9. Daniel dan Denisa

3 0 0
                                    

Di bawah langit mendung, orang-orang berkumpul di sekitar liang lahat yang terbuka di tanah. Suara-suara gemuruh langit bersanding dengan langkah-langkah berat para pembawa keranda berkain hijau. Tatapan mereka yang terbungkam oleh kesedihan dan kerinduan saling bertautan, menciptakan rimbun benang-benang emosi yang tak terucapkan.

Setiap orang menahan tangis di mata, tetapi ekspresi wajah yang tegang mendedahkan luka batin yang dalam. Angin sepoi-sepoi membawa bau harum bunga dari keranjang anyaman dan tanah basah, mencampur dengan getaran hening yang mendalam.

Di antara kerumunan orang-orang yang hening, dengan tangan gemetar, Rizky mencoba menghidupkan korek api berkali-kali. Sebuah rokok terselip di antara bibir merahnya yang pecah-pecah. Sepenuhnya perhatian ia berikan pada rokok dan korek api yang tidak kunjung menyala. Kegelapan merayapi suasana pemakaman, menciptakan bayangan yang melibatkan Rizky dalam upayanya yang putus asa.

Daniel, berdiri di sampingnya, melirik kakaknya yang terus berusaha. Sekali ia biarkan Rizky menghidupkan korek api dan kembali menyaksikan proses pemakaman. Kedua kalinya, Daniel merasa gatal ingin membantu kakaknya yang kesusahan itu.

Tanpa ragu, Daniel merebut korek api dari tangan kakaknya. Ia dengan mahir, pemantik apinya dipicu, menciptakan nyala api yang kecil di ujungnya. Daniel kemudian mengulurkan tangannya ke samping dan mengarahkan api kecil tersebut membakar ujung rokok Rizky. Api kecil itu menghidupkan rokok dengan gemulai, seolah-olah memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya perasaan duka yang menyelimuti.

“Sejak kapan lu merokok?”

Rizky menghisap rokok dengan satu isapan, kemudian diembuskan asap yang menggumpal di dalam mulutnya. “Sejak cemas jadi sahabat baik.”

Rizky mengambil korek api miliknya dari tangan Daniel. Sementara Daniel tidak berkomentar. Perhatiannya kini tertuju pada gerombolan manusia yang mengelilingi liang lahat.

Daniel tidak mengartikan lebih dalam maksud perkataan kakaknya. Intinya saat cemas, rokok bisa membantu menenangkan pikiran seperti obat bius. Pikirnya seperti itu karena secara ilmiah rokok juga bisa bikin penggunanya kecanduan, mirip narkotika.

Mereka berdua berdiri dan mengamati pemakaman dengan jarak cukup jauh dari keramaian, jadi asap rokok tidak akan mengganggu banyak orang.

Isakan tangis dari keluarga memenuhi area pemakaman. Mata sembab hingga merah. Mereka terduduk di atas tanah merah yang baru digali. Tidak peduli baju mereka kotor, yang penting bisa mengantarkan almarhum ke tempat peristirahatan terakhir.

Kini pandangan Rizky melayang jauh, mulai tersesat dalam pusaran pikiran dan perasaan yang menyesakkan dada. Langit mendung pun mirip dengan keadaan hatinya yang kelam, dan embusan angin seakan-akan membawa beban berat yang sulit diungkapkan. Pohon-pohon di sekitar pemakaman bergoyang-goyang dengan gerakan yang tidak menentu, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Rizky.

Beberapa orang mengelus-elus bahu seorang perempuan paruh baya sambil berkata-kata lembut supaya tetap tabah. Anak-anaknya juga menangis tak berdaya dipelukan para pria dewasa yang Daniel tidak kenal.

“Sabar, sabar ya, Bu.”

“Yang penting kita doakan selalu almarhum.”

“Jangan terlalu bersedih, nanti Bapak juga ikut sedih.”

Seorang pria yang sepantaran Daniel turun ke dalam liang lahat. Daniel bisa melihat sekilas mata pemuda tersebut yang memerah. Selang beberapa detik kemudian terdengar azan dari arah liang lahat tersebut. Gemetar begitu mengucap lafaz Allahu Akbar.

Kaki Daniel jadi ikut gemetar. Bulu kuduknya juga meremang di tengah dinginnya udara pagi ini. Ditambah langit gelap dan dihujani isakan tangis keluarga Pak Syakir, membuat suasana semakin sedih.

AKTIVITAS MISTISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang