-✿Chap 03✿-

11.3K 756 6
                                    

"Takdir itu adalah sesuatu hal yang sangat memuakkan."

---🌹🌹🌹---

Pagi keesokan harinya mendung. Dan hari ini juga Zello diperbolehkan pulang setelah beberapa serangkaian pemeriksaan kesehatan. Zello memakai sweater putih, ia juga memakai celana coklat susu panjang. Dirinya melangkah keluar ruang inap diikuti Samuel yang berada di belakangnya.

Federick terlihat menunggu di samping pintu, ia memakai overcoat hitam, sarung tangan hitam juga ia kenakan.

Setelahnya mereka bertiga melangkah dengan Federick yang memimpin. Zello melirik sekelilingnya, ia menemukan berbagai tatapan binar dari seluruh orang yang telah di lewati oleh mereka. Dirinya tentu tahu tatapan akan binar itu.

Memangnya siapa yang tak mengenal da Vincent?

Keluarga yang menduduki peringkat pertama di mata dunia. da Vincent, pemilik dari perusahaan besar yang memiliki anak perusahaan dimana-mana. da Vincent, yang di gadang-gadang memiliki darah bangsawan. da Vincent, sang raja bisnis. Itulah julukan yang selalu di ucapkan jika menyangkut da Vincent.

Zello menaiki mobil yang sama dengan Federick dengan Samuel sebagai sopirnya. Zello duduk di kursi kanan penumpang, sedangkan Federick duduk di sebelah kirinya.

Mobil diisi dengan keheningan. Federick seperti biasa lebih memperhatikan laptopnya, Samuel yang memerhatikan jalan raya, dan Zello yang memandang pemandangan kota dari balik jendela mobil. Keheningan senantiasa menyelimuti di dalam mobil.

Selama dua puluh tujuh menit, mobil akhirnya telah sampai di sebuah mansion besar. Gerbang secara otomatis terbuka dan menampilkan secara keseluruhan rupa dari mansion. Zello berdecak kagum, mansion ini diluar ekspektasinya.

Mobil Rolls-Royce itu berhenti tepat di depan pintu utama. Orang-orang berbaju hitam dan para maid berjejer di sepanjang lorong guna memberikan sambutan untuk sang tuan rumah. Sedikit merasa penasaran karena melihat sang tuan rumah yang tidak pernah pulang menginjakkan kakinya lagi ke mansion.

Zello turun dari dalam mobil, dirinya merasa canggung. Tapi tak lama tubuhnya terasa melayang. Sepasang tangan besar menggendongnya ala koala. Dirinya tentu tersentak, ia mendongak untuk melihat wajah tanpa ekspresi dan datar tersebut.

Federick menggendongnya, ia mengusap punggung Zello untuk menenangkannya. Setelahnya Federick berjalan tegap, ia berjalan angkuh di lorong. Samuel setia mengikuti di belakangnya.

"Mau turun," suara Zello melirih. Sial—dirinya benar-benar malu atas suaranya tadi yang terdengar seperti tikus tercekik.

"Diam lah," suara Federick terdengar lebih datar dan dingin. Zello kicep, dirinya pasrah digendong kayak gini.

'Kemana sikap bar-bar gue?!'

Ingin dirinya berteriak, tapi aura dari Federick benar-benar membuat dirinya kicep dan mati kutu.

-✿Figuran Zello✿-

"Ck, sialan...." Zello menggertakan gigi gerahamnya, kedua telapak tangannya terkepal erat menahan emosi. Wajahnya jadi merah karena kesal yang memuncak.

Federick menurunkan dirinya di depan pintu kamar. Pria itu hanya berkata 'istirahatlah' lalu langsung melenggang pergi bersama Samuel yang masih saja setia mengekorinya. Mengingat kejadian tadi benar-benar membuat Zello kesal, harga dirinya sebagai cowok ternistakan!

Menghela nafas kasar, Zello yang awalnya berdiri, akhirnya memilih untuk mengelilingi kamarnya. Netranya langsung terkunci kepada buku diary yang terletak di atas meja belajar. Tangannya perlahan menyentuh buku dan berniat membukanya.

"Gue izin buka diary lo," izinnya oleh seseorang yang tak terlihat. Netranya bergilir membaca rentetan kalimat di lembar putih itu, hanya tentang tulisan kegiatan sehari-hari.

Tangannya beralih ke laci meja, ia membuka laci tersebut dan menemukan ponsel dengan logo apel tergigit.

"Ini pasti ponsel Zello."

Monolognya lalu meletakkan ponsel tadi ke atas meja nakas sebelah kanan tempat tidur. Zello pergi ke balkon, pemandangan taman belakang terpampang jelas di hadapannya. Setelah di rasa cukup untuk mengenali kamar ini, ia akhirnya merebahkan tubuhnya di atas empuknya kasur. Harum vanilla tercium jelas oleh dirinya.

Aneh, padahal dirinya hanya berleha-leha dari kemarin, tapi dirinya merasa sangat lelah. Kantuk mulai menghampiri, Zello memejamkan mata, ia tidur terlentang dengan nyenyak.

-Figuran Zello-

Hempasan angin sepoi-sepoi mengacak pelan surai seorang remaja yang sedang memejamkan netra sambil tidur terlentang di atas hijaunya rumput. Bunga matahari berdiri tegak, ia menari-nari di sekelilingnya.

Terlihat kelopak netra itu bergerak, remaja itu terusik oleh kenyamanan sang mentari. Remaja itu terduduk, ia menengok kanan kiri. Ia mengkerutkan kening karena pemandangan yang asing sekaligus indah ini terpampang jelas di hadapannya.

Zello bangkit, ia berjalan-jalan mengelilingi hamparan rumput hijau itu. Melihat ada genangan air, dirinya mengaca di genangan itu. Ini adalah wajahnya, wajahnya sebagai Zello Leonard.

"Hei...."

Zello menoleh dengan cepat ke arah belakang, di mana terlihat seorang atensi yang sangat dikenalnya berdiri tegak dengan senyum sendunya.

"Lo... Zello dan Vincent...? "

Atensi itu mengangguk. Zello tertegun, karakter yang di rasuki dirinya akhirnya memunculkan dirinya.

Mereka berdua duduk di bawah pohon, hanya ada keheningan di antara keduanya. Kicauan burung di bawah biru langit dan semilir angin datang, memecah keheningan di antara keduanya.

"Maaf." Atensi Zello da Vincent memeluk lututnya yang ia lipat. Zello Leonard menoleh ke arah kanan, ia menatap ke arah atensi yang lain.

"Maaf atas?" Suaranya terdengar tenang, Zello Leonard juga memeluk lututnya, ia memandang damai pemandangan di depannya.

"Maaf karena sudah buat kamu masuk ke raga aku." Zello da Vincent menunduk diam, ia menunggu jawaban dari pernyataan dirinya. Zello Leonard menggeleng, ia berucap;

"Ini takdir, takdir buat gue,"

'Dan takdir yang memuakkan.'

Zello da Vincent menatap Zello Leonard. Ia tersenyum, dirinya bangkit dan melangkah ke arah depan, yang dimana bunga matahari menari-nari oleh terpaan angin.

"Makasih." Zello Leonard mengangguk, ia masih di posisinya, dirinya memandang Zello da Vincent yang ada di hadapannya. Hanya berjarak beberapa langkah.

Wujud Zello da Vincent berubah, tubuhnya perlahan menjadi butiran cahaya putih, angin sepoi-sepoi menerbangkannya. Zello Leonard hanya melebarkan netranya.

"Kau harus bahagia, Zello Leonard...."

Zello Leonard tertegun, ia tatap wajah Zello da Vincent yang tersenyum teduh kepadanya, perlahan pun senyum itu hilang digantikan oleh butiran cahaya putih.

"Bahagia ya...."

Zello Leonard mendongakkan kepalanya, ia tatap lamat matahari yang masih selalu asik singgah nyaman di atas sana. Tak peduli banyak yang mengeluh padanya, tak peduli banyak yang marah dan memaki dirinya.

Bagi dirinya, matahari adalah atensi terkuat.

✿✿✿Bersambung....

Bagaimana tanggapanmu tentang chap ini?

Sampai bertemu di chap selanjutnya! ✧⁠◝⁠(⁠⁰⁠▿⁠⁰⁠)⁠◜⁠✧

Figuran Zello [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang