•*•✺•*•
Rabu, 15 Oktober, 2022.
Ruang Seni - Lukis Ocean High School.Merah, biru tua dan hitam. Tiga warna yang dipoles secara abstrak, pada sebuah kanvas berukuran sedang oleh seorang siswi, yang sibuk dengan kegiatan melukisnya sejak tiga jam yang lamanya.
Tangan kanan dengan kuas yang sedari tadi sibuk memoles warna pada medium kanvasnya itu, lama kelamaan terlihat makin tak beraturan dengan teknik polesan yang cenderung kasar.
Tidak ada lagi polesan yang halus seperti sediakala. Siswi itu juga terlihat menatap kosong kearah lukisan yang dibuatnya.
Akan tetapi, tak membuat kegiatan melukisnya terganggu sama sekali. Hingga beberapa menit setelahnya, siswi tersebut pun menghentikan aktivitasnya.
Palet warna di tangan kiri, dengan kuas di tangan kanan tiba-tiba diletakkan secara kasar pada nakas kecil disampingnya. Layaknya meluapkan emosi yang dipendamnya sedari tadi.
Kemudian jari-jari tangannya yang lentik pun mendekat kearah lukisan yang dibuatnya.
Menyentuh warna-warna yang dipoles nya, padahal warna-warna tersebut belum kering sepenuhnya.
Merah, adalah warna yang bagaikan melambangkan dendam serta amarah yang dipendamnya.
Biru tua, bagaikan warna yang melambangkan kesedihan mendalam.
Kemudian hitam, bagaikan warna yang melambangkan kebencian.
Kebencian yang dipendamnya selama ini, beserta amarah, begitupula dendamnya. Dan tak lupa dengan kesedihannya.
Lukisan abstrak itu, ya, siswi tersebut sangat menyukai lukisan abstrak.
Karena sepertinya, lukisan abstrak merupakan bagian dari jati diri, perasaan, serta emosi yang dialami oleh pelukisnya. Dan semua itu dituangkannya dalam sebuah lukisan.
Apakah siswi tersebut sering datang berkunjung ke ruangan ini? Jawabannya adalah tidak.
Karena ini adalah kali pertamanya siswi itu mendatangi ruangan yang sangat disukainya sejak kecil.
Tapi semenjak kejadian beberapa tahun yang lalu, membuat siswi tersebut jadi membenci dan meninggalkan salah satu hobby yang bagaikan separuh napasnya ini.
Ruang melukis. Atau ruang seni lukis. Dulu, itu adalah cinta pertamanya.
Sepulang sekolah, siswi tersebut selalu mendatanginya sampai lupa waktu dan berujung dihukum Ayahnya.
Meski demikian, semua itu tak membuatnya merasa jera.
Dirinya menganggap bahwa sikap penentangan serta hukuman dari Ayahnya, merupakan rintangan yang harus dihadapi dalam mempertahankan cinta serta keseriusannya terhadap hal yang disebut-sebut sebagai cinta pertamanya itu.
Hingga pada suatu hari, dirinya pun memutuskan untuk menyerah.
Lalu pergi sejauh-jauhnya untuk meninggalkan cinta pertamanya.
Tapi sekarang, yang seharusnya merupakan peringatan tahun ke tujuh setelah meninggalkan cinta pertamanya, siswi tersebut justru terlihat memasuki ruang seni lukis yang sejak awal diketahui keberadaannya semenjak siswi tersebut pindah ke sekolah barunya ini.
Ini merupakan bulan kedua atas ke pindahan siswi tersebut. Sekaligus kali pertamanya bertemu kembali dengan cinta lamanya.
Disaat keduanya bertemu, seharusnya membangkitkan rasa rindu, kesedihan serta kebahagiaan yang bercampur aduk dalam sebuah lukisan abstrak, tapi yang terlihat... Justru, jauh dari semua itu.
Tidak ada warna hijau yang biasanya digunakan gadis itu dalam mengekspresikan rasa kerinduan.
Tidak ada warna biru muda, yang biasanya digunakannya dalam mengekspresikan rasa kesedihan serta harapannya yang tinggi layaknya warna biru muda pada langit yang tinggi di siang hari.
Dan tidak ada warna pink yang biasanya digunakannya dalam mengekspresikan rasa kebahagiaannya.
Yang tersisa, hanyalah warna merah, biru tua serta hitam yang menjadi salam pertemuan kembali pada cinta pertamanya waktu dulu.
Sungguh salam pertemuan yang jauh dari kata baik, yakan?
“Akhirnya kita bertemu lagi. Maaf karena sudah meninggalkanmu, tapi sekarang aku datang untuk menemuimu lagi.”
“Kau masih sama seperti dulu, sementara aku? Tidak. Seseorang yang sangat mencintaimu waktu dulu, telah tiada disaat dia meninggalkanmu. Sekarang, seseorang itu kembali menemuimu hanya untuk melepaskan sisa beban yang dipendamnya untuk di lampiaskan padamu.” siswi tersebut tampak semakin kacau dengan berbicara sendiri pada kanvas dihadapannya. Jika saja dia bisa menangis, mungkin sudah banyak air mata yang menghiasi wajah kusutnya.
Kringgg~! Kringgg~!!!
Bell pertanda istirahat pertama yang terdengar nyaring sepanjang koridor ruangan tak lagi dihiraukannya. Karena semua perhatiannya tercurahkan pada sebuah kanvas dihadapannya.
“Senang bisa melihatmu bertemu kembali dengan cinta pertama yang sengaja kamu lupa dan tinggalkan seperti hal yang kamu juga lakukan padaku, Daisy Aeris...,” ucap seorang siswa lain yang entah dari kapan dan bagaimana, kini siswa tersebut terlihat berdiri di daun pintu dan menatapnya dengan senyuman yang selalu sama.
Deg!
“...Tapi aku juga senang, bisa bertemu lagi denganmu dan senang bisa menemukanmu kembali.” lanjut siswa tersebut seraya melangkah pelan memasuki ruang seni hingga kini berdiri tepat dihadapan siswi yang disebut-sebut sebagai Daisy Aeris tadi.
Setiap langkah siswa itu, terhitung sebagai tindakan lancang bagi sang siswi karena lagi dan lagi, memaksa masuk kedalam hidupnya.
Memaksa masuk kedalam hidup seorang Daisy Aeris, si bunga daisy yang akan selalu membenci keberadaan semak belukar disekitarnya.
•*•✺•*•
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗛𝗶𝗱𝗱𝗲𝗻 𝗗𝗮𝗶𝘀𝗶𝗲𝘀✓
Ficção AdolescenteDaisy Aeris, membenci Sastra Restu Pratama yang merupakan rivalnya dalam mendapatkan ranking kelas, kejuaraan olimpiade, sampai peringkat paralel disekolah nya. Akar dari rasa bencinya, itu bermula sejak mereka masuk taman kanak-kanak, sekolah dasa...