SOAL ARUN DAN ALUR HIDUP
.
.
.
Baruna Lazuardi. Lahir di kota ini 21 tahun lalu. Lelaki pemilik senyum hangat yang tidak banyak bicara. Hidupnya tenang, setenang laut dalam dengan deras arus di bawahnya yang tak tampak namun mematikan. Baruna itu senang sekali ketika siapapun memanggil namanya. Bersama senyum, ia akan menjawab dengan ramah dengan detak menyenangkan, karena baginya hadirnya dirasakan.
Namun di sini Baruna berdiri. Pada tepi jembatan dengan hamparan laut dengan permukaan gelap yang tenang. Semilir angin malam menerbangkan helaian rambutnya yang berantakan. Napasnya terhela berat, bersama satu tepukan keras yang mendarat pada dadanya yang entah mengapa menyesak. Satu kali, dua kali, hingga pada pukulan entah keberapa Baruna jatuh bersimpuh. Air matanya diam-diam mengalir, menyuarakan pelik hatinya yang membisu.
Hingga hening panjang yang datang kemudian membuat lelaki itu berangsur tenang. Menyisakan rasa lemas luar biasa hingga membuatnya hanya mampu memeluk diri dengan hangat yang coba ia ciptakan seorang diri.
Terkadang ia bertanya-tanya, apakah kepergiannya ke kota seberang demi menuntut ilmu adalah hal yang benar? Apakah kepergiannya kemudian akan membawanya pada hal baik sebagaimana yang Ibu katakan? Karena terkadang Baruna merasa sangat kesulitan. Tentang jalan mana yang sebenarnya harus ia pilih. Tentang harapan hidup untuk masa depan yang tak ia ketahui. Tentang bagaimana keras hidup membuatnya babak belur.
Arah pandangnya berhenti pada riak tenang di bawah sana. Berhenti pada bayangan tentang bagaimana jika ia tenggelam di sana, apakah tenang yang ia cari akan ia temukan? Apakah riuh dalam kepalanya akan hilang? Juga, apakah orang-orang yang ia sayangi akan merasa kehilangan?
.
.
.
"Kak Arun!"
Seorang gadis berkucir dua datang menyambut dengan rentang tangan. Bersama tawanya yang bergemerincing berlari menyambut kedatangannya. Baruna dengan senyum hangat berlutut untuk menyambut dekapan gadis kecil itu dan menggendongnya tinggi-tinggi.
"Kak Arun dah lama banget ngga kesini, Gia kangen tau," Gadis kecil bernama Gia itu menggerutu dalam dekapannya.
"Haha, iya, maaf, ya. Kak Arun sibuk akhir-akhir ini,"
Baruna kemudian membawa langkahnya mendekat pada bangunan sederhana di hadapannya. Bersenandung pelan demi mendengarkan gadis kecil dalam dekapannya berceloteh tentang banyak hal. Tentang mainannya, tentang pengalamannya, tentang apapun.
"Ih, Gia, turun, kamu berat. Kasihan Kak Arun,"
Seorang perempuan tengah baya datang tergopoh-gopoh dengan apron berhias tepung. Berusaha menghentikan kegiatan Baruna yang masih menggendong Gia dengan tepukan main-main pada lengan atasnya yang kemudian dibalas tawa panjang remaja itu.
"Gia main sama yang Naufal dulu, ya, biar Kak Arun bantu Bunda sebentar,"
Gia yang notabene adalah anak penurut itu memilih turun dari gendongan Baruna meski gerutuan masih terdengar pada bibir kecilnya yang mengerucut. Baruna tersenyum sejenak untuk kemudian mengalihkan pandangannya pada seseorang yang ia panggil Bunda di sisinya.
"Udah lama sejak terakhir kali kamu dateng ke sini, Run. Semuanya baik, kan?"
.

KAMU SEDANG MEMBACA
pulang.
Ficção AdolescenteBaruna benci sendirian. Namun semesta selalu punya cara untuk membuatnya berakhir sendirian pada pilu hidupnya yang kesepian.