Keesokan harinya kami pulang ke Surabaya dan kukira itu akhir dari rasa tidak enak yang aku rasakan. Tetapi di kenaikan kelas dua belas kami menjadi teman sekelas. Jenan akhirnya mempunyai teman. Lelaki yang sama dengannya sama-sama terkenal di sekolah karena tampan juga. Namanya Travis Biantara. Semua berjalan lancar baginya tapi dia belum mengembalikan uangku sampai saat ini. Aku kira dia telah melupakannya.
Di siang hari yang cerah, ketika dia sedang dalam lamunan, tiba-tiba terdengar bunyi dering telpon yang memecah keheningan. Suara tersebut menyadarkannya dari khayalan dan membuatnya fokus pada realitas sekitarnya. Dengan cepat, dia mengambil hanphone dari saku dan melihat siapa yang menghubunginya. Dalam hati, dia merasa penasaran dengan siapa yang ingin berkomunikasi dengannya di tengah hari yang tenang ini.
"Nomor tidak dikenal, siapa?" batinnya.
"Halo?"
"Rina!"
"Jenan! Kenapa menelpon?"
"Ayo ikut gue ke Jakarta!"
"Ha? Gila lu!" Bentakku.
"Wow! Sekarang udah lo-gue ya? Cepat kutunggu, bawa barang yang penting aja, kita akan disana dua hari. Lu gak usah cemas karena tiket pesawat sudah gue beli."
"Maksud anjir! Tiba-tiba banget! Gue menolak!"
"Tidak menerima penolakan ku tunggu di bandara. Pesawat berangkat pukul 10.00 masih ada waktu dua jam lagi."
"Woi! Gue belum bilang orangtua ku—" Panggilan telah diputuskan.
"Anjing!" Umpatku. "Astaghfirullah sabar-sabar." Sambil mengelus dadaku.
Clairina dengan buru-buru mengemasi barang bawaannya seperti pakaian, peralatan mandi, dan lain-lain di dalam tas ranselnya. Sebelum berangkat ia ragu apakah ia dibolehkan pergi ke Jakarta dengan Jenan. Karena ia tahu keluarganya tidak akan memperbolehkan dirinya keluar berdua dengan laki-laki keluar kota.
Mau saja ia meminta izin, bundanya berkata, "Jenan baru saja telpon bunda katanya ia minta izin kamu akan Jakarta barengnya selama dua hari karena ada kunjungan di universitas. Kamu kok tidak bilang bunda? Sudah disiapin barang-barangnya? Bunda sudah pesenin taksi buat kamu langsung ke bandara."
"Eh? Iyaa bun, terima kasih." Kataku terkejut, bundanya benar-benar mengizinkannya.
"Hati-hati! Jangan aneh-aneh disana! Kemana-mana sama Jenan, jangan sendiri!"
"Bunda aku bukan anak kecil."
"Dia kan lebih tahu Jakarta daripada kamu yang belum pernah kesana."
"Iyaa deh. Kalau gitu Rina berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
•••
Clairina duduk di dalam taksi dengan wajah yang penuh dengan ekspresi kekesalan. Ekspresi tersebut mencerminkan perasaan sebal yang sedang dirasakan olehnya. Di dalam taksi yang bergerak menuju tujuan, ia terus merenungkan kejadian tersebut, mempertimbangkan cara untuk mengatasi perasaan negatif yang sedang dirasakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
see you,- park jeongwoo [end]
Fanfictionjeongwoo lokal. park jeongwoo as jenan adiwijaya ❝Aku selalu berpikir memandangi langit di Surabaya sama saja dengan di kota lain. Tapi kalau dilihat-lihat berbeda, terlihat lebih jernih di Surabaya, apalagi kalau misal ada Jenan disebelahnya, semua...