Tipuan Tanpa Suara

15 1 0
                                    

Mereka — Manusia yang aku maksud adalah makhluk dengan ukiran cantik. Aku merasa yang menciptakan menumpahkan segalanya di sana, bahkan setelah mereka meninggalkan rumah, langit dan tanah membuntuti keduanya. Keputusan yang mereka buat untuk menjelajahi dunia luar, mengundang tatapan jijik dari kelompok berbulu. Entahlah, ini hanya buah pikirku saja setelah mendengar bapak itu berkisah tentang adam dan hawa. Pasangan yang terusir kemudian menetap di bawah langit. Alasan mereka berkhianat sebab hawa, kaum wanita, merayu adam mengunyah buah terlarang. Cerita yang berpusat kepada adam, yang menurut pandanganku betapa lucunya lelaki itu sehingga tak mampu mengenali perintah dan tipuan.

Mungkin saja, Adam membohongi dirinya sendiri jika ia sama sekali tidak menyukai ide menelan buah terlarang. Percuma saja, Adam sangat menghormati hawa dan ajakan merdu yang menjadikan ia pelupa. Jika bapak itu pergi ke kakus, aku melanjutkan gelak tawa bersama pikiranku, tapi tidak ada tanda-tanda bapak itu akan beranjak dari kursi kayu.

Sebenarnya, aku baru saja menemui lelaki ini kebingungan sendiri di pinggir jalan, dan agaknya dia tahu kecurigaanku. Ada perasaan aneh yang terselip di dada sesaat melihat matanya sehingga aku memutuskan untuk mengajak si bapak menginap di rumahku. Bapak itu menoleh ke kanan lalu ke kiri seperti gerakan menuntaskan ibadah dengan terburu-buru.

"Tertawa saja," celetuk bapak itu. "Lucu, kan?"

Tiba-tiba saja aku kehilangan sensasi humor. Seakan ia tahu apa yang aku pikirkan. Aku bersiap menggelengkan kepala, hendak menolak perintahnya. Barangkali dia sedang berperan menjadi hawa, tetapi bapak itu membuka mulut.

"Menurutmu yang lucu itu adam atau hawa?" tanyanya.

Aku mulai tak nyaman dengan sekelebat tatapan sayup si bapak, dan pertanyaannya yang perlahan menggali masuk ke dalam otak. Pada akhirnya, aku juga tak bisa menolak pertanyaan beliau. Tenggorokanku berdeham mengisi bising jangkrik dan cekik suara kalong malam.

"Yah, ketiganya lucu."

"Tiga?" tanya si bapak.

"Iya. Adam, hawa, dan orang yang menceritakan kisah mereka."

Mata bapak itu berbinar. Dia memperbaiki arah duduk lebih dekat dengan wajahku. Kerutan wajahnya sesaat menghilang, berganti oleh keingintahuannya. Rasanya ingin aku kerjai dia, misalnya seperti membawa ia masuk ke dalam pikiranku kemudian duar! Dia mungkin akan lari terbirit-birit atau malah sakit jantung di lokasi. Segera aku tepis niatan jahil itu karena bukan pilihan yang tepat untuk menambah beban masalah, mengingat dia sudah berumur pula.

"Kalau aku benar, pasti yang menceritakan adam dan hawa adalah lelaki. Beberapa orang bisa saja menyalahi siti hawa yang lebih cerdas memanipulasi adam. Padahal adam memiliki pilihan untuk menolak. Jadi, aku pikir kisah itu sebaiknya diperbaiki bahwa adam dan hawa yang memutuskan sendiri untuk memakan buah itu. Jadi, tak akan ada bentuk keberpihakan yang menjatuhkan kaum hawa."

"Jadi kamu pikir hawa itu tidak menipu adam untuk melanggar perintah Tuhan?"

"Tidak," tegasku. "Dari awal mereka berdua yang sudah tertipu. Surga dengan berkelimpahan tanah subur, aliran sungai, dan pohon-pohon yang memberi keduanya kenikmatan, telah menjadi tipuan tanpa suara. Lihat? Mereka yang semulanya betah berlama-lama, malah menguji tipuan tersebut."

"Tipuan sang pencipta?"

"Ya, begitu, tapi aku yakin Tuhan tak marah pada mereka. Tak juga memojoki hawa seorang. Dia sudah paham alur kisah kedua ciptaannya, sampai-sampai mengirimkan mereka melalui perut-perut mamalia di bumi untuk menanggung keputusan mereka."

Bapak itu tersenyum mendengar pendapatku, "Saya tertarik dengan jawabanmu. Sesekali lihatlah secara langsung."

Entah apakah ia sedang melantur setelah jarum panjang menunjukkan pukul tiga di pagi hari, dia mengajakku menginap di rumahnya kali ini. Bapak itu berkata bahwa rumahnya sungguh tak jauh dari alamatku, tapi dia tak bisa pulang sebab istrinya lupa meninggalkan kunci rumah di bawah keset. Nampaknya, mereka tak punya hubungan yang baik, karena sungguh itu alasan yang konyol bagiku.

Ketika langit mulai memerah dengan suara ayam jantan yang saling bersahut-sahutan, aku pergi membangunkan si bapak tanpa nama yang aku temani semalaman hingga adzan subuh berkumandang. Namun, kudapati bapak itu menghilang. Tak ada jejak apapun yang tertinggal, kecuali kupu-kupu putih mendadak memenuhi kebun belakang rumah.

HuluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang