"Aku ingin berteriak di atas tenggorokan yang terasa tercekat begitu dalam ini."
---🌹🌹🌹---
Lima hari pada pagi setelahnya terasa dan terlihat mendung, di tambah angin kencang yang berhembus riuh. Apalagi gemuruh kecil dari langit menandakan akan hujan sebentar lagi.
Zello masih berada di dalam ruang rawat inapnya, dirinya menyantap bubur yang disediakan oleh rumah sakit. Zello tidak pilih-pilih makanan, dirinya menyukai semua jenis makanan kecuali tomat dan pare, kedua hal itu adalah makanan yang sangat tidak di sukai dirinya.
Perban di kepalanya sudah dilepas. Hanya menyisakan infus di tangan kiri. Sakit di kepalanya juga sudah membaik.
Sang dokter dan perawat masih setia di samping kanan nya, sang dokter terlihat mencatat beberapa hal yang tidak diketahui dirinya di buku catatan. Sementara Samuel, ia juga berdiri di samping kirinya, agak jauh darinya.
"Dari hasil pemeriksaan kesehatan terakhir, lusa, tuan muda diperbolehkan untuk pulang, dan ingat untuk selalu menjaga kesehatan karena baru menyelesaikan tahap pemulihan," ucap sang dokter. Senyum tipis terpatri di wajahnya yang datar, menciptakan senyuman khasnya tersendiri karena sudut netranya yang tajam.
"Kalau begitu tuan muda bisa menghabiskan sarapannya. Saya pamit undur diri terlebih dahulu." Dokter itu sedikit menunduk bersama dengan perawat disampingnya lalu langsung pergi setelah menerima anggukan dan ucapan terimakasih dari Zello.
Zello makan sambil merenung-kebiasaan yang tak akan pernah lepas darinya. Samuel mendekat, ia sedikit menunduk guna membisikkan sesuatu kepada sang tuan muda.
"Tuan muda, saya akan pergi untuk melapor kepada ayah anda," bisiknya. Zello menghentikan kunyahannya sebentar. Ia lalu mengangguk lagi setelah merenung atas bisikan Samuel yang berkata akan melapor pada ayahnya.
"Baiklah, saya permisi," tungkas Samuel. Samuel lalu berjalan kearah pintu, setelah berada di luar ruang inap ia tutup kembali pintu. Zello tatap lamat celah pintu yang belum tertutup rapat, pandangannya ia alihkan ketika pintu itu sudah tertutup sempurna.
Zello sendiri lagi di sini. Hanya ada ketukan jam dan gemuruh kecil dari langit. Gerimis terlihat dari dalam jendela yang tepat berada beberapa langkah dari samping kirinya. Sendok bubur ia letakkan, perutnya yang terasa penuh sudah tidak kuat lagi untuk menampung. Tungkainya ia bawa ke arah jendela itu.
Tiang infus ia dorong. Hanya mengenakan piyama rumah sakit, Zello melangkah dan membuka jendela itu. Angin dingin langsung menusuk kulitnya, ia langsung menutup kembali jendela itu, dirinya sempat tersentak karena angin tadi. Nafas ia hembuskan, Zello memilih mengamati dengan jendela yang masih tertutup.
Pemandangan kota asing terlihat jelas di kedua netra kuningnya, walau agak tidak jelas karena embun di jendela. Zello memilih untuk merenung di sana.
Renungannya langsung buyar. Semua indera yang tadinya di hilangkan langsung aktif. Tubuhnya tersentak kaget, jantungnya berdegup lebih kencang saat sebuah tangan besar tiba-tiba mengelus pucuk surainya. Zello mendongak, menatap sesosok pria yang berdiri menjulang tinggi di sampingnya. Tangan pria itu masih berada di puncuk surainya. Harum yang khas menguar kuat dari pria itu.
"Siapa anda?" Ada kerutan samar di dahinya saat Zello melontarkan pertanyaan tadi. Harum yang khas itu begitu kental saat pria itu semakin mendekat. Tinggi yang menjulang pria itu mengharuskan Zello untuk mendongak ketika ingin menatapnya, hal tersebut membuat lehernya pegal.
Pandangan yang semula menatap luar jendela sekarang mengunci netranya. Pria itu menatap Zello lalu berdiam diri sejenak. Setelahnya pria itu berucap;
"Aku adalah ayahmu, panggil aku Daddy, Zello." Kalimat kedua yang terdengar tak terbantahkan oleh balasan apapun itu sedikit ditekan saat Zello mendengarnya. Zello menelan kegugupan, merasa gugup saat aura dominan yang tiba-tiba ada dan menguar kuat.
"D-daddy...? " Zello dengan sedikit tergugup berbicara, pandangannya tak lepas dari netra ayahnya itu.
"Good boy." Usapan surai Zello rasakan lagi, detik kemudian tangan itu terangkat, Federick melangkah pergi.
"Langsung pergi aja gitu?" Netra Zello menyipit, ia mencebik dan menatap lamat punggung tegap Federick yang baru keluar dari ruang inap.
"Sam, jaga putraku." Samuel, yang setia berdiri di depan ruang inap Zello mengangguk tegas ketika diberi perintah oleh sang tuan.
"Baik tuan," suara tegas dan datar Samuel lontarkan. Federick langsung melenggang pergi, ia sedang dikejar waktu.
-✿Figuran Zello✿-
Keesokan harinya terasa damai, langit berwarna biru cerah, suara kicauan burung terdengar bernyanyi-nyanyi di udara. Cahaya mentari yang hangat menyinari wajah Zello yang berada di balkon ruang inap.
'Kalo lompat dari sini pasti jadi mayat nggak sih?'
Zello menggeleng, ia mencubit kedua pipinya untuk menghilangkan monolognya tadi. Zello menatap ke arah bawah lagi. Cukup tinggi, tapi sepertinya tidak cukup tinggi untuk mengakhiri hidup dan menjadi mayat. Zello tersadar lagi, ia mencubit pipinya lagi untuk menghilangkan pikirannya.
Dirinya melamun, sampai lamunannya buyar ketika Federick masuk seperti biasa. Federick terlihat menghampiri dirinya, ia berdiri di hadapan Zello.
"Besok, akan Daddy jemput," ucapnya singkat lalu duduk angkuh di single sofa. Federick memangku laptopnya, ia duduk bertumpu kaki kirinya, pandangannya terkunci pada layar laptop. Zello hanya melirik dari arah balkon, ia lalu tidak memperdulikannya lagi dan memilih untuk menikmati pemandangan yang ada dihadapannya.
Federick malam tadi ke ruang inapnya, dia hanya sekedar menanyakan 'apakah kau sudah makan' lalu langsung berfokus pada laptopnya, dia juga duduk di single sofa itu.
"Huh...." Zello menghela nafas lirih. Setelah dirinya merasa bosan akhirnya ia memutuskan untuk menonton televisi saja sambil memakan cookies coklatnya.
Zello duduk setengah berbaring di brankar, tangan kanannya masih sibuk menyuapi mulutnya dengan cookies, tangan kirinya masih sibuk menggenggam remote televisi layar lebar di hadapannya. Jika dilihat lagi, ruang inap ini pastinya adalah ruang VIP, itu terbukti dari fasilitas yang disajikan di sini. Apalagi luasnya.
Beberapa saat berlalu tanpa sebuah peringatan.
Netranya mulai merasakan kantuk yang tiba-tiba saja datang, tangan yang sedang memegang cookies perlahan jatuh di atas perutnya. Posisinya menjadi berbaring. Zello tertidur dengan tangan yang masih memegang cookies dan remot. Tayangan televisi yang menampilkan dua cacing merah dan kuning pun masih menyala tanpa ada yang menonton.
Federick melirik sebentar, ia lalu menutup laptopnya. Tungkai panjangnya ia bawa mendekat ke arah brankar. Tangannya menyingkirkan cookies dan remot yang masih digenggam Zello, setelahnya dirinya merapihkan toples cookies dan meletakkan remot televisi.
Setelah memastikan sebuah kenyamanan, Federick menarik selimut hingga ke atas perut. Tangannya mengusap sebentar dahi Zello yang mengkerut gelisah.
Pandangannya menjadi sendu. Hatinya masih saja menjadi bergemuruh kala melihat wajah dan penampilan yang begitu mirip tersemat apik di putra bungsunya. Tangannya mengelus surai Zello lembut, tenggorokannya terasa tercekat.
'Lihatlah Clarissa, ia begitu mirip dengan dirimu....'
✿✿✿Bersambung...
Bagaimana chap kali ini?
Hope you like and enjoy my story (*˘︶˘*).。*♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Figuran Zello [Ongoing]
FanfictionIa Zello, yang menyimpan banyak luka dengan senyum palsunya. Kala ia mengharapkan kematian yang datang untuk merengkuh dirinya Zello malah mendapati dirinya bertransmigrasi serta menjadi seorang tokoh figuran yang akan berakhir menjadi mayat. Lalu a...