Terjebak

33 10 37
                                    

Safaa mengernyitkan matanya ketika sinar matahari menganggu penglihatannya. Namun, seketika matanya terbuka ketika Safaa mengingat kejadian dirinya yang tiba-tiba seperti tertarik dari sebuah ruangan misterius di Masjid tadi.

"Aku ada dimana?!" tanya Safaa sembari mengitari sekitar ruangan yang menjadi tempatnya tidur tadi.

Apa? Tidur?

Kenapa dia menjadi tertidur, bukannya tadi dia bersama anak sekelompoknya yang sedang menunggu dosen pembimbingnya.

"Ulaiyah? Kau sudah bangun?" tanya seorang wanita dengan pakaian tertutup khas kerajaan timur tengah yang sering ditonton oleh Safaa ketika melihat remake sebuah kisah timur tengah ketika libur perkuliahan.

Safaa mengerutkan keningnya melihat wanita itu? Apa dia sedang dirawat oleh mahasiswa yang sedang cosplay?

"Kamu siapa? Saya ada dimana sekarang?" tanya Safaa mulai beranjak dari posisi berbaringnya.

Namun, semakin dirinya meneliti detail tempat ini. Sepertinya, dia benar-benar berada di sebuah kamar sungguhan bukan ruangan biasa saja. Kamar ini sangat luas dan desain interior-nya sangat unik khas kerajaan zaman dahulu.

Tidak mungkin-

"Kamu sedang berada di kamarmu, Ulaiyah. Memangnya kamu pikir dimana lagi. Sudah dua hari kemarin, kamu sakit panas dan semalam tidak sadarkan diri. Aku baru bisa menemuimu hari ini, Ulaiyah," jelas wanita cantik di hadapan Safaa tersebut.

"Ulaiyah? Siapa kamu? Dan kenapa daritadi menyebutku dengan nama Ulaiyah itu!" tanya Safaa memegang kepalanya yang merasa pening.

"Aku Zubaidah, Ulaiyah. Kau tentu adalah saudara wanita Khalifah. Sepertinya kau memang butuh perawatan dari tabib lebih lanjut. Kepalamu sepertinya bermasalah," ujar Zubaidah.

Ya, wanita cantik dengan balutan pakaian khas ratu timur tengah itu adalah Amat al-Aziz yang dijuluki Zubaidah. Dia adalah putri Salsal, saudara perempuan Khaizuran, dan cucu perempuan Manshur. Dengan demikian dia adalah sepupu Harun baik dari pihak ayah maupun ibunya.

"Tabib, ada apa dengan saudara perempuan Khalifah ini? Sepertinya dia linglung dengan dirinya sendiri. Tolong segera pulihkan dia, Tabib," ujar Zubaidah kepada seorang pria paruh baya yang berada di seberangnya dengan beberapa pelayan perempuan di sana membawa beberapa alat pengobatan dan obat untuk Ulaiyah.

"Baik Nyonya Zubaidah, sepertinya Nyonya Ulaiyah masih terkejut karena efek panas tingginya kemarin," ujar sang tabib dengan sopan ke arah Zubaidah yang tentu kebingungan melihat sikap Ulaiyah yang seperting orang linglung. Tidak, lebih tepatnya adalah seperti hilang ingatan.

"Ini obat yang bisa dimakan Nyonya Ulaiyah. Saya permisi dahulu, Nyonya Zubaidah," pamit sang tabib dengan sopan setelah mendapat anggukan dari Zubaidah.

"Kamu masih merasakan panas dan pening, Ulaiyah? Khalifah sangat mengkhawatirkan kamu, Ulaiyah," ujar Zubaidah dengan raut khawatir.

"Khalifah? Siapa lagi itu," tanya Safaa. Dia saja belum selesai mengatasi pertanyaannya tentang siapa itu Ulaiyah dan Zubaidah. Sekarang ditambah dengan Khalifah?

Tolong, Safaa hanya ingat dia terakhir kali berada di sebuah ruangan. Lalu, kemana juga teman-teman sekelompoknya yang lain.

"Khalifah Harun Ar-Rasyid. Kau memang harus banyak istirahat. Bisa-bisanya kamu seperti orang hilang ingatan," ucap Zubaidah.

"Khalifah Harun Ar-Rasyid? Maksudnya?"

Sepertinya, fakta tentang Harun Ar-Rasyid lebih membuat Safaa terkejut. Bagaimana bisa dia mendengar bahwa Khalifah Harun Ar-Rasyid mengkhawatirkannya.

Tidak mungkin!

Safaa langsung beranjak dari posisinya di atas ranjang besar untuk menuju ke arah sebuah cermin rias yang berada di kamar itu.

Mata Safaa membulat sempurna bahkan hampir keluar sepertinya. Dia mencubit pipinya dan mengusap-ngusap wajahnya dengan kasar.

Kenapa? Karena sekarang bukan wajahnya yang dirinya lihat di cermin itu. Di sana terlihat wajah seorang wanita asing cantik khas timur tengah yang tidak dikenali sedikit pun oleh Safaa.

"Ini beneran wajahku. Apa ini sebabnya wanita itu memanggilku dengan panggilan Ulaiyah?" gumam Safaa melirik sekilas ke arah Zubaidah yang tidak kalah bingungnya dengan Safaa.

Ulaiyah memang aktif dan sering bertindak aneh. Namun, kali ini melebihi aneh dan aktif.

Tidak cukup dengan menerka wajahnya yang berubah. Sekarang, Safaa berjalan ke arah jendela di kamar tersebut.

"Wah, aku benar-benar terlempar ke masa lalu. Namun, kenapa harus masa khalifah Harun Ar-Rasyid. Aku tidak ingin melihat pemimpin seperti dia!"

Namun, gumaman rutukan Safaa terhenti ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang.

"Nanti kita makan malam bersama dengan Khalifah. Sepertinya ketika aku melihat gerakanmu tadi, kamu sudah bisa ikut makan malam bersama kita. Nanti pelayan akan membantumu turun ke bawah juga," ucap Zubaidah yang setelahnya dia keluar dari kamar Ulaiyah.

Setelah kepergian Zubaidah, Safaa langsung bergegas menelusuri setiap sudut kamar tersebut berharap menemukan informasi atau petunjuk tentang apa yang terjadi kepadanya.

"Aku harus menemukan petunjuk kenapa aku bisa ada di sini. Aku tidak mau terus terjebak di sini. Entah tempat dan waktu apa di sini!" ucap Safaa terus mengitari sampai mengungkap beberapa barang yang diharapkan bisa membantunya.

Namun, nihil. Safaa sama sekali tidak menemukan apapun.

"Apa yang membuatku terjebak di sini! Aku tidak mau terus berada di sini!"

Safaa berteriak hampir setengah frustasi. Namun, tiba-tiba matanya menemukan beberapa buku dengan jilid tua yang sering ditemuinya di gudang perpustakaan, karena sudah tidak banyak yang baca.

"Ini bukannya syair-syair yang dibuat oleh Ibn Al-Muqaffa dan Abu Nawas. Tokoh sastra yang sangat terkenal pada masa Khalifah sombong itu!" ujar Safaa. Dia memang tidak menyukai Khalifah Harun Ar-Rasyid. Namun, dia sangat menyukai hasil sastra yang dihasilkan pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Senyum setidaknya menghiasi wajah yang tadi hampir frustasi itu. Safaa dengan semangat mengambil buku-buku tua tersebut.

"Setidaknya di istana ini aku masih bisa menikmati bacaan sastra yang sangat kusukai. Sepertinya, ini benar-benar tulisan asli mereka, bukan?"

Safaa membolak-balik buku tersebut. Dia yakin bahwa buku tersebut merupakan hasil asli tangan, bukan hasil cetakan print atau dengan memakai alat modern lainnya.

"Aku akan memikirkan tentang kejadian aneh ini nanti setelah menyelesaikan bacaan syair-syair ini," ucap Safaa sudah bersiap dengan fokusnya pada buku tersebut.

Namun, fokus Safaa terpecah ketika pintu kamarnya tersebut diketuk oleh seseorang dengan suara meminta persetujuan untuk masuk ke dalam kamar.

"Permisi, Nyonya Ulaiyah. Ini obat yang tadi diresepkan oleh tabib. Nyonya Zubaidah menyuruh kami untuk memberikan teh hangat yang bagus untuk membantu menyegarkan kembali Nyonya Ulaiyah," jelas dua pelayan yang sedang membawa nampan.

Safaa sedikit risi dengan sikap para pelayan tersebut yang memperlakukannya dengan sangat hormat. Bahkan, dia saja tidak tahu kenapa bisa masuk ke dalam tubuh wanita yang bernama Ulaiyah ini.

Safaa akhirnya mengangguk. Tidak ada gunanya juga dia bertanya banyak, karena mereka pasti akan mengira dirinya masih butuh istirahat. Entahlah, dia akan memikirkan itu nanti. Kepalanya masih pening.

"Kami permisi dulu, Nyonya Ulaiyah," pamit dua pelayan tersebut.

"Tunggu," cegah Safaa yang sontak membuat kedua pelayan tersebut mengurungkan tindakannya untuk keluar dari kamar itu.

"Apa masih ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya salah satu diantara mereka.

"Apa di sini ada perpustakaan?"

Syair Safaa Untuk Sang KhalifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang