin menatapiku. Akhirnya keberadaanku dianggap ada dalam penglihatan laki-laki yang hanya bisa kutebak usianya. Mungkin sekitar 23? 24? Atau malah sudah menginjak seperempat abad?

Tatapannya tak tajam bagai mata pisau yang bukan ingin menusuk, melainkan tumpul sayu. Sayu akibat kelelahan yang tak aku ketahui ia habis melakukan apa. Hidung mancungnya didapati ada goresan luka segaris tipis yang baru saja kulihat hari ini. Apakah dia habis berkelahi?

"Bukan urusanmu." singkatnya.

Aku mendengkus sebal. Bagaimana bisa dia berkeliaran sejak tadi tanpa memperhatikan penampilan? Biarpun hanya mengenakan kaos putih polos dan celana kotak-kotak pendek, aku masih bisa mentolerir ketersediaan sandangnya yang memang terbatas. Melihat penampilan fisiknya yang berantakan, aku seperti punya tugas baru untuk menata ribuan helai yang berhamburan depan belakang.

"Jadi urusanku, karena perjanjian kita." ujarku yang segera meminta dia secara paksa untuk menundukkan punggung diikuti kepalanya agar mudah kuraih.

Perlahan aku menyisir dari kiri ke kanan lalu sebaliknya menggunakan jemari. Sampai aku penasaran menata-nata rambutnya ala hair stylist dengan model belah tengah yang hasilnya abstrak namun lumayan. Sebentar, apakah aku seperti pernah mengenalnya? Ia mirip sekali dengan sosok yang sedang dinantikan publik untuk kembali.

Let Us be FreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang