Tamu

11 1 0
                                    

Hari kedua setelah bapak itu pergi tanpa jejak, ayahku pulang diboncengi pak RT dengan sepeda motor yang mengeluarkan banyak asap dan suara. Aku segera membantu ayah turun lalu merangkulnya ke kamar. Berharap pak RT lekas melepas kunci motor atau pergi, karena sisa nafasku hampir habis.

"Saya temukan bapak kamu di belakang masjid kampung sebelah. Kata warga sekitar, dia terlihat linglung mencari sesuatu," ucap pak RT dengan mata yang memberikan sinyal yang sangat aku kenali.

Sesuatu yang pak RT maksud adalah mereka. Mereka yang ayahku sebut-sebut sebagai makhluk yang kerap muncul di tempat kosong. Aku menganggukan kepala saja sekaligus berterima kasih pada pak RT yang sudah memberi tumpangan.

"Agaknya kamu mulai kesulitan merawat bapakmu, Ali. Bagaimana kalau kamu bawa saja ke rumah sakit."

"Tidak perlu, pak, saya tak masalah merawat ayah."

"Kemarin kamu juga bilang begitu."

Jawaban pak RT benar-benar menohok. Seakan dia membeberkan fakta bahwa aku kesulitan menjaga ayah, atau lebih buruk lagi tidak becus merawat orang tua. Namun, keputusanku tetap bulat menjauhi ayah dari rumah sakit maupun orang-orang yang merapal bimbingan batin secara khusus.

"Ya sudah, kalau perlu bantuan datanglah ke rumah saya kapan saja," balasnya mendengus seraya menghidupkan sepeda motor yang hanya meninggalkan bau asap mencekik hidung.

Saat aku berbalik, ayah sudah berdiri di depan pintu kamar dengan tatapan mempertanyakan suatu hal. Dia menarik lengan tanganku menuju ke kamar lorong sebelah. Jika dilihat baik-baik, ayahku sama sekali tidak terlihat sakit secara fisik maupun mental, tapi terkadang sesuatu itu membuat dia linglung. Hilang kesadaran matanya, obrolan kami mulai meracau bahkan dia bilang sendiri gerakan tubuhnya sulit dikendalikan. Alasan ini yang meragukan keadaan ayah. Sesuatu itu, yang ayah selalu ceritakan, meyakinkanku tentang eksistensi dan peranan mereka.

"Kemarin ada yang datang, ya," celetuk ayah. Dia duduk di sisi tempat tidur kayu tanpa kasur. "Laki-laki atau perempuan?" tanyanya penasaran.

"Tidak ada yang datang."

Aku berbohong, meski sepertinya dia tahu karena diam-diam menyelidiki situasi rumah, tapi jawabnya berkata lain. Ayah sama sekali tidak melirik rumah dua hari lalu.

"Mungkin hanya lewat saja, Ali. Kamu yakin?"

"Besok aku lihat-lihat lagi. Kalau dia berkunjung, aku bawa masuk. Itu alasan ayah meminta aku untuk pulang, kan?" nada bicaraku kali ini meninggi.

Ayah hanya mengangguk. Dia kemudian beralih cerita tentang penebangan pohon bambu, pisang, dan ilalang liar di kampung sebelah. Tidak ada tanda-tanda alasan mengapa dia sampai menjemputku untuk pulang. Dia sekedar kesal dengan topik penyempitan lahan kosong yang berubah menjadi rumah hunian di belakang masjid.

"Kemarin ayah lihat yang ukuran kecil tengah malam. Kayak tuyul bentuknya. Ayah pikir tuyul beneran ternyata itu mereka, tahu."

Ayah menyebutnya para peri. Peri kecil yang kerap digambarkan cantik berukuran jari jemari atau peri seperti boneka barbie, berbeda dengan yang ayah katakan.

"Nah kalau mereka sudah muncul, mereka akan menggelitik ikan-ikan."

"Ikan?"

Dia tidak membalas lagi, tetapi mengalihkan dengan melakukan kegiatan lain. Ayah juga tidak berniat mengelilingi kampung lagi selama beberapa berikutnya. Namun, hari itu ayah menatapku dengan sorotan berbeda. Tatapan yang sudah lama dia sembunyikan, bercampur dengan kegelisahan.

"Kemarin Lars mampir, kan?"

HuluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang