R
.
Sikut ku terluka, ternyata jatuh ke aspal lebih sakit daripada ke lantai keramik dikelas tadi.
Dasar, perempuan keras kepala. Aku sudah memperingatkannya berkali-kali tapi dia malah ingin membuktikannya. Sekarang kita jadi terjatuh dua kali kan?
Ngomong-ngomong kenapa aku yakin bahwa mimpi itu akan terjadi hari ini adalah karena Eve memakai jaket yang sama persis dalam mimpi ku dan kami berjalan berdua di koridor.
Apa seharusnya aku tidak berjalan bersamanya dan membiarkan dia pulang sendiri? Seharusnya aku tidak memberitahunya untuk memukul tiang itu. Seharusnya aku menyuruhnya membuka jaketnya, bukan menyuruhnya untuk jangan pulang.
Sialan!
Selalu saja seperti ini, aku tahu alur kejadiannya akan seperti itu tapi aku malah melakukannya, seolah aku tidak bisa menghindarinya.
"Eve, kau mendengarku? Kau baik-baik saja kan?"
Terdengar dari balik tirai yang memisahkan ranjang tempatku dan tempat Eve berada, Kania terus bertanya pada Eve yang sedari tadi diam seolah jiwa nya tidak ada ditempat ini.
Jiwanya pasti terguncang oleh ketidakmungkinan yang mau tidak mau harus dia percaya. Aku juga begitu waktu pertama kali menyadari kemampuan ini, bahkan lebih parah.
"Sudah selesai, hanya sikut mu saja kan yang terluka?" Tanya seorang guru yang baru saja mengobati luka ku.
Lalu aku mengangguk, "Terimakasih Bu."
"Bisa-bisanya gapura itu ambruk, ibu benar-benar terkejut, khawatir kalian kenapa-napa. Lain kali tidak perlu lah pakai gapura di gerbang, cukup nama sekolah terpampang di gedung sekolah saja. Itu sangat berbahaya. Kalian hati-hati dijalan ya, pulang nya." Guru itu lalu pergi ke balik tirai, ke tempat Eve.
"Eve masih syok ya?" Guru itu mungkin sedang mengelus Eve sekarang.
Ya, atur saja lah Bu tentang gapuranya.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" Tanya Sam pelan saat dia berada di dekatku.
"Aku akan menceritakannya nanti, yang penting sekarang sepertinya Eve akan percaya tentang mimpi itu." Jawabku.
"Bagaimana bisa? Kau sudah bicara dengannya?"
"Ya, aku akan mengantarnya pulang untuk lebih memastikan dia percaya atau tidak. Mana kunci mobilmu? Aku pinjam."
"Memangnya kau bisa bicara dengan perempuan? Kau kan gemetaran bicara dengan mereka dan selalu bikin mereka ilfil tak nyaman didekatmu." Sam mengeluarkan kunci mobil dari sakunya.
"Sudah puas mengejeknya?" Aku merampas kunci itu dari tangannya dan menukarnya dengan kunci motorku.
Lalu aku berjalan ke balik tirai, guru sudah tak ada disana.
"Aku baik-baik saja."
Aku melihat Eve sudah bisa diajak bicara dan menjawab pertanyaan Kania. Lalu saat dia menyadari keberadaan ku, dia menatapku seperti ingin mengatakan sesuatu tapi dia tidak mengatakannya.
"Biar ku antar kau pulang." Ucapku yang juga menatapnya.
"Kau—tidak seperti biasanya." Ucap Kania padaku.
"Memang biasanya aku seperti apa?"
"Biasanya kau cuek sama perempuan, kenapa sekarang kau perhatian sama Eve?"
"Aku tidak per—"
"Sudahlah sayang," Sam merangkul Kania, membuat perempuan itu mengalihkan perhatiannya dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo & Eve : Nightmare
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA!] Romeo Tercio Bagaskara, (dengan terpaksa) kembali menyelamatkan orang-orang dari takdir kematian. Bersama seorang perempuan yang "tidak pernah ia mengerti sampai akhir." @2023