2. Pertama

4 0 0
                                    

Tepat di bawah pohon yang cukup rindang, tiga makhluk sosial duduk berjejeran yang tengah asik bermain lempar batu. Hari ini mereka memutuskan untuk ke bermain di samping perpustakaan, mengingat mereka sudah ujian jadi tidak ada pembelajaran.

"Jika batuku terpental, besok kita tidak perlu pakai seragam."

"Kalau batu ini lebih jauh dari batu Dila, kita lanjut di sekolah yang sama."

"Jika batuku ini mengenai pohon itu, Muti jadi peringkat satu," ucap Dila sambil melemparkan batunya, mereka fokus pada batu yang sudah melayang itu. Tepat sasaran. Ketiganya langsung tertawa, merasa mustahil sebab sudah jadi hal umum ada dua orang di kelas mereka yang tidak bisa dilengserkan.

Sambil tertawa Uni melanjutkan, "kalau batuku mengenai tembok itu, berarti Dila suka Ukap." Ia menargetkan batunya ke tembok yang tertera nama sekolah.

"Eh, ongol. Ukap suka Muti, tau," imbuh Dila yang duduk di tengah mereka, membuat kedua temannya berbalik, Uni sedikit menyipitkan matanya seperti mencari kebenaran atas ucapan Dila tadi dan Muti pun mengikutinya.

"Biarkan saja. Uni, coba lembar," pintah Muti yang tidak terima namanya disebut. Tentu saja, Uni dengan sigap melempar batu, pun dengan tujuan ingin memecahkan kaca pada tembok tersebut, alias ingin merusak fasilitas.

"Weh kena, berarti benar."
"Sembarangan."
Keduanya tertawa melihat respon Dila, setelah batu itu tepat mengenai tembok.

"Fiks sih ini, panggil Ukap, tidak?" tanya Muti dengan nada yang menjengkelkan.

Benar saja, Ukap berjalan melewati mereka dengan pasukannya, mungkin habis bermain bola. Bukan Uni namanya jika tidak berani dan dengan lantang ia berteriak, "Ukap! Dila suka kau."

Oke, permainan tahan malu dimulai.

"Muti, kau yang keponakannya Bu Fatma kan?" tanya Uni dengan es potong di tangannya. Setelah lelah berlari dari masalah yang diciptakan Uni mereka memutuskan jajan saja di gardu yang tak jauh dari sekolah.

"Bu Fatma yang pindah saat aku datang?" tanya Dila memastikan dan mendapatkan anggukkan keduanya.

Bu Fatma sepupu Ibu, ia guru yang selalu membawa Muti saat ke sekolah, jadi Muti lebih dulu dikenal warga sekolah dibanding teman yang lain. Muti ingat betul bagaimana tiba-tiba ia disuruh memakai seragam dan mulai hari pertama bersekolah yang sebenarnya.

"Berarti kau yang menahan tangis itu?" tanya Uni lagi dan diangguki Muti.

Muti POV

Aku heran, mengapa hari itu dipakaikan seragam seperti anak sekolah padahal niatku hanya ikut-ikutan dengan tante yang seorang guru. Jadi, aku duduk di antara murid? Padahal menyenangkan duduk di depan mereka saja.

Ibu memasukkan satu buku dan pensil ke dalam tas merah muda yang sedikit besar di punggungku, lalu memasangkan kaus kaki dan sepatu. Aku mencoba memahami, tidak banyak tanya, tidak antusias juga, merasa seperti hari biasanya aku ke sana hanya untuk bermain.

Tak lama aku bersama tanteku, dalam perjalanan ia berkata bahwa hari ini aku akan duduk dan belajar bersama teman baru. Tepat di depan sebuah kelas aku ditinggalkannya, aku hanya terpaku, tak berani masuk. Lalu datang seorang gadis dengan rambut panjang terkepang, ia jadi teman pertama yang mengajakku masuk dan duduk di dekatnya, ini bukan Uni.

Melihat sekeliling rasanya sangat aneh, anak lima tahun sepertiku harus dihadapkan dengan teman-teman yang tingginya sejengkal dariku. Aku mulai sadar bahwa aku mulai bersekolah dari sekarang, aku bukan anak yang ikut-ikutan lagi, aku sudah sekolah. Namun, yang kurasa hanya kecemasan, bagaimana aku bersaing dan caraku berbaur, sebab dari dulu Ibuku selalu memperlihatkan sepupu yang baik dalam bidang akademik, artinya ia mau aku juga begitu, kan?

Hari pertama itu hanya satu pelajaran yang masuk dan gurunya tanteku—Bu Fatma, jadi aku tidak banyak khawatir. Jam istirahatpun aku makan di ruang guru, enak sekali. Tiba-tiba pemberitahuan bahwa akan ada BIAS (Bulan imunisasi anak sekolah) untuk anak kelas satu sampai empat, intinya kami akan disuntik. Aku, anak yang hari pertamanya bersekolah sudah mendapatkan suntik, tapi terlalu malu untuk menangis padahal dalam hati tak terima, kenapa bukan besok saja aku datang. Jadilah, menahan tangis hingga pulang sekolah padahal beberapa dari mereka sudah berusaha menghibur gadis kecil ini.

Menapaki lebih dulu dan merasakan sebelum mereka yang seharusnya bersamaku.


NantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang