Bagian Dua

21 8 1
                                    

Dering alarm sudah berdenting sebanyak sepuluh kali sejak tadi pagi. Hingga saat ini untuk alarm yang ke sepuluh. Barulah Shenina mematikan alarm tersebut.

Ditambah celah cahaya yang masuk ke dalam kamarnya telah mengusik tidurnya. Dengan mata sedikit terpejam Shenina berusaha untuk membuka matanya serta melihat jam di ponselnya.

Mata Shenina nyaris seperti lepas dari matanya begitu melihat angka yang menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Dengan segera Shenina turun dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar mandi.

Namun sialnya, ujung jari kaki Shenina harus mencium nakas yang berdiri tak jauh dari tempat tidurnya.

"Aduhh.. sial banget sihh," ucap Shenina sambil memegang ujung jari kakinya serta berjalan terpingkal-pingkal menuju kamar mandi.

Setelah menghabiskan waktu yang tak banyak untuk membersihkan badannya. Shenina dengan segera menuruni anak tangga menuju lantai bawah rumahnya.

Tak ada waktu baginya untuk merias wajahnya. Ia hanya memoles sedikit bedak di pipinya ditambah polesan tipis di bibirnya.

"Bundaaaa.. kenapa ngga bangunin aku?" ucap Shenina ketika ia melihat sang bunda sedang membereskan meja makan.

"Kamu pikir bunda ngga pernah bangunin kamu? Udah Shen udah.. udah berkali-kali bunda bangunin kamu, emang dasar kamunya aja,"

Shenina mengerucutkan bibirnya. Sang bunda hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya yang masih seperti anak kecil di matanya.

"Yaudah kamu sarapan dulu aja,"

"Ngga deh bun udah siang, ini hari kedua aku kerja nanti diomelin bosku, galak.." ucap Shenina dengan julid.

"Ohh ya? Ganteng?"

"Ganteng sih bun.. ahh bunda kenapa jadi ngomongin atasanku? Udah deh bun.. aku berangkat yaa.. udah siang ini," ucap Shenina sambil menyalami tangan sang bunda.

Melihat keadaan sekitar yang terlihat sudah sepi. Sudah dipastikan jikalau sang ayah sudah berangkat kerja sejak tadi.

"Kakak udah berangkat bun?"

"Belum, ada di depan lagi pakai sepatu,"

Mendengar bahwa kakaknya belum berangkat kerja. Dengan segera Shenina pergi ke luar untuk menyusul sang kakak.

"Kak nebeng dong,"

Sang kakak—Abian Farzan atau biasa dipanggil Bian—menoleh dengan sedikit menghela nafasnya.

"Duhh Shen.. udah siang ini kakak ngga bisa antar kamu,"

"Masa ngga bisa sih kak? Kan kantor kakak searah.. kak please aku udah kesiangan nihh.." ucap Shenina dengan raut wajah yang sangat memohon.

Tentu saja Abian sebagai seorang kakak tidak tega melihat adik satu-satunya ini memohon dengan sangat melas.

"Yaudah ayo buruan naik,"

Tak ingin membuang-buang waktu Shenina dengan segera memakai helm yang diberikan oleh Abian serta menaiki motor hitam kesayangannya.

"Pegang yang kenceng, kalau jatuh kakak ngga mau mungut,"

Mendengar hal itu Shenina memukul bahu Abian dengan keras.
Sampai-sampai sang empu sedikit terpelonjak kaget.

"Kamu ini cewek tapi tenaga kuda, sakit Shen,"

"Suruh sapa ngomong gitu, nyebelin banget mungut emang aku apaan?"

"Kuaci soalnya kamu kicik,"

"Sembarangan aja, udah ayo ah berangkat udah siang ini kak,"

HOLD MY HANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang