4

677 45 3
                                    

Semalam tadi, suara ombak telah membuat mereka berdua tertidur. Kini, suara ombak pula yang membuat perempuan itu terbangun. Rattan butuh waktu dua menit untuk memastikan keberadaannya. Sejak kapan ia ada di sini dan mengapa seorang perempuan dari masa lalu ada di sebelahnya.

Ia berjinjit. Pelan-pelan meninggalkan tubuh Benih yang masih layu di sisi tengah ranjang. Tanpa upaya untuk membuat bunyi, Rattan membuka tas kamera yang selalu ia bawa.

Diambilnya sebuah kamera mirrorless dari sana. Bohong jika baginya tubuh Benih tak menarik dalam posisi ini. Sehelai kain tenun berwarna dasar merah menyelimuti tubuh perempuan itu dengan sembarangan, menutupi sebagian punggung dan tungkai kakinya saja. Rattan memang tak pandai menjelaskan bentuk, namun bagaimana dengan alami kain itu menutupi tubuh Benih, sungguh tak akan bisa diulang lagi.

Rattan segera mengambil ancang-ancang, memastikan sudut paling tepat untuk mengabadikan situasi ini. Yakin kalau kesempatan seperti ini hanya akan datang sekali. Karena di saat pelatuk kamera akan berbunyi 'klik', Benih mungkin akan langsung terbangun. Rattan tahu kalau Benih tidak pernah benar-benar tertidur nyenyak. Ia perempuan yang penuh pertimbangan. Dan penuh pertimbangan membuat manusia jadi waspada. Seringnya, mereka bahkan tidak memiliki mimpi.

Dalam hati, Rattan menghitung sampai tiga. Ia menahan nafasnya. Ujung jarinya gemetar seolah dunia akan runtuh jika ia gagal.

Satu, du—

"Tunggu."

Dan benar. Benih memang tidak pernah tidur.

Sia-sia yang ia lakukan sejak tadi, Rattan menghembuskan nafas kecewa.

"Kamu terbangun dari tadi atau baru saja?" tanya Rattan.

"Sejak kamu berpikir untuk menggapai tas kameramu, aku bahkan bisa mendengar isi kepalamu," kata Benih sombong. Suaranya masih serak. Bibirnya tersungging sinis, ia jepit selimut tenun itu di ketiak kirinya agar dadanya tertutupi sambil mendudukkan diri.

Rattan lalu mendekati perempuan itu, masih dengan kamera di tangannya. "Sekarang, kamu bisa membaca pikiranku juga?" tanya Rattan pura-pura antusias. Rattan duduk di sebelah Benih, yakin jika perempuan itu menjawab, "Ya." maka Rattan akan menyerbunya dengan pertanyaan, "Mengapa selama ini kamu tak pernah menanggapi isi kepalaku?"

Benih menggamit kamera itu, memainkannya, kemudian mulai menekan pelatuk dengan cepat. Rattan yang masih telanjang jadi panik, ia bingung memutuskan mana yang harus ia lakukan lebih dulu, berusaha merebut benda itu atau menutup dadanya.

Tapi Benih segera menjauhkan kamera dari Rattan. Perebutan menjadi seru untuk sementara waktu sampai akhirnya tubuh mereka terjungkal di atas ranjang.

"Kalau sudah begini, kamu tidak bisa lagi menyuruhku turun dari sini," kata Rattan. Benih menatap Rattan yang sedang bertengger di atasnya dengan warna merah di pipi. Pelan-pelan Rattan menaruh kamera itu, kemudian menciumi leher perempuan di hadapannya.

Benih mendesau, jari-jari kurusnya mencakari pundak Rattan dan membuat kulitnya perih, namun sensasi aneh membuat Rattan makin tak bisa berhenti. Benih merenggangkan kakinya, membuat perempuan di depannya terperosok di antara pangkal pahanya.

Sekali lagi Rattan memandangi wajah sendu itu. Benih membalas tatapan orang yang jauh lebih muda dari umurnya itu. Ia mengelus kepala Rattan. Terlalu lembut sehingga Rattan jadi merasa ragu.

"Ada apa Benih?" tanya Rattan hati-hati.

Benih menggeleng. Ia tidak mengalihkan perhatiannya dari sepasang mata tajam milik Rattan. Dari kedua matanya rindu menyublim jadi embun. Ia seperti akan menangis.

"Apa kamu merasakan itu? Rasa sakit itu..." tanya Benih sambil menggosok dadanya sendiri. Berharap yang ia lakukan bisa membuat dirinya lebih leluasa bernafas.

Hari Ini, Kita (ANDA ANUNTA) (GXG) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang