-✿Chap 04✿-

9.6K 669 4
                                    

"Sepi, gelap, berisik."

---🌹🌹🌹---

'Tok-tok

"Tuan muda." Samuel mengetok pintu dan memanggil Zello guna memberitahukan semua. Sang empu yang sudah bangun dari tidurnya segera melangkah menuju pintu dan membukanya.

Samuel menunduk hormat, ia lalu memimpin untuk berjalan ke arah ruang makan dengan Zello yang ada di samping kirinya.

Sesampainya di ruang makan, Zello melihat Federick yang duduk di kursi kepala keluarga dan dua laki-laki duduk berhadapan di kursi meja makan. Zello duduk di sebelah laki-laki yang lebih muda, ia duduk tenang sambil menunggu Federick berbicara.

"Makan."

Makan siang di mulai. Mereka berempat makan sesuai etiket meja makan, tidak ada yang bersuara sampai makan siang telah usai.

"Zello," panggil Federick pada Zello yang masih memakan makanan penutup berupa puding coklat.

Zello menghentikan acara makan pudingnya, "ya?"

"Mereka berdua adalah kedua saudaramu."

Zello mengangguk atas penjelasan Federick, dirinya sudah menduga akan hal tersebut.

"Alexius da Vincent, kakak pertamamu."

Zello menatap Alexius yang ada di kursi seberang. Tatapannya tenang, ekspresinya datar, auranya dominan. Bisa dirinya simpulkan kalau kakak pertamanya itu adalah sosok yang kaku dan pendiam.

"Reynald da Vincent, kakak keduamu."

Tatapan Zello beralih pada pemuda di sampingnya. Pemuda itu terlihat berbeda, raut wajahnya terlihat ramah.

"Panggil bang Rey." Reynald tersenyum ramah, ia mengusak surai Zello.

"Okey...." Zello menganggukkan kepalanya perlahan. Dirinya bisa merasakan perasaan yang sangat asing menjalar di ulu hatinya.

—✿Figuran Zello✿—

"Adik kalian kehilangan ingatan." Federick memutar kursinya, ia duduk angkuh di depan kedua putra tertuanya yang berdiri tegak di hadapannya. Reynald mengangkat alis.

"Zello?" tanya Reynald memastikan. Federick mengangguk atas pertanyaan itu.

"Ya. Dan pastikan kalian berdua ada di meja makan saat siang nanti," titah Federick tanpa ada bantahan. Reynald mendengus, dirinya tidak bisa membantah lagi ucapan sang ayah.

Reynald teringat dengan Zello. Adik satu-satunya yang selalu menghindar. Zello selalu menundukkan kepala, ia jarang bicara atau berinteraksi kepada dirinya ataupun kepada Alexius. Zello menutup diri saat di mansion ataupun di luar mansion.

"Baik dad," Alexius angkat bicara masih dengan wajah datarnya.

—✿✿✿—

Setelah makan siang berakhir, Federick diikuti oleh Alexius pergi ke perusahaan utama. Ayah dan anak itu sama-sama gila kerja, lebih memilih berkencan dengan dokumen yang bernilai tinggi itu.

Zello duduk di sofa panjang, ia lebih memilih bersantai siang hari ini. Ditemani oleh berbagai cookies, televisi, dan Samuel yang masih saja berdiri. Kaki Zello jadi ikut pegal melihatnya.

Saat asik makan dan menonton, terdengar suara langkah kaki yang mendekati dirinya, tapi Zello memilih untuk tidak peduli dan masih berfokus pada siang leha-lehanya.

"Lagi nonton apa cil?" Reynald muncul dan langsung mengambil cookies Zello yang hendak dirinya suapkan ke dalam mulutnya yang sudah terbuka, Zello mendengus kasar.

"Itu, nggak liat?" Netranya menyipit tidak suka. Zello kesal karena cookiesnya diambil, ia fokus lagi pada layar televisinya.

"Iya-iya." Reynald terkekeh geli, ia duduk di samping kanan Zello.

"Dan lagi, jangan panggil cil," timpal Zello, ia agak menjauh dari Reynald, dirinya memeluk erat toples cookiesnya.

"Lah? Benerkan, tinggi kamu aja cuma setinggi dada bang Rey." Dengan sengaja Reynald berujar, dirinya berniat untuk memancing kekesalan Zello.

"Bukan bocil juga lah! kan cuma... Cuma...." Reynald mengangkat alis, ia melihat Zello yang mencari alasan.

"Cuma apa? Cuma pendek?"

"Enggak! Cuma...."

"Pendek!"

"Ish! Cuma kurang tinggi aja!" seru Zello tidak terima dikatain pendek. Reynald tertawa, ia memegangi perutnya yang terasa keram.

"Emang apa bedanya?" tanyanya di selingi dengan kekehan kecil. Zello mendengus kasar, ia makin memeluk toples cookiesnya.

"Pendek itu bahasa kasarnya, terus kalo kurang tinggi itu bahasa lembutnya!" Zello masih saja tidak mau dikatain pendek, ia dengan kepintarannya mencari alasan.

"Iya, beda iya."

Reynald akhirnya mengalah. Zello tersenyum puas, ia mengambil cookiesnya untuk di masukkan ke mulutnya. Tapi baru beberapa centi meter untuk masuk, sebuah tangan lain dengan sengaja mengambil cookiesnya, ia melotot lucu ke arah Reynald yang masih mengunyah cookies yang seharusnya masuk ke dalam mulutnya.

"Bang Rey!!!"

Cih, sialan memang. Reynald benar-benar menyebalkan. Zello menyipit sinis ke arah 'kakak keduanya' itu.

—✿✿✿—

Siang telah berlalu, sekarang sudah memasuki jam untuk makan malam. Semua anggota keluarga telah berkumpul di ruang makan, termasuk Zello yang duduk di sebelah Reynald.

Makan malam pun berakhir.

Zello pergi ke ruang tengah untuk menonton televisi, seperti biasa untuk menonton animasi yang di sukai dirinya. Tapi, semua anggota keluarga ikut berkumpul di ruang tengah.

Federick yang duduk di sofa single, seperti biasa ia selalu sibuk dengan layar laptop miliknya. Sedangkan Alexius yang duduk di sofa panjang, ia sibuk dengan ponselnya.

Zello tidak pernah berinteraksi lagi dengan Alexius, karena sepertinya kakak pertamanya itu jarang berbicara. Tidak seperti Reynald yang banyak bicara dan cerewet.

Reynald dan Zello duduk di atas karpet bulu, Reynald duduk di samping kanan Zello, ia sesekali mengambil cookies yang ada di toples yang sekarang sedang di peluk oleh Zello. Zello terhanyut dalam pikirannya.

'Tuk

"Ngelamun?" Reynald menusuk pipi Zello dengan jari telunjuknya. Zello sedikit tersentak, ia perlahan menggeleng.

"Nggak."

"Hm," suara deheman Federick menginterupsi. Alexius menyimpan handphone, Reynald menatap sang ayah. Federick sudah meletakkan laptopnya di atas meja kecil di sampingnya, ia duduk angkuh dengan bertumpu kaki kiri.

"Zello," panggil Federick. Zello mengangguk tegas, ia meletakkan toples cookiesnya.

"Mulai besok, kau mulai bersekolah. Daddy yang akan mengantar dirimu," ucap sekaligus titah Federick. Zello merenung sejenak, ia lalu mengangguk lagi.

"Baik, Daddy."

"Dek, besok bang Rey anter," celetuk Reynald yang masih duduk bersila.

"Oke," jawab singkat Zello.

Reynald senang dengan perubahan ini. Saat di mana sang ayah dan sang kakak yang tidak pernah di mansion, menginjakan kaki lagi di sini. Mansion yang selalu suram, sekarang sudah mulai bercahaya.

Reynald tidak pernah menyalahkan Zello atas kematian Clarissa. Wanita yang menjadi cinta pertama dirinya, dan sang ibu yang telah berpulang. Ia tidak bodoh untuk menyalahkan sang adik atas kematian tersebut, dirinya tahu bahwa itu semua adalah takdir. Takdir yang memuakkan.

Reynald hanya ingin berharap, kalau mansion ini bisa kembali seperti semula.

✿✿✿Bersambung....

Pendek? Emang, buahaha!

Figuran Zello [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang