#2) one cup of heavy cream

16.3K 1.6K 114
                                    

#2) one cup of heavy cream

.

.

.

.

.

Alamak, menyedihkan.

Sosok di kaca yang, tentu saja, adalah dirinya sendiri, terpantul memperlihatkan mata panda yang sudah kentara dilihat dari jarak lima meter.

"Heya, Ta. Udah siap?" Sosok pria tinggi menjulang muncul di ambang pintu kamarnya

Bintang menghela napas, memejamkan mata, pasrah sudah pada penampilan. "Ready."

"Oke, kita berangkat!"

Mobil yang Bintang tumpangi melaju menuju Galleria Vittorio Emanuelle II—sebuah pusat perbelanjaan super besar dengan brand-brand mendunia sebagai pengisi hampir di tiap sudut. Sebenarnya Bintang tidak berniat berbelanja, sungguh. Setelan kerjanya masih cukup dan beberapa pakaian untuk acara lain pun juga masih sangat layak pakai. Serius, kalau bisa memilih, ia lebih baik ke Teatre alla Scala untuk menonton opera daripada berbelanja. Namun masalahnya, ia tak bisa memilih. Semenjak kawan masa SMA-nya yang kini jadi fotografer di Milan, Jose, tahu bahwa ia ke sana karena ingin 'menenangkan diri' akibat gadis yang dicintainya bertahun-tahun menikah, Jose pun segera mengajak dirinya untuk jalan-jalan di mall super-mewah itu. Alasannya adalah, "Di sini lo bisa ketemu dan ngajak kenalan lebih banyak cewek-cewek Milan. I mean, c'mon, Ta, lo ngga bisa diam aja di rumah kayak orang desperate, kan?"

Yah, benar, sih. Tapi menurut Bintang ya, tidak begini-begini juga.

Hatinya belum siap, bro.

Memasuki pintu masuk di Vittorio Emanuelle II, kedua mata Bintang dihadiahkan dengan arsitektur klasik, megah, dingin dan rupawan dengan ukiran rumit yang indah. Warna beige dan emas dominan di sini. Langit-langitnya tinggi dengan kubah setengah bola di atapnya. Kios-kios toko brand ternama memajang produk terbaru mereka. Lantai marmernya seperti mozaik. Kepalanya celingukan menikmati pemandangan sekitar.

"Yeah, welcome to Milano, Mi amigo. Liburan lo ke sini emang nggak bakal lengkap kalau belum ngunjungin Galleria." Jose mengangkat alis pada Bintang. Kemudian mengedikkan kepala ke jalan di depannya. "Come, biar gue kenalin lo sama pacar gue. Siapa tahu dia punya kenalan buat nemenin lo."

Wajah Bintang kontan mengerut masam. "Gue nggak butuh 'teman tidur'."

"Siapa tahu dari cuma sekadar 'teman tidur' bisa naik ke pelaminan. Who knows? Jangan menutupi kemungkinan yang akan terjadi, lah, Ta."

"Gue nggak menutupi kemungkinan, Jo," ujar Bintang di sela perjalanan mereka menuju entah-kios-apa yang menjadi tempat kerja pacar Jose itu. "Menurut gue bukan begini caranya. Gue nggak mau lagi memulai sesuatu dengan cara yang salah."

"Cara yang salah?" langkah Jose terhenti sebentar. "Dude, are you serious? Now you're talking like a saint! Anjir, apa yang udah cewek itu lakuin ke elo sampai lo jadi begini?"

"Dia memilih mantan suaminya."

"And so I have been told." Jose memutar bola mata, lalu kembali berjalan lagi bersama Bintang. "Gini aja, Ta, gue berniat bantu lo buat ngelupain si cewek ini. Tapi lo harus ngikutin apa kata gue dulu, 'kay? Lo. Harus. Cari. Cewek. Lain."

"Gue nggak mau cewek dulu."

Jose menatapnya horror.

"Uh, now that just sounds so wrong. Sorry. Maksud gue itu, gue butuh waktu untuk 'menyembuhkan luka' gue dulu. Nggak bisa langsung main hajar aja. Jadi untuk sementara ini, gue nggak butuh cewek, baik itu untuk teman tidur ataupun pacar beneran ataupun calon istri. Nanti kalau gue udah 'sembuhan', kalau hati gue udah siap, baru gue mau menerima cewek lain. It's quite simple to understand it, right?"

Cheesy | ✓Where stories live. Discover now