"Halo, apa ada sisa kue?"
Hening. Sementara Trivan menunduk lebih rendah dan masuk ke bawah meja, terpeleset kedua telapak tangannya dari pasir dan debu hingga lututnya bergeser cukup jauh untuk menopang tubuh. Ia menjejerkan gigi, menarik kerutan yang agak ngilu.
Di depan, seorang gadis berdiri dengan payung berwarna biru terang yang memantulkan cahaya langit jingga kala itu. Dia cemberut, menunggu jawaban selagi memasang kontak mata denganku.
"Halo! halo! Mas, apa ada sisa kue?" Panggilnya kembali, melambaikan salah satu tangan.
"Oh ya! Ya! Tidak!" Sahutku gugup sebab bola mataku sibuk beralih menerjemahkan gerakan jemari dan bisikan bibir dari bawah meja. "Tidak! Ya! Tidak ada kue, habis."
Namun, ketika aku berdiri, beberapa jajanan dan kue basah masih dibungkus dengan rapat. Jejeran nampan di balik daun pisang juga menyembulkan banyak kemasan. Aku pikir Trivan sedang mempermainkan bocah ini, atau dia sengaja menjadikan aku pekerja bantu di antara apapun permasalahannya dengan si anak yang kini merengus.
Dia merendahkan pandangan, melihat-lihat sisa dagangan. Tangannya mengincar semua daun pisang dan membolak-balikan dengan gesit, meski aku sudah mencoba menepis. Tidak dihiraukannya. Dia melirik kesal.
"Oh, jangan menutupi, lha! Dasar! Mana si Trivan?"
Sejenak beberapa informasi aku rekam kembali. Ocehan bisu Trivan dan kibasan tangannya yang menyilang berulang kali. Aku yakin betul bahwa Trivan menolak kehadiran suara nyaring yang bahkan tidak perlu dipastikan lagi. Tubuhnya sekarang bergeser lebih jauh menuju meja kosong di sebelah. Ck! lucu, dia perlahan menjauhi arena dan seenaknya memutus informasi.
Aku menelan ludah, lalu mengambil alih situasi sendiri, "Pergi. Trivan masih mengurus acara syukuran."
"Oh, bohong. Acaranya besok!"
"Lho, malam ini! Tanya saja pak RT!"
"Oh, tanya siapa? Siapa? Siapa?" tanyanya dengan sengaja mengulang kata siapa. Bahkan, oh yang dia katakan sangat menyebalkan. Bibirku agak mengerucut sedikit memberi respon kepada hidungnya yang sengaja kembang kempis.
"Pak RT, mbak, pak RT!"
"Tidak nyambung! Saya tanya di mana Trivan!"
"Gini, ya. Itu kue pesanan. Semuanya sudah dipesan pemilik acara," jawabku mengalihkan pertanyaan. Alih-alih memasang raut mengecewakan, si gadis tertawa riang. Kakinya sempat melompat kegirangan sedikit.
"Oh, gitu? Meski saya tak percaya. Tak masalah, saya suka berita baik. Kalau begitu mana bayarannya?"
Lho?
Sepertinya ada kesalahpahaman. Gadis ini mengatakan jika ia menitipkan kue-kue kepada Trivan. Hampir setiap hari, banyak bungkus kue yang hampir tak tersentuh atau terjual. Di seberang meja, dia tampak gembira sambil cekikikan menurunkan payung biru. Kemudian, tanpa aba-aba, kue-kue digeser dari wadah. Saat itu pula aku melirik Trivan dari meja sebelah, tapi tak ada siapapun.
"Bagaimana? Bagaimana? Saya tunggu bayaran lho!"
Sekarang dia merapatkan tumpukan nampan ke pinggang. Tangannya menengadah dengan percaya diri. Aku agak berpikir keras, karena sialan si Trivan rugi besar.
"Tunggu besok saja, mbak. Nanti saya kabari boss, saya juga baru bekerja hari ini."
"Oh, begitu? Hebat, hebat betul! Diam-diam sewa pekerja, saya yakin dia untung besar."
Apanya yang untung? Ini buntung!
Dia mengangguk, "Saya lihat banyak dagangan yang habis beberapa hari ini. Sampai kue saya ludes dipesan. Wajar, ya, wajar. Saya akan bawa lebih banyak kue besok kalau begitu!"
Serius, dia kegirangan. Padahal aku menipu. Arkh! Trivan tolol malah pergi. Sekarang, siapa yang mau membayar, sementara penjual kue ini akan selalu menagih.
"Tidak perlu, mbak," jawabku lemas. Lekuk alisnya mengernyit, dan aku berdeham, "Tidak perlu titip banyak maksud saya. Besok boss hanya berjualan setengah hari. Dia lelah mencatat dan mengurus pesanan nanti malam."
"Oh begitu, saya sepertinya salah hari. Saya pikir acaranya besok, karena ayah tidak bilang apa-apa," balasnya seraya menekuk payung, "Oke, besok saja saya kembali. Oh, atau saya temui di acara syukuran saja. Bagaimana? Bagaimana? Bisa, kan? Bisa lho, ya, dibayar hari ini. Itu uang saya."
"Duh, kurang yakin saya. Untuk tagihan saya akan beritahu. Besok saja datang kembali," tawarku dengan suara yang agak bergetar. Energiku seakan terperangkap di antara obrolan. Di samping itu, salah satu kaki bocah ini nampak tak bisa diam, menepuk tanah cukup lama untuk menimbang permintaanku.
"Ya sudah. Lagi pula saya akan titip kue lagi besok," ucapnya berkacak pinggang. "Oh, kalau tidak dibayar, terpaksa saya akan adukan ke ayah lagi. Beritahu Trivan."
Aku sedikit manyun, memang siapa sih bapaknya? Dasar tukang adu.
Tetapi yang lebih penting adalah dia menyempilkan kata lagi. Mungkin saja tagihan Trivan dengan gadis ini dan bapaknya sudah menumpuk sejak awal, ditambah masalah yang melibatkanku. Aku menelan ludah, sedikit merasa bersalah.
"Oh, ya, saya baru lihat kamu di sini. Siapa dan tinggal di mana?" tanyanya menambah langkah maju. "Ingin tahu saja."
"Dengan Ali. Memang belum lama pindah, dan rumah tak jauh dari warung lha, mbak."
"Oh, begitu. Pantas," lanjutnya menyeringai, "Jangan lupa pesan saya. Dari Nia."
Kemudian dia beranjak pergi dengan nampan-nampan ceper, dan payung biru yang terselip di ketiak. Sementara, matahari semakin tenggelam dan suara nyamuk mulai menganggu. Di balik papan warung yang bobrok, muncul Trivan yang terkikih. Sebelum dia mendekat, botol air mineral terdekat sudah aku lempar mengenai kepala.
Dia mengusap kepala lalu menelungkupkan kedua telapak tangan, "Ya maaf, maaf, hehehe... tolong bantu beres-beres, ya. Sudah mau adzan maghrib, ya, ya."
"Bodo amat!"
"Ya, jangan marah. Ayo dong, tolong, ya."
Aku mengeluh, mengutuknya tak henti. Hanya karena aku merasa usaha yang aku buat gagal, aku putuskan untuk melipat lembaran koran, daun pisang, dan kertas nasi sambil mencaci maki. Di sisi lain, Trivan mengangkut beberapa bungkus makanan sisa.
"Nih. Buat makan hari ini. Gratis," katanya yang tak lama beralih mengelap meja. Aku mengangguk masih agak kesal dan hendak menuju parkir motor.
"Datang, ya, acaranya setelah shalat maghrib. Ya, ada aku. Tenang."
Meski aku agak curiga alasan yang mendorong Trivan membujuk untuk kedua kalinya. Aku tepis pikiran aneh tersebut. Entah mengapa, pikiranku tak benar-benar bisa mendukung situasi kami berdua. Walaupun kami sudah mengenal cukup lama. Tidak ada yang salah dari hubungan kami, dan Trivan tidak pernah bersikap seenaknya. Aku sengaja batuk kecil, tanda tak nyaman sambil mengiyakan sebelum melengos.
"Ya, aku tunggu, ya! di rumah Umi Wiwik!, hehehe...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hulu
ParanormalAli, memutuskan untuk kembali pulang untuk mendampingi sang ayah. Satu persatu bayangan yang ia sangkal, terbuka perlahan. Menyingkap setiap jengkal kisah dari wilayah yang paling tinggi di kampung.