04

1 0 0
                                    

F

.

Aku sendirian. Selalu.

Dirumah ini hanya ada aku satu-satunya makhluk yang hidup. Entah aku bisa mengatakan hidup sendirian atau tidak, tapi ayahku selalu pulang dua Minggu sekali, memberiku uang bulanan yang cukup untuk kebutuhan ku. Juga, seolah dengan pulangnya, dia memberitahuku bahwa dia masih hidup di muka bumi ini jadi aku jangan khawatir. 

Namun ketika dia pulang terlambat, aku sama sekali tidak berpikir dia mati, tapi yang ku pikirkan adalah 'Apakah dia sekarang sudah menyerah padaku? tidak akan pernah pulang ke rumah ini lagi? dan membiarkanku hidup dengan kaki dan tanganku sendiri?'

Ayahku adalah sosok yang tegas, dia mendidikku dengan tegas yang bisa dibilang tanpa pernah tersenyum padaku sekalipun. Kadang dia tampak seperti orang yang tidak memperdulikan ku, tapi nyatanya dia peduli. Tidak seperti ibu.

Dengan sosoknya yang juga dingin, aku benar-benar segan padanya bahkan hanya untuk sekedar bertanya 'apa pekerjaannya?' 'kemana dia pergi?' 'Bolehkah aku ikut?' aku terlalu takut dia akan memarahiku karena terlalu banyak bicara, makanya aku diam saja jika dia tidak bertanya. Itu yang membuat ku tidak dekat dengannya, meskipun aku hanya mempunyai dia sebagai keluargaku.

Saat aku berusia 5 atau 6 tahun, ibuku pergi. Pergi dalam artian yang lebih jahat daripada mati. Dia masih hidup sekarang, mungkin sedang berbahagia dengan orang lain sebagai keluarganya. 

Aku selalu berpikir, 'Ada ya seorang ibu yang rela meninggalkan anaknya dan kabur bersama lelaki lain? Saat suaminya banting tulang diluar sana agar mendapatkan uang untuk kita. Bahkan induk binatang pun tak rela meninggalkan anaknya, walaupun jantannya meninggalkannya.'

Tapi aku tidak bisa marah padanya, karena dia ibuku yang melahirkan ku. Bahkan sekarang aku ingin menemuinya, melihat wajahnya setelah bertahun-tahun tak berjumpa. Namun, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah aku bertemu dengannya.

Ngomong-ngomong saat aku masuk SMA, akhirnya aku bertemu dengan seorang teman yang benar-benar teman, bukan teman sekedar kenal, tapi teman yang bisa membuatku bisa bersikap menjadi diriku sendiri di depannya tanpa harus takut dia akan ilfil dengan sikapku. Dan yang terpenting dia selalu ada di sisiku, membuat waktu-waktu kesepianku berkurang.

Siapa lagi, Kania orangnya.

Dia bisa menarikku dari duniaku yang abu-abu ke dunianya yang lebih berwarna. Dia anak yang aktif dikelas, juga memiliki paras cantik dengan wajah tirus, bulu mata lentik, rambut panjang bergelombang, dan tubuh yang sangat ramping. Dan yang paling beda dari ku adalah dia itu supel dan dunianya penuh dengan lelaki.

Maka dari itu tidak jarang Kania menjodoh-jodohkan ku dengan teman lelaki kenalannya, tapi aku tidak pernah suka dengan mereka. Ralat, maksudku aku yang merasa tidak pantas untuk mereka, karena yang aku lihat para lelaki itu berteman dengan Kania karena mereka menyukai Kania, bukan aku. Dianya saja yang tidak peka.

Tapi, aku bersyukur mempunyai Kania sebagai sahabatku dan dia juga membuatku menjadi teman perempuan yang paling dekat dengannya. Dia sangat humble.

Sebenarnya dari semalam sampai pagi menjelang siang hari ini, pikiranku masih terpaku pada kejadian kemarin yang benar-benar tidak masuk akal. Tidak mungkin, semua itu pasti hanya kebetulan. Tapi aku jadi khawatir pada Kania, dia bilang akan ke rumah ku hari ini, dia ingin curhat tentang Sam katanya kencan mereka batal kemarin. 

Benar, setidaknya aku harus berjaga-jaga bila saja perkataan Romeo benar. Aku akan menjemput Kania di pemberhentian bis di pertigaan, memastikan dia menyebrang dengan selamat, dan berjalan sampai ke rumahku dengan selamat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Romeo & Eve : NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang