🌞 8 🌞

42 9 6
                                    

***


Aku menangkap gerak-gerik yang sedikit mencurigakan. Saat para tamu masih menikmati hidangan, dan baru saja lima menit yang lalu Yura pergi menuju toilet gedung ini. Seseorang yang tinggi yang semula duduk tenang di kursi kebesarannya, kini ikut menghilang ditelan bumi.

Hingga bisa dikatakan ini waktu break pasangan itu untuk menyambut doa dan harapan dari para tamu. Aku melirik sejenak pada arloji yang bertengger di pergelangan tanganku, tidak terasa Yura menghabiskan waktu 15 menit setelah ia berkata perlu merapikan riasan itu. Sebagai rekan bayarannya, aku merasakan hal yang sedikit keliru.

Menilik timing hilangnya pengantin pria yang kudengar dari seorang remaja laki-laki yang baru saja melewati mejaku, pria itu sedang merehatkan diri di tempat istirahat di belakang podium di depanku. Hal ini menyadarkanku bahwa Yura bisa saja bertemu dengannya dan mereka menuntaskan hal yang belum selesai. Sebuah kesalahpahaman selama setahun berpisah, itu yang aku dengar sekilas dari perdebatan halus Yura dengan wanita tua yang tidak bisa melepas kenyataan yang dialami anaknya.

Tampaknya, mencintai dan dicintai seseorang itu bukan perkara yang sederhana. Situasi selesai bukan berarti sudah usai segalanya.

"Astaga, di mana perempuan itu?!" Aku bergumam sendirian sembari melirik kanan kiri bergantian. Selayaknya peran seorang kekasih baru yang masih tidak mengenal pasangannya, aku merasa dilema. Aku mengkhawatirkan dirinya.

Saat hendak meneleponnya aku melihat ponselnya ditinggal di atas meja, kalau begini aku tidak tahu harus menghubungi siapa. Tidak ada yang aku kenal di ruangan ini, aku beranjak dari kursi sembari menetralkan degub jantungku yang sedikit bertalu cepat, kemudian bertanya pada seorang di ujung sana, di mana letak kamar mandi, dan dia menunjuk berada di belakang gedung yang mengharuskan aku melewati sekumpulan anak kecil yang tidak karuan. Bermain di sana dengan riang.

Aku membenci keadaan ini. Rasanya sangat tidak nyaman dan membuatku berantakan. Tampak di ujung sana di depan lorong menuju kamar mandi khusus perempuan, dia termenung sendirian. Matanya yang kecil itu menatap lantai dengan dalam. Punggungnya seakan memangku sesuatu yang berat. Tidak terlihat kepura-puraannya, seperti bahagia yang dia tunjukkan di depan sepasang pengantin di singgasana.

Mataku tidak dapat lepas dari tubuhnya yang kecil, aku melihat seorang perempuan yang begitu rapuh yang pandai menutupi luka di hatinya. Perlahan kuberjalan, menujunya aku berharap ia tidak menunjukkan lagi kegamangan yang dibalut ketegaran yang aku rasa semakin membuatnya kecil. Saat langkah ini sampai menujunya, aku meraih pundak kecil itu, menariknya untuk kudekap dengan hangat. Aku melihat respon terkejut dari Yura, dia sejenak terkesiap namun perlahan tubuhnya melebur dalam dekapan.

"Menangislah, kamu tidak perlu menahannya lagi."

Kini yang kudengar hanya tangis. Tanpa raut wajahnya yang sendu, dia tenggelam di dadaku. Membahasahi kemeja hitam yang dibalut dengan tuxedo pilihannya. Tidak ada ucapan yang keluar dari bibirnya. Dia menyerahkan perasaanya padaku, pada tangis yang ia tunjukkan tanpa enggan.


***


Soon ShineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang