Safaa Zainab Salbi merupakan seorang mahasiswi di Universitas Baghdad jurusan Akidah dan Pemikiran Islam. Dia merupakan sosok gadis yang sangat mengedepankan logikanya dan ambisius. Namun, dia memiliki kelembutan setiap kali berkutat dengan hobinya yaitu Seni dan Sastra.
Hal itu, bisa dilihat sekarang dari posisinya yang berada di perpustakaan dibandingkan dengan mahasiswa/mahasiswi lain yang bersemangat beraktivitas di luar, karena ada perayaan ulang tahun universitas mereka.
Untungnya, Safaa memiliki satu sosok sahabat yang bisa menerima sifat tertutup sekaligus seriusnya, yaitu Rania. Ya, Rania Al-Haqq, seorang keturunan Turki yang berada di jurusan yang sama.
Rania menggelengkan kepalanya sambil berjalan ke arah Safaa. Pantas saja, dirinya tidak menemukan Safaa di luar sana bersama yang lainnya. Rupanya, Safaa malah sibuk membaca buku syair-syair kuno kesukaannya di sini.
"Kamu tidak tertarik untuk keluar bersama yang lainnya. Acaranya cukup meriah di auditorium," ucap Rania yang sudah duduk di depan sahabatnya.
Safaa menggeleng tanpa menatap ke arah Rania. Dia sama sekali tidak tertarik akan acara yang sedang dibicarakan oleh Rania sekarang.
"Aku tidak suka acara seperti itu! Lebih baik aku membaca syair-syair ini," ujar Safaa dengan tatapan semangat ketika menyebut syair-syair ini.
Rania mengangguk. Walaupun terkesan cuek, tapi Safaa merupakan salah satu sosok yang perhatian kepadanya. Sahabat yang selalu ada juga untuk Rania sejak masa awal masuk perguruan tinggi.
"Aku lihat di mading kampus, syair yang dibuatmu menjadi tiga syair terbagus dalam tugas kemarin," ujar Rania dengan penuh semangat. Dia sangat bangga kepada Safaa.
Safaa tersenyum sembari menutup buku yang sedang dibacanya. Akan dirinya lanjut nanti saja.
"Aku sudah melihatnya, Rania," kekeh Safaa. Sahabatnya itu selalu antusias setiap memberi apresiasi kepadanya.
"Aku sudah bisa menebaknya. Kamu akan menjadi tiga berkas syair terbaik untuk tugas kemarin," ujar Rania bangga. "Apa kamu mau membantuku untuk menyusun syair indah juga, Safaa?" lanjut Rania dengan wajah penuh harapan.
"Jadi ini tujuan kamu ke sini mencariku, ya? Dasar kamu!" decak Safaa.
"Aku ke sini punya tiga tujuan utama. Pertama, mengajak kamu untuk ke luar menikmati perayaan ulang tahun kampus tercinta kita. Kedua, aku ingin memberitahumu tentang betapa bangganya aku. Lalu, terakhir adalah meminta bantuanmu tentunya," jelas Rania dengan kekehan.
Safaa hanya memutar matanya, tapi tetap terkekeh akan sikap kekanakkan Rania jika meminta bantuan kepadanya.
"Memangnya apa tema syair yang dijadikan tugas untuk kelasmu nanti, Rania?" tanya Safaa. Mereka memang berbeda kelas.
"Tentang Khalifah Harun Ar-Rasyid. Aku sangat senang mendapat tema itu, tapi saking aku senangnya, harus mendapat bantuanmu agar hasilnya seindah Kisah Khalifah Harun Ar-Rasyid," ucap Rania.
Wajah antusias Safaa mendadak pudar digantikan dengan wajah datarnya ketika mendengar nama sosok yang tidak disukainya.
"Aku tidak bisa membantumu jika harus menulis tentang sosok khalifah kebanggaanmu itu!" tolak Safaa tiba-tiba berubah pikiran.
"Kok begitu sih, Safaa. Kenapa kamu tidak menyukai sosok Khalifah Harun Ar-Rasyid? Kamu harus tahu betapa berjasanya dia dalam kepemimpinannya sampai sekarang!" ujar Rania. Kejadian ini bukan kali pertama mereka berdebat tentang sosok Khalifah Harun Ar-Rasyid.
"Dia sosok pemimpin otoriter, sewenang-wenang dan angkuh! Aku tidak suka sosok pemimpin seperti itu!"
"Sepertinya ada yang salah dengan apa yang kamu ketahui tentang Khalifah Harun Ar-Rasyid. Dia sama sekali tidak seperti apa yang kamu katakan barusan, Safaa!" tolak Rania.
Bisa dibayangkan bukan bagaimana perdebatan dua paham yang berbeda? Jika tidak ada yang mengalah, pasti akan berujung pada permusuhan.
Rania menghela napasnya dalam melihat tidak ada tanda-tanda sahabatnya akan berbicara lagi. Mereka pernah berdebat seperti ini. Ya, ketika Rania sedang membicarakan sosok yang dikaguminya yaitu Khalifah Harun Ar-Rasyid. Namun, tiba-tiba Safaa membantah semua pujian itu dengan pandangannya.
Safaa mendapat doktrin yang tidak baik dari keluarganya akan sosok Khalifah Harun Ar-Rasyid. Bagi mereka, Khalifah Harun bukanlah pemimpin yang baik, melainkan pemimping yang sewenang-wenang.
"Makanya kamu harus baca semua kisah Khalifah Harun. Jangan hanya berpegang pada satu doktrin saja! Kalo begitu kamu namanya menutup kebenaran, Safaa!" lanjut Rania.
Namun, nihil. Hasilnya selalu sia-sia, karena sahabatnya sendiri yang menutup mata, telinga dan bahkan hatinya untuk mengenal sosok Khalifah Harun Ar-Rasyid.
"Oke, kamu tenangkan dirimu dulu. Aku tidak mau kita bertengkar. Aku tunggu kamu di kantin. Kamu juga butuh makan, jangan terus berada di sini!"
Setelahnya, Rania keluar dari perpustakaan yang tampak sepi itu. Bukan hanya Safaa yang harus menormalkan amarahnya. Namun, Rania juga.
"Apa yang membuat kalian mengagumi sosok Harun Ar-Rasyid itu! Dia bukan pemimpin seperti yang kalian banggakan!" decak Safaa.
-0-0-0-
KAMU SEDANG MEMBACA
Syair Safaa Untuk Sang Khalifah
Ficção HistóricaSafaa Zainal Salbi merupakan mahasiswa di Universitas Baghdad jurusan Akidah dan Pemikiran Islam. Dia memiliki sifat yang sangat rasional dan mengutamakan kebenaran melalui fakta nyata, tapi memiliki sifat lembut jika berkaitan dengan hobinya yaitu...