Baruna benci sendirian.
Namun semesta selalu punya cara untuk membuatnya berakhir sendirian pada pilu hidupnya yang kesepian.
Baruna suka melukis.
Namun nyatanya ia memberikan terlalu banyak warna merah pada lukisannya hingga berakhir membosankan.
Baruna suka menulis.
Itu adalah bagaimana jiwanya yang kesepian memiliki cara untuk berbicara, kendati semua orang akan berakhir buta. Pesannya tak pernah terbaca.
Baruna tidak pernah mengerti bagaimana semesta bekerja semestinya. Ia tersesat pada hidup yang tak ia pahami bagaimana. Atas segala kesendiriannya. Atas segala pesakitannya. Atas segala pemaknaan pada untaian kata miliknya yang berakhir tak bersuara.
Baruna ingin pulang. Pulang kepada damai yang tak pernah menikam pedang. Pulang kepada dekap hangat yang selalu ia rindukan. Pada ibu, pada rumah hangat yang tak pernah membiarkan dirinya sendirian.
"Bu, hidup itu bagaimana?"
"Mengapa semua orang pergi?"
"Mengapa semua orang buta pada dirinya yang berdarah?"
Sejauh kakinya melangkah. Baruna ingin tidur. Tidur dalam buai dekap Ibu. Pada hangat yang tak pernah memberinya sembilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
pulang.
Teen FictionBaruna benci sendirian. Namun semesta selalu punya cara untuk membuatnya berakhir sendirian pada pilu hidupnya yang kesepian.