03. Kilasan Memori

48 6 5
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

~~ARASEA~~
Di Antara Asa, Rasa, dan Jiwa yang Hampa

(○¿○)

Gapura dengan bertuliskan pesantren Al-Raudhatul Ilmi itu menyambut kehadiran sang anak kyai beserta calon suaminya dengan di iringai lantunan sholawat beserta tabuhan rebana yang mengalun merdu menyapa gendang telinga semua insan yang mendengarnya.


طلع البدر علينا
Tala'al Badru 'alaina

من ثنيات الوداع
Min tsaniyatil wada'

وجب الشكر علينا
Wa jabassyukru 'alaina

ما دعى لله داع
Mada 'a lillahida'

Sayangnya tidak dengan Sea, gadis itu diam termangu, bukan karena tengah menikmati alunan merdu itu, Ia teringat dengan memori 15 tahun lalu yang masih terekam jelas di dalam otaknya.

Meski telah berusaha keras melupakannya seperti sang kakak dan juga sang Bunda yang telah mengubur memori itu, Sea tak bisa. Mengapa hanya dirinya yang masih terjebak dalam memori silam itu? Kenapa kakak dan Bundanya bisa dengan mudah menerima semuanya? Apa karena hati Sea telah mengeras menjadi batu?

"Kak? Kak Sea...!" Sea mengerjab, mencoba mengenyahkan kilasan memori itu. "... kita sudah sampai" ketiganya pun turun dan semua pasang mata kini telah menyorot ketiganya.

"Jadi, itu mereka ya?"

"Heran Gue, kok masih bisa berjalan tegak ya? Harusnya kan mereka malu!"

"Sudah putus kali urat malunya"

"Eh lihat deh anak gadisnya, matanya melotot gitu, serem!"

"Ck, anak jalang kok belagu!"

"Lagian Gue nggak habis pikir, anak jalang kok di amanati bakal jadi penerus pesantren,bakal  jadi kayak apa ya nih pesantren nantinya?"

"masih mikir lagi, ya ancur lah!"

"hust, mulutnya di jaga, entar kedengeran Abi sama Ummi, habis kalian nanti!"

"DIAM...!!" alunan merdu yang tadinya bergema indah itu kini seketika senyap. Semua mata terbelalak mendengar teriakan sang anak Kyai. Dari arah pendopo, seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh dengan riak kehawatiran yang teramat jelas di wajahnya yang kini mulai berkerut termakan usia.

"GUE BILANG DIAM! KALIAN PUNYA TELINGA NGGAK!" semua santri yang tadinya menabuh alat rebana dan juga bersenandung sholawat itu menunduk takut dengan tubuh yang bergetar.

Sea masih terdiam dari langkahnya dan masih setia menutup mata juga telinga. Keringat sebesar biji jagung terus bercucuran dari keningnya. Hanya Latifah dan Iyan_calon yang dijodohkan dengannya yang dapat melihat itu.

"Kak... Kak Sea kenapa?" tanya dari sepupunya itu tak mampu mengembalikan kesadaran Sea. Hingga sebuah dekap hangat berhasil meluluh lantahkan tangisnya yang entah sudah seberapa lamanya Ia pendam di ruang bawah sadarnya.

"Sayang.... putri Bunda... putri kesayangan Bunda... tenang sayang... Bunda disini" Sea mendekap erat sosok malaikat tanpa sayapnya. Ia tidak tahu, ada apa dengan dirinya? Kenapa dia jadi menye-menye gini? Ah ini bukan dirinya!

AraseaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang