MLF: 05

10.1K 748 28
                                    


Luna mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian menguap lebar disertai tangan yang direntangkan ke atas. Pose umum bagi seseorang yang baru bangun tidur.

Wanita itu menoleh ke kiri dan ke kanan mencari seseorang yang mengisi pikirannya dengan kekhawatiran akan kematian, tak lain adalah Nathan.

"Eh dimana Nathan? Jangan katakan Nathan pergi ke London?!" Luna metotot kaget akan spekulasinya. Ia segera beranjak dari king size tunangannya dan memakai sendal bulu yang berbeda dari tadi malam.

"Keep calm, Luna. Berpikir positif saja, berpikir positif. Tapi bagaimana aku bisa tenang ketika nyawa dan kehidupan kedua ku dipertaruhkan?!" Luna berteriak frustasi. Ia segera keluar dari kamar Nathan yang pintunya otomatis terbuka.

Tanpa memperdulikan penampilannya yang seperti pemulung, Luna berjalan di lorong mansion itu dengan perasaan kalut. Ketika menemukan tangga, ia segera menuruni anak tangga tersebut. Tanpa menyadari ada lift di samping tangga itu, sekaligus tak tahu bahwa ia akan menuruni puluhan anak tangga sebanyak tiga kali.

"Ruangan apa ini?! Dimana orang-orang atau pelayan?!" Luna berteriak lagi. Ia menggigit kuku panjangnya gugup. Namun ketika ia melihat sebuah lift di ujung lorong, segera ia menepuk jidatnya.

"Aku lupa jika mansion memiliki lift!" Gumamnya disertai langkah terburu-buru memasuki lift, jarinya yang tak dihiasi kuku palsu menekan tombol angka 1.

Ketika sampai di tempat yang ia tuju, Luna segera menghampiri seorang pelayan yang sedang mengepel lantai.

"Hati-hati, nyonya!" Pelayan berseru takut dan kaget saat melihat wanita muda itu berlari ke arahnya. Luna langsung memelankan langkhanya dan menyengir.

"Maaf, aku terlalu terburu-buru tadi," ujar Luna ketika berada di depan pelayan yang menunduk itu. Pelayan itu segera berlutut di depan Luna meminta pengampunan.

"Nyonya, maafkan saya yang telah berteriak pada anda. Saya sungguh minta maaf," pintanya memohon tanpa mengangkat pandangan sama sekali.

"Eh, aku tidak marah dan kau tidak perlu berlutut seperti itu, aduh!" Luna memijit pelipisnya pusing. Sikap orang-orang disini begitu tunduk seakan mereka akan dihukum jika berbuat sekecil apapun.

Tapi, tuan mereka adalah Nathan. Luna segera menyadari mengapa para pelayan disini begitu takut ketika mereka berbuat kesalahan sekecil itu. Tanpa sadar Luna menghembuskan napas kasar.

"Berdirilah, aku ingin bertanya sesuatu," perintah Luna yang segera dilakukan oleh pelayan muda itu. Ia masih menunduk seraya meremat rok pelayannya.

"Kau tahu kemana Nathan pergi?" tanya Luna merendahkan nadanya seperti berbisik. Entahlah, Ia juga tak tahu mengapa berbisik seperti itu. Pelayan itu menatap Luna sekilas kemudian kembali menunduk.

"Tuan menuju kantor tadi pagi, nyonya," jawabnya. Luna mengangguk pelan. Ia kemudian berterima kasih dan hendak berbalik, namun pelayan itu mengatakan bahwa mereka ditugaskan untuk membantu segala keperluan nyonyanya.

"Mandi juga?" tanya Luna membeo. Pertanyaan itu reflek Ia tanyakan. Kalau memang benar, Ia tak akan bisa membayangkan dibantu mandi oleh orang lain meskipun itu seorang wanita.

Pelayan itu segera menggeleng, "kami dikecualikan untuk urusan pribadi Nyonya," Ujar si pelayan. Luna mengangguk paham. Ia memutuskan mandi selagi pelayan menyiapkan makanan untuknya.

. . .

"Kenapa tidak bisa dibuka?!" Luna menjerit jengkel. Sebuah smartphone mahal berada di tangannya yang Ia yakin adalah milik Luna dilihat dari wallpaper yang tertera.

Ia menemukan ponsel itu di laci nakas saat Ia memang sengaja mencari benda serbaguna itu. Karena geram tak bisa membuka pin ponselnya, Luna membuka lebar mulutnya hendak memakan ponsel itu.

Male Lead's FianceeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang