Abella sudah menghabiskan waktu di ruang latihannya sekitar dua jam. Sudah banyak keringat membasahi tubuhnya. Dia sudah cukup merasa lelan hari ini.
Gadis itu terduduk bersandar di kaca ruang latihannya. Abella termenung, terdiam beberapa saat. Hingga akhirnya menangis.
Dia kembali teringat dengan ucapan papanya tempo hari yang mengatakan bahwa dirinya bukan anak kandungnya. Mengapa ayahnya sendiri begitu lantang mengatakan hal demikian?
"Ma, aku nggak kuat." Tangisannya semakin pecah. Dia memeluk kedua lutut dan menenggelamkan wajahnya.
Tiba-tiba ingatan itu kembali mengarah pada kejadian saat menimpa mamanya di rumah sakit. Dia yang menyaksikan seorang pembunuh sudah membunuh mamanya lalu kabur entah ke mana.
Sudah. Bukan saat.
Abella masih tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena dia gagal menyelamatkan mamanya saat itu.
"Ma, maafin Abella!" racaunya kemudian dengan keras sambil menangis.
Kamu bukan anak Papa! Mama kamu juga selingkuh!
"Enggak! Aku anak Papa! Aku anak kandung Papa! Enggak!" racaunya semakin tidak jelas.
Pikirannya semakin kacau seperti film yang berganti adegan satu ke adegan lain. Berbagai memori menyakitkan terus bermunculan dalam otaknya. Abella menutup kedua telinganya sambil menggelengkan kepalanya.
"Abella!"
Hingga seseorang datang menyadarkan dirinya yang sedang kacau. Dia terus menggoyangkan badannya agar Abella sadar.
Tidak. Semakin dia mendengar panggilan itu, semakin banyak juga suara dalam otaknya.
"Abella, sadar!" Orang itu berusaha menenangkan Abella dengan memeluknya. "Abella tenang, ya. Maaf, gue terlambat."
"Aku anak Papa! Aku anak Papa! Mama maafin aku! Ma!" teriakannya semakin kacau.
"Abella, gue mohon jangan kayak gini."
Butuh waktu yang lama untuk menenangkan Abella. Gadis itu menangis luar biasa dalam pelukan orang itu.
"Maafin gue, ya. Maaf."
*****
Jika terlambat sedikit, Jevano tak tahu apa yang akan terjadi pada Abella selanjutnya. Dia langsung masuk begitu mendengar teriakan Abella dari sebuah ruangan.
Teman-temannya pun mengikuti langkahnya. Mereka dapat melihat seberapa frustasi dan depresinya Abella. Mario dengan sigap memberi Jevano dan Abella ruang agar situasi tidak semakin rumit.
Jevano terus berusaha menenangkan Abella dengan memeluknya.
"Maafin gue, Abella." Hanya kata itu yang selalu dia ucapkan pada Abella.
Hatinya sakit bagai teriris saat melihat mental Abella yang terguncang. Rupanya, Abella sengaja bersembunyi di sini agar tak ada yang mengetahui tentang perasaannya.
Abella tentu sadar siapa yang sedang memeluknya. Namun, dia tak berniat melepaskan karena dirinya teramat lemas dan pelukan ini sangat nyaman baginya.
"Gue capek," ucapnya setelah lama terdiam. Dia terisak tangis dalam pelukan Jevano.
"Nangis sepuas lo, Bell. Gue ada di sini untuk lo."
"Gue cuma pengen bahagia."
Jevano mengusap pelan rambutnya agar menambah ketenangan untuk Abella. Dia hanya diam sambil mendengarkan ungkapan perasaan gadis itu.
Tak lama kemudian, gadis itu melepaskan pelukannya. Jevano dapat melihat kondisi Abella yang sangat kacau.
Tangan Jevano tergerak untuk merapikan rambut Abella. Dia juga mengusap sisa air mata gadis itu. "Lo punya gue, Abella. Jangan pernah merasa sendiri, ya."
"Bunuh gue aja, Kak. Gue nggak diharapin di dunia ini."
"Gue, Bell. Gue masih mengharapkan lo di dunia ini untuk mengisi hari-hari gue. Ada teman-teman lo. Winny, Nila dan Gina yang setia nemenin lo. Ada Bang Mario yang dari dulu mencintai lo, Bell. Ada Mbak Hanin yang menyayangi lo. Jadi, jangan pernah merasa diri lo nggak dianggap di dunia, Bella."
Abella terdiam dan menunduk. Dia dapat merasakan kembali Jevano memeluknya. "Maaf, lo harus melihat sisi terburuk gue, Kak."
"Jangan meminta maaf, Abella. Bukan salah lo."
"Jangan tinggalin gue, Kak."
"Nggak akan, Bell."
Namun tak lama, Abella pingsan dalam pelukan Jevano.
*****
"Jelasin ke gue, Abella dan Kak Jevano ada hubungan apa?" tuntut Nila pada teman-teman Jevano.
Jevano berada di kamar Abella yang masih belum sadarkan diri di kamar. Tadi pelayan di vila ini langsung memanggil relawan dokter di desa ini. Ketika diperiksa, katanya Abella hanya terlalu lelah. Kondisi tubuhnya lemah, sehingga dia pingsan karena kehabisan energi.
Dokter itu sudah memberi obat untuk diminum dan menyuntik vitamin agar tubuh Abella tetap fit.
Barulah dokter itu pergi.
Sedari tadi, sikap Jevano memberi tanda tanya bagi teman-teman Abella. Lelaki itu yang seakan tahu masalah Abella. Dan lelaki itu bersikap seolah mempunyai hubungan yang spesial dengan Abella.
Padahal, Abella cerita sebelumnya tak pernah kenal dengan Jevano.
Ini cerita yang aneh, bukan?
"Kak Mario, jelasin! Gue tahu, lo pasti tahu sesuatu kan, Kak?" tanya Nila lagi.
"Nil, biar Jevano nanti yang jelasin semuanya," ucap Mario berusaha menenangi Nila.
"Berarti lo tahu apa yang kami nggak tahu kan, Kak?" cecar Winny kemudian. "Kalian juga?"
Mereka terdiam seribu bahasa. "Kamu juga, Kak?" Giliran Gina bertanya kepada Hendra.
Hendra menghela napas. "Maafin aku, ya. Tapi, ini masalah mereka. Biar mereka sendiri yang jelasin ke kalian."
"Gimana bisa kami sahabatnya nggak tahu apa-apa, sedangkan kalian tahu semuanya?" tambah Gina.
"Mereka itu mendadak bertemunya. Dan kondisi Abella juga nggak memungkinkan untuk cerita. Apa kalian lebih baik dengar cerita dari kami dibanding dari mulut Abella langsung?" jawab Raffi.
Kini teman-teman Abella yang terdiam. Hendra pun mengambil tangan Gina untuk digenggamnya. "Kita tunggu Abella sadar, ya. Kita tunggu Abella benar-benar pulih dari sakitnya."
"Hendra benar. Hubungan Abella dan Jevano itu nggak penting. Yang penting sekarang adalah kondisi Abella," ucap Mario.
Mario benar. Kepulihan Abella adalah yang terpenting saat ini.
Teman-teman Abella merasa gagal menjadi sahabat, karena mereka tak tahu jika mental Abella terganggu. Bahkan Mario pun masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Abella. Dia masih memikirkan berbagai kata andai dalam otaknya.
Tiba-tiba pelayan yang tadi datang menghampiri mereka. "Maaf, Mas dan Mbak. Permisi, ya. Kamar tamu sudah saya siapkan. Mari saya antar."
*****
Capek juga jadi Abella, ya 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Psychopath Husband ; Jevano
Fiksi Penggemar"Gue punya penawaran buat lo." "Apa?" "Serahin nyawa lo dan gue akan berikan uang berapapun yang lo mau." Berawal dari tak sengaja memergoki seorang psikopat membunuh seseorang, berakhir dengan dia harus terlibat transaksi jual-beli yang disebut pen...