02. How far they left

238 41 4
                                    

Keesokan harinya Rahesha berakhir berangkat ke sekolah bersama Savero, dikarenakan Elang adalah anggota osis yang kebagian menjadi panitia MPLS, hal itu menjadikan Elang harus berangkat pagi sekali.

Di meja makan hanya ada Rahesha, Savero, Air, dan Sebasta. Yang lainnya ada yang sudah berangkat kerja dan sekolah, ada juga yang masih tidur karena memiliki kelas siang.

Rahesha memperhatikan kakak-kakaknya sambil menikmati sarapan paginya. Jika dulu di meja makan akan selalu lengkap bersembilan, tetapi sekarang hal itu hanya akan terjadi dihari libur saja.

Lalu fokus Rahesha beralih kepada satu satunya saudara seayah seibunya di sini, Air. Ia menatap menatap Air sinis. Katanya akan menjemput pacarnya, tetapi sekarang masih ada di rumah.

“Yang mau jemput pacar kok masih ada di rumah,” sindir Rahesha.

Air yang langsung merasa sindiran itu untuknya langsung tersenyum paksa sambil menggaruk tengkuknya. “Rumah pacar Kakak 'kan ada di komplek sebelah, Dek. Masa nanti pas Kakak udah nganterin kamu harus balik lagi buat jemput pacar Kakak. Kakak nanti telat dong."

Rahesha memutar bola matanya malas. Entah sudah berapa kali Air berkata hal yang sama dari semalam. “Terserah, Kakak.”

Rahesha itu kesal. Air, Haksa, dan Jairo, bahkan kakak-kakak sepupunya itu awalnya berebutan akan mengantar si bungsu Arsaloka ini di hari pertama masuk SMA. Bahkan ketika mereka berebutan mereka membuat keputusan, siapa yang bangun paling awal ia yang akan mengantar Rahesha ke sekolah. Tetapi sekarang? Yang berangkat kerja ya kerja. Yang tidur ya tidur. Yang mengantar pacarnya ya mengantar pacarnya. Yang berangkat kuliah pagi ya berangkat kuliah pagi.

Mereka semua melupakannya.

“Dek, ayo berangkat.”

Ajakan Savero dan tepukan dibahunya berhasil membuyarkan lamunan Rahesha. “E-eh, ayo, Ko,” balas Rahesha sambil membawa tasnya.

Sebasta memperhatikan Rahesha lamat-lamat, dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Semua kebutuhan MPLS-nya udah dibawa semua?” tanyanya.

“Udah, Kak.”

Sebasta tersenyum dibuatnya. Ia tidak menyangka bocah kecil ini sudah menjadi pelajar SMA. “Nanti di sekolah jangan nakal. Jangan maksain diri kalo gak kuat. Inhalernya jangan lupa dibawa,” nasihat Sebasta ketika Rahesha berpamitan kepadanya.

“Iyaaa iyaaa.”

“Dijaga adeknya, El,” ucap Sebasta kepada Savero.

“Pasti lah, Kak. Kita berangkat dulu ya, assalamualaikum.

Waalaikumsalam,” balas Sebasta dan Air.

Setelah Rahesha dan Savero pergi. Air langsung buru-buru berdiri. Ia juga akan berangkat, dikarenakan sedari tadi ponselnya berbunyi terus. Sebasta yang melihat itu hanya bisa terkekeh.

“Gue berangkat dulu ya, Kak.”

“Iya, cepetan gih, kayaknya ayang lo udah marah tuh.”

“Ck, nyebelin lo, Kak,” ucap Air kesal.

Sebasta terkekeh, “ya, lagian bucin banget keliatannya. Siapa sih pacar lo itu? Secantik apa dia? Sampe adek kesayangannya jadi nomor dua gini.”

Mendengar hal itu membuat Air semakin kesal. “Ah, gue males sama lo, Kak.”

“Hahaha ... Bucin boleh kok, Ar. Soalnya gue tau lo tuh lagi masanya, tapi jangan sampe lupa sama adeknya, ya. Keluarga harus tetep nomor satu pokoknya,” nasihat Sebasta.

Nasihat Sebasta cukup membuat hati Air tercubit. Ia langsung menyadari jika dirinya dan sang adik sudah tidak sedekat ketika ia masih tidak memiliki pacar.

Pusat Arsaloka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang