Semenjak ayah pulang, dia tak henti bertanya mengenai kedatangan pria bernama Lars. Ada keraguan yang menyelimuti kepalaku untuk menjawab bahwa lelaki itu pernah menjadi teman bicaraku di rumah.
Sesekali ayah berteriak, menyebut kalimat yang sangat aku kenali. Kata-kata yang sekarang menjadi bayangan dalam ingatannya. Kalimat yang telah mengusir anggota keluarga. Tidak satu, sebab kami yang tersingkir.
Dengan langkah linglung, ayah keluar dari rumah. Dia memohon untuk tidak mencarinya kali ini, lalu membuang pintu begitu saja. Ah, terserah, aku beranjak memberi pakan ayam, dan mengambil sepeda motor untuk menenangkan pikiran.
Sejujurnya, aku tidak pernah berniat meninggalkan kampung. Tempat pertama kali ingatanku terlahir, meski aku belum benar-benar menciptakan sisi kebahagiaan setelah ibu meninggalkan rumah.
Lagipula, hanya kenangan buram yang melekat. Sesuatu yang tenggelam, namun kembali berenang ke permukaan. Dari celah yang kami lupakan, sisi lain yang tidak pernah membuatku siap.
Tapi, bukankah manusia tidak pernah siap?
Aku menepikan sepeda motor di dekat kolam pemancingan. Bapak-bapak mulai mengambil alih tubuh pohon pisang yang disusun sebagai tempat duduk, dan mengaitkan cacing umpan dari ujung kail. Aku pergi ke arah yang berbeda, tepatnya di warung kecil samping masjid.
Sudah beberapa hari, aku hanya melirik saja dari pos pemancingan, tapi aku benar-benar tidak tahan untuk menemuinya. Dia selama ini berjualan makanan dan minuman kecil di sana, kata penjaga pos. Aku lihat hari ini tidak biasanya ramai seperti kemarin, tetapi aku kerap kali melihatnya mengobrol dengan seorang gadis. Dia tertawa menanggapi si gadis, dan melirik ke arah langkah kakiku. Kerut wajahnya terukir cepat dengan jejeran gigi bahagia.
"Ali!" teriaknya, lalu menepuk kedua sisi pundakku.
"Itu pacar lu, van?" tanyaku cengegesan seraya mengambil beberapa tahu dan bakwan goreng yang berjejer di atas nampan ke dalam daun pisang.
"Bukan. Pelanggan."
"Gitu?"
"Ya, jangan lupa. Bayar," jawabnya sambil menjepit bihun kuning lalu membaluri dengan siraman kuah sambal, ia menyodorkan piring, "Ya, tapi ini gratis."
"Malas."
Buru-buru aku mengangkut gorengan di atas suguhan bihun kuning yang sudah dingin. Tak masalah, tidak akan sakit perut juga. Sudah beberapa hari aku memutuskan untuk tidak makan, karena ada sesuatu yang menyangkut di antara rongga tenggorokanku akhir-akhir ini.
"Itu namanya radang amandel!" Sela Trivan menepuk kedua pahanya dengan nyaring. Dia menundukkan posisi, dan duduk tepat di hadapanku, "Ya! Amandel lu bengkak! Coba gua lihat!"
"Apaan?! Gak! Gak!"
"Bentar, kenapa lu makan gorengan?"
"Bukan radang! Lu paham cerita gua gak?"
"Ya, paham."
"Keliatan, kan!"
Trivan tertawa terbahak-bahak sampai melepas kacamatanya untuk mengelap air matanya. "Ulang. Kurang dengar beberapa."
Serius, kalau dia punya kembaran, mungkin pergi dari kampung menjadi pilihan terbaik yang akan aku lakukan lagi. Aku juga meragukan pilihanku sejak awal untuk mengunjungi warung, hanya suara perut yang membulatkan keputusanku. Mau bagaimana lagi, demi menghemat biaya makan.
"Lupakan," balasku mengerucutkan bibir. Kerutan kecewa bisa kulihat terukir di wajahnya.
"Kenapa lu gak mampir ke rumah, van?" tanyaku kembali sebelum dia membuka mulut, dan memaksaku untuk menceritakan ulang topik terakhir. Huh.
"Ya. Mampir. Kasih makan ayam. Setiap hari malah." Trivan merespon dengan nada rendah kali ini. Terlintas dipikiranku alasan dibalik pakan ayam yang ia berikan.
"Oh, kenapa berhenti? Karena ada gua?" tuduhku agak memicingkan sorotan mata. Aku agak penasaran dengan jawaban lain.
"Ya. Bukan, sih. Agak sibuk akhir-akhir ini," jawabnya memalingkan wajah, "Ya, ada pesanan untuk acara syukuran."
Ah ya, aku hampir lupa tidak menanyakan kepada pak RT kemarin. Ya, masuk akal juga. Aku datang berdekatan dengan hari sibuk.
"Ya, lu ikut saja malam ini. Daripada sendirian. Ada bulan purnama malam ini," lanjutnya sambil mengepal jemarinya perlahan. Seperti ada sesuatu yang menganggunya. Barangkali perasaan tak nyaman dengan keberadaanku yang datang tiba-tiba. Mungkin saja, atau langkah seorang wanita dengan payung itu yang berhasil mengalihkan suasana.
"Halo, apa ada sisa kue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hulu
ParanormalAli, memutuskan untuk kembali pulang untuk mendampingi sang ayah. Satu persatu bayangan yang ia sangkal, terbuka perlahan. Menyingkap setiap jengkal kisah dari wilayah yang paling tinggi di kampung.