Bel berbunyi, cukup nyaring hingga terdengar seluruh area sekolah, menandakan kegiatan belajar-mengajar perlu dihentikan. Warga sekolah terutama para murid berhamburan keluar kelas, meski masih banyak anak yang berkumpul untuk bercengkrama dengan temannya.
Anak terakhir dari kelas enam keluar dengan lunglai, ini hari terakhir ujian yang membuatnya khawatir tentang hasil akhirnya. Keadaan sekolah sudah sepi, hanya beberapa guru dan staf yang membersihkan ruangannya, ia sempat menyapa beberapa dari mereka hingga melewati gerbang sekolah dasar tersebut.
Tepat selangkah keluar dari gerbang, ada dua makhluk sosial yang berbicara.
"Hei, bagaimana ujianmu?" tanya salah satu dari mereka, sambil bersandar di tembok gerbang dengan mie mega di tangannya.
"Kalau Muti, jangan ditanya. Tertulis 99 di nilai tetap dipikir kurang satu-nya karena apa," ujar satunya yang sedari tadi jongkok menunggu temannya.
Sang empunya nama melihat sinis keduanya, tidak bisa mengelak. Ia mendekat, menarik tangan temannya agar berdiri, sambil berkata, "iya, kau benar."
"Tidak terbayangkan aku yang jadi anak ibumu, dengan otak yang hanya memadai ini. Untung kau sih," kata anak dengan mie Mega di tangannya.
"Uni, habiskan mie-nya baru bicara dan kau Dila, percepat jalannya," pintah Muti yang mulai berjalan lebih dulu, ia lelah dengan keduanya. Pikirannya masih bertuju pada hasil akhirnya nanti, semoga memuaskan. Sambil meninggalkan area sekolah mereka berbincang ringan tapi berat sekali untuk Muti.
"Eh, Uni, dari awal Muti memang begitu ya?" tanya Dilla yang mulai menyamakan langkah Muti di depannya. Pertanyaan yang membuat Muti tertawa kecil, lupa bahwa Dila baru setahun di sini.
"Wih, tanya sendiri dengan yang bersangkutan," jawab Uni yang masih sibuk dengan mie di tangannya lalu lanjut berkata, "masih kau ingat Muti? Bagaimana setiap kenaikan kelas Ibumu selalu berada di depan pintu?"
Ingin rasanya Muti mengumpat, pertanyaan apa itu. Tau sekali Uni untuk menjadikannya bahan usil-an, tapi jika diingat memang tidak salah.
"Kita sudah mau SMP tapi kau masih belum bisa main jengkal dan lompat tali karena terlalu sibuk belajar," ujarnya lagi. Dila hanya tertawa, menanggapi Uni dan Muti yang ke-silauan fakta.
"Pergi sana kau Uni, tuh temanmu menunggu," perintah Muti saat melihat beberapa teman sekampung Uni menunggunya dari kejauhan, sekaligus mengusir karena sudah muak dengan ocehannya.
Uni dengan segera menghabiskan mie-nya lalu menyimpan sampahnya di kantong tas Muti sambil tersenyum, sedetik kemudian membalikkan badannya menjauh dari mereka dengan lambaian tangan kecil.
Dila yang melihat itu dengan berpura-pura ingin menendangnya dari belakang, benar saja kata Ibu, "temanmu aneh." Mengingat ibu, Muti segera meminta Dila untuk bergegas. Sampai di jalan yang memisahkan keduanya, Dila sempat berkata, "kau sudah pintar."
Oh iya, kita hanya mengetahui sedikitnya kehidupan seseorang setelah kita dipertemukan. Artinya—sebelum bertemu, kita tidak tau bagaimana ia sampai sejauh ini dan akan tak tau kembali setelah salah satunya pergi, ada jeda dan kita hanya bagian dari secuil hidupnya. Dila menjadi contoh kecilnya.
Muti mulai membuka pintu, tertuju langsung pada seragam adiknya yang berserakan, menjadi tanda bahwa mereka sedari tadi pulang dan ibu tidak mendapati mereka. Jelas, jika ibu ada mereka tidak akan bertingkah. Muti membaringkan dirinya setelah membersihkan dan mengganti bajunya. Tak lama, hujan dan petirnya tiba-tiba datang, Muti jadi panik sendiri, tau bagaimana cara meredakannya? Ia menghapal perkalian dengan suara keras, berdoa dalam hati semoga petirnya berhenti. Dia takut petir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nanti
אקראיAnak kecil itu mulai berlari menyamakan langkahnya, semakin cepat, dia semakin menjauh. Terlalu fokus mengejar hingga lupa bahwa kaki kecilnya mulai lelah dan tak sengaja terjatuh. Dia yang dikejar terhenti, menoleh dan berkata, "kamu sudah besar. A...