Prolog

6 1 0
                                    

Gadis kecil itu terpaku saat tak sengaja memecahkan gelas, tidak peduli kakinya sekarang menahan sakit akibat pecahan beling, berpikir bagaimana respon mereka karena kelakuannya. Ibunya yang baru saja tiba setelah mendengar suara yang cukup keras, menghela nafas berat.

"Muti, jangan bergerak. Tunggu di situ," pintanya sambil berjalan dengan sapu di tangan, lalu mengangkat Muti ke tempat yang lebih aman dan mulai membersihkan pecahan beling yang berserakan di lantai.
Setelah selesai barulah ia berbalik menatap gadis kecil itu, meski dari awal sudah sadar kaki anaknya terkena beling.

Ia mengajarkan bahwa segala sesuatu yang diperbuat oleh diri, akan ditanggung sendiri, penolong datang setelah kita memang membutuhkan.

Sang ibu mulai mengobatinya, hening yang terjadi sebab keduanya saling menunggu lawan bicara masing-masing. Sebelum ini, Muti memang dimarahi karena terlalu asik bermain hingga tidak mengerjakan tugas dengan baik, acak-acakan dan berujung tak diberi nilai.
Keduanya yang memiliki ego tinggi sampai akhir pun tidak terjadi komunikasi, setelah selesai diobati, ibunya mulai berdiri dan mengurus adiknya yang sedari tadi menangis. Muti tidak berterima kasih atau mengucap maaf, dasar tidak tau diri.

Muti yang sadar lantai tadi masih basah berinisiatif sendiri mengambil lap kain dan mengepelnya. Kakinya tidak sakit tapi harga dirinya, terlalu gengsi, padahal dalam hati bergejolak kata maaf dan terima kasih. Ide licik muncul, dia tidak perlu repot-repot memulai lebih dulu, ibunya yang akan mendatanginya. Berjalan di dapur, mengambil benda yang akan jadi sasaran kali ini dan menyembunyikannya.

"Yakin, sih. Ibu akan kalah."

Benar saja, saat Ibunya keluar kamar dia berpura-pura duduk di meja makan, seolah menunggu waktu yang tepat agar aksinya berjalan. Sang ibu yang mulai mondar-mandir mencari keberadaan benda yang disembunyikan anaknya, mulai berkata, "perasaan disimpan di sini, deh. Hilang ke mana lagi."

Sudahlah Ibu, minta tolong saja dengan Muti.

"Muti, bantu cari susu adikmu. Padahal tadi disimpan di sini, deh, cepat cari."

Kan, dugaannya benar. Muti yang pintar sekali berakting pun beranjak mencari dan berkata, "oh susu adik ya? Biasanya kan ada di situ, Bu. Coba ingat lagi, deh."

"Tidak ada. Andaikan ada, Ibu tidak minta tolong. Cepat sedikit," ucap ibunya yang mulai kehilangan kesabaran.

"Bu, dia sudah besar." Seolah tidak asing, Ibunya berbalik menyadari bahwa ucapan tadi selalu ia katakan pada anak sulungnya. Muti yang paham mulai menggerutu dalam hati, "bodoh."

"Ibu, sudah dapat," katanya sambil memberikan tumbler yang tadi disembunyikannya. Ibunya dengan cepat mengambil dan mengucapkan terima kasih. Yah, dia memiliki adik kembar yang berusia 3 tahun, berbeda 3 tahun darinya. Muti baru saja naik kelas dua sekolah dasar, setelah bersekolah setahun tidak ia sadari.

NantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang