6. tired

204 18 1
                                    

Mario mendengar desas-desus di sekitarnya. Ini adalah hal biasa bagi Mario, tapi dia merasakan ada yang aneh dari tatapan mereka.

"Kak Mario kok masih ngejar Abella, ya? Padahal Abella lagi deket sama Kak Jevano. Nggak tahu diri banget."

"Gue lihat tadi, gimana Kak Jevano ngajak Abella pulang bareng. Ew, cewek kayak gitu nggak pantes dikejar nggak, sih?"

Mario berhenti kala dua gadis di dekatnya berbisik sedikit nyaring yang dapat dia dengar percakapan mereka. Lelaki itu menggumam sial. Dia tidak menduga bahwa hubungan Abella sudah sejauh itu.

Lelaki itu bergegas ke parkiran sambil menghubungi Abella.

Abella tak mengangkat teleponnya. Pasti dia masih marah karena kejadian tadi malam. Sial sekali, hubungannya hancur hanya karena keteledorannya.

Dia pun masuk ke dalam mobilnya dan langsung menancapkan gas ke tempat yang sering Abella kunjungi.

Mario marah pada dirinya sendiri. Dia tak bisa membayangkan bila Abella berpaling pada Jevano.

*****

"Kata gue, mending ke rumah sakit tadi. Biar tahu lo sakitnya kenapa," ucap Jevano yang masih tak terima dengan keputusan Abella untuk ke apartemen saja.

Abella hanya diam, tak minat menanggapi. Dia berjalan sedikit gontai menuju unit apartemennya.

"Berhenti berlagak kita seolah punya hubungan. Gue benci hal itu," tukas Abella dengan nada dinginnya. Kakinya berhenti tepat di depan unit apartemennya. Dia membalikkan badannya menghadap Jevano. "Cukup sampai sini. Gue bisa sendiri."

"Kehidupan lo sekarang menjadi urusan gue, Abella," balas Jevano.

"Gue pengen istirahat tanpa mikirin lo dan semua yang gue saksikan tadi malam. Jadi, biarin hari ini gue sendiri."

"Lo mau gue ninggalin lo yang lagi sakit? Enggak, Abella. Kalau lo terjadi sesuatu, gimana?"

"Gue masih takut sama lo, Kak," jawab Abella dengan penuh penekanan dan tak bisa disangkal rasa takut yang dia alami. "Gue bahkan nggak bisa maafin diri gue sendiri, Kak."

"Gue bisa lakuin apapun, tapi enggak dengan situasi sekarang."

"Pergi, Kak."

"Enggak, Abella."

"Gue mo—"

"Abella!" panggil seseorang dengan lantang membuat atensi mereka teralihkan pada seorang lelaki yang terengah-engah berlari menghampiri mereka.

Abella menutup matanya dan menghela napas. Kini, datang seseorang yang dia hindari sejak tadi malam.

Orang itu datang dengan raut khawatirnya dan mendekatinya. "Lo nggak papa, Bell? Apa yang sakit?"

Abella dengan melepaskan tangan Mario dengan sekali hentak. "Gue nggak papa."

Gadis itu mundur selangkah untuk menjauhi Mario, membuat lelaki itu sadar bahwa gadis itu masih marah padanya.

Tanpa memedulikan Jevano, lelaki itu berusaha mendapatkan perhatian Abella. "Bell, kita perlu bicara soal tadi malam. Gue harus jelasin biar lo nggak salah paham tentang gue."

"Nggak ada yang perlu lo jelasin, Kak. Kehadiran lo di markas itu sudah menjelaskan semuanya."

"Nggak adil rasanya kalau lo cuma dengerin Jevano, tapi nggak dengerin gue, Abella," protes Mario.

Abella menatap lelaki itu dengan tatapan tak percaya. Apa baru saja lelaki itu terlihat membela dirinya sendiri?

"Karena gue kecewa banget sama lo, Kak!" sentak Abella, air matanya langsung jatuh. "Gue kasih lo kesempatan kedua bukan untuk ngecewain gue lagi, Kak. Apa memang lo nggak pernah serius dengan ucapan lo sendiri?"

"Bell, dengerin gue dulu."

"Cukup, Kak. Gue udah capek banget hari ini. Gue udah stress dan bingung ngehadapin semua ini," tukasnya kemudian melirik Jevano dan Mario secara bergantian. "Sekarang, kalian pergi dan tinggalin gue sendiri."

Abella membalikkan badannya kemudian untuk menekan pin apartemennya. Saat pintu unitnya terbuka, dia dengan lekas masuk tanpa menghiraukan mereka yang masih berdiri di depan unitnya.

Abella terduduk lemas di depan pintu, dia memeluk tubuhnya dengan menangis. Dia lelah dan sungguh berat menjalankan hidupnya sekarang.

Apa ada jalan untuknya keluar dari lingkar setan ini?

*****

"Sekarang, lo ceritain apa yang lo omongin tadi malam sama Abella?" tuntut Mario.

Setelah dari unit apartemen Abella, mereka memutuskan untuk mengobrol lebih dalam mengenai gadis itu. Terlihat jelas sekarang alurnya mengarah pada dua sahabat memperebutkan seorang wanita.

Namun, sepertinya bukan. Abella memang sudah direncanakan untuk Jevano. Mario hanya penambah manis untuk ceritanya berkembang menjadi lebih seru.

Sebenarnya, Mario akan menerima kenyataan lelaki lain untuk menjadi pendamping Abella. Tapi, jika lelaki yang dimaksud adalah Jevano, maka Mario adalah orang pertama yang menentang hal itu. Mario tak bisa membayangkan kehidupan Abella menjadi seorang istri pembunuh.

"Lo gila?!"

"Apa yang gila? Kami memang direncanakan untuk berjodoh, Bang."

"Lo jahat, Jev. Bisa-bisanya lo ngajak dia nikah, padahal tadi malam dia jadi saksi aksi pembunuhan lo. Di mana otak lo, Jevano?"

"Justru ini rencana bagus untuk menahan dia bersama gue. Karena kalau sampai rencana gue terbongkar, bukan cuma gue tapi member 7 Baddies lain juga ikut terlibat. Lo mau hal itu terjadi, Bang?" jelas Jevano.

"Lo nggak punya hati, Jevano. Lo nggak mikir tentang mental dia? Perasaan dia? Hidup dia sudah hancur, jangan tambah lo bikin hancur, Jevano!"

"Terus gue harus gimana, Bang?! Gue nggak punya cara lain untuk bisa nahan dia. Lo pikir, gue nggak stress mikirin dia? Dan lo sendiri, apa punya rencana lain, hah?"

Jevano dan Mario saling terdiam lalu sama-sama menyenderkan badan mereka ke sofa cafe.

"Hilang sudah harapan gue bersama Abella."

"Dari dulu juga lo sudah kehilangan kesempatan itu, Bang."

"Lo lihat nggak gimana takutnya dia sama lo? Kelihatannya emang dia nggak takut, tapi gue tahu sebenarnya dia takut sama lo. Lo mau tahu? Dia dua kali menyaksikan orang meninggal dengan matanya sendiri. Pertama, kematian mamanya. Kedua, kematian korban kita tadi malam."

Jevano terdiam tak berkutik dalam duduknya. Dia masih mencerna apa yang dikatakan Mario.

"Makanya, dia bisa trauma dan takut secara bersamaan dengan lo. Sekarang, dia pasti teringat lagi gimana dia menyaksikan kematian mamanya, yang sampai sekarang belum diketahui siapa pelaku yang membunuh mamanya sewaktu koma di rumah sakit," lanjutnya.

"Urusan Abella sekarang menjadi urusan gue, Bang. Lo nggak perlu khawatir tentang dia, karena gue bakal jaga dia."

Raut wajah Mario terlihat keras, dia menatap tajam Jevano. "Gue khawatir karena Abella akan hidup dengan seorang pembunuh."

Jevano terkekeh pelan. "Sadar diri, Bang. Lo juga bantuin gue bunuh mereka. Itu artinya, lo sama kayak gue."

"Kalau gitu, gue keluar dari geng 7 Baddies!"

Jevano tersenyum miring. Dia memajukan tubuhnya ke meja. "Silakan lo keluar. Lo pikir, selama ini gue nggak tahu tujuan lo ikut geng 7 Baddies? Lo pengen tahu siapa pembunuh Mama Abella karena lo tahu ada hubungannya dengan pembunuh orang tua gue? Bang, bang. Rencana lo kebaca sama gue."

"Bangsat!" umpat Mario lalu dia berlalu pergi meninggalkan Jevano sendiri di cafe.

Jevano dengan santai menyeruput minumannya, kemudian dia tersenyum sinis. Jevano tak akan kalah. Dia akan selalu menang dalam persaingan apapun.

Termasuk mendapatkan Abella.

Jevano pastikan Abella akan selalu bersamanya.

*****

Possessive Psychopath Husband ; JevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang