Seindah Langit yang dicintai oleh Naisa
🌹Hari-hari terus berjalan, dan kisah ini masih berlanjut selagi aku bernafas. Kali ini aku dan Mikayla bertemu di taman bermain tepatnya di pondok kecil yang asri dan sejuk untuk berteduh dari cuaca panas ataupun hujan, tempat itu juga sering digunakan oleh orang lain padahal aku tidak memiliki tempat lain untuk melihat langit dengan jelas selain pondok itu. Aku harap suatu saat tidak ada seorang pun yang bisa menggunakannya selain aku, Mikayla, dan Langit. Tapi tanah itu bukan milik nenek moyangku.
Rasanya aku sedang kerasukan watak kera di animasi Pada Zaman Dahulu sehingga bisa berpikir egois dan serakah seperti ini.
Dear pembaca yang terhormat, maafkan Chii.
"Chii... Kamu mikirin apa?," Mikayla menyikut tanganku, "kok ngelamun?."
"Eh, enggak. Aku lagi curhat sama pembaca," celetuk ku ngasal.
"Hah?!"
"Eh?!, Hah?! Um... Bukan, bukan. Maksudku, aku sedang bergelut dengan dunia imajinasiku, hehe ... iya begitu," potongku cepat sementara wajahku berubah merah.
"Hahaha ... kamu ini," Mikayla menanggapiku dengan tawa, "ternyata lagi halu," tambahnya lagi.
"Hehehe ...," Aku menggaruk tengkuk tak gatal, "pondok ini nyaman sih buat ngelamun, apalagi disini aku bisa melihat langit dan awan yang indah," sahutku riang, "rasanya bisa melepaskan beban pikiran,"
Mikayla berucap sedih, "oh iya, Chii. Sebenarnya aku mau curhat."
"Tentang apa?"
"Aku capek, huhu..."
"Capek kenapa, Kay?"
"Kamu pernah ngerasa gak sih kalau hidup itu serba salah?. Atau kamu pernah ngerasa gak kalau hidup kamu itu gak berarti. Seandainya dulu aku gak milih buat dilahirkan ke dunia ini, kenapa dulu aku bilang siap hidup di dunia di saat aku sudah ditanya 77× sebelum aku dilahirkan. Aku sering berpikir seandainya aku jadi tanah, mungkin aku tidak perlu menanggung beban apapun yang sudah berat di dunia apalagi di akhirat nanti," keluh Mikayla padaku.
"Kay, kenapa kamu jadi bilang gitu? Gak baik tahu!," aku menegur Mikayla tidak setuju, meski sejujurnya sebagai manusia biasa aku pernah berpikir hal yang sama. Merasa bahwa lebih baik aku tak hidup saja. Tapi itu sangat keterlaluan.
"Aku setiap hari mikir, Chii. Gimana nasib aku yang pendosa ini, disaat setiap kata yang aku ucap akan dihisab dan dipertanggungjawabkan, sedangkan aku sering ngomong hal gak bermanfaat, berdusta, ghibah, ngeluh, sedangkan semua hal yang ada di sekelilingku akan bersaksi bahkan tubuhku sendiri. Disaat aku menghabiskan umurku untuk hal yang tidak-tidak, disaat kesehatanku tidak dipergunakan sebaik-baiknya, disaat hartaku dihambur-hamburkan, disaat hati dan pikiranku berpikir buruk, disaat waktuku terbuang sia-sia, disaat aku menyakiti hati orangtua, disaat aku lupa akan kewajibanku. Dan disaat aku lalai. Sedangkan umurku sudah 14 tahun yang itu artinya..." Mikayla memaparkan dengan gelisah, tangannya tak mau diam memetakan setiap ucapannya.
YOU ARE READING
Seandainya Aku Jadi Awan (Jingga di Sore Senja)
Teen Fictioncerita klasik tentang Naisa dan Langit dalam imajinasiku.