6

534 47 0
                                    

Rattan duduk sendiri di meja makan. Sedang Benih meringkuk di ruang tamu, berusaha tetap terpejam sampai Abbi bangun dan siap bicara lagi. Perundingan pertama tadi berjalan lambat. Tentu saja Abbi sangat mementingan kebahagiaan kakaknya, Rattan mencintai Benih, Benih mencintai dirinya sendiri, sampai-sampai semuanya ingin mengalah untuk semua orang.

Di waktu yang sempit ini, Rattan mencoba berpikir untuk kepentingannya sendiri. Memang susah membayangkan hidupnya tanpa imajenasinya 'bersama Benih'. Namun, membayangkan hidup dengan perempuan itu adalah yang lebih sulit. Dengan semua keraguannya yang fluktuatif. Kecemasannya terhadap masa depan yang selalu ajaib.

Bukankah sejak dulu Rattan memang tak pernah mendapatkan perempuan itu dengan utuh? Kenapa kini ia malah bersikap seolah tak bisa hidup tanpa Benih?

Sehingga tanpa terasa malam telah menggelapkan langit di atas pantai dan rumah itu. Rattan tak sadar sejak kapan ia jatuh dalam tidur. Setengah tubuhnya di meja makan. Setengahnya masih terduduk di kursi yang sama.

Benih kini berdiri dekat pintu depan. Tubuh kurusnya bersandar pada palang jendela kayu yang catnya mulai mengelupas. Helai rambut dan poninya melayang-layang tenang karena angin pantai yang sejuk. Kalau ada yang bisa menggambarkan sebuah kedamaian buat Rattan, inilah dia. Detik ini.

Rattan kini paham, bahwa mungkin dirinya masih mencintai Benih seperti terakhir kali ia mengingatnya. Andaikan saja, Rattan punya keberanian untuk berkomitmen, tentu sudah sejak dulu ia bisa memiliki perempuan itu. Tapi Benih bukan barang, dan kenyataan soal siapa Benih membuat perempuan itu jadi begitu mahal.

Benih tahu Rattan sudah bangun. Ia berbalik, kembali menyandarkan punggungnya pada palang jendela itu. Keduanya bertatapan dalam jarak mereka, lama sekali. Tapi tak ada yang bisa berkata sesuatu pun. Mereka menyelami diam yang khusyuk. Mata mereka bertemu kemudian bertukar rindu. Kini jarak bukanlah hal yang baku. Lima meter dapat bermakna seribu. Begitu dekat tapi tak tersentuh. Rattan merasa kembali pada jaman itu, empat tahun lalu.

Namun peristiwa puitika di antara keduanya tidaklah berjalan lama. Abbi muncul begitu saja, menyibak ruang tamu. Pelan ia berjalan, duduk di kursi bambu itu lagi.

Abbi memandang ke lantai untuk mengumpulkan tenaga, kemudian ia mulai bicara, "Apa kalian sudah memutuskannya? Beritahu aku apa saja. Aku akan mengabulkannya. Apa pun keputusan kalian," ujar gadis itu. Kini rambutnya ia ikat ekor kuda. Wajahnya cerah karena sudah mencuci muka.

Benih maju selangkah. "Kalau aku memilih lari dari pernikahanku bersama Rattan, apa kalian akan menghancurkan hidup kami?"

Abbi tak beranjak dari duduknya. "Lari atau tidak namanya, kamu tetap harus menjelaskan pada kakakku, juga orang-orang, keluarga besar kita, leluhur kita, tentang pernikahan kalian."

Rattan maju selangkah. "Benih, jangan mengambil keputusan yang tak masuk akal. Kembalilah pada calon suamimu. Aku sudah biasa hidup tanpamu. Aku tidak akan mati kalau kamu meninggalkanku sekali lagi. Tapi jangan kecewakan keluargamu. Lagi pula aku tak punya jaminan untukmu. Mungkin saja aku sebenarnya sudah tak menginginkanmu." Saat Rattan bilang begitu hanyalah Benih yang tersentak.

"Apa kamu yakin?" Abbi menatap Rattan. Matanya menyala, seperti percikan api, membawakan harapan dari nyalanya. "Tapi, apakah kamu akan datang lagi dan mengganggu rumah tangga mereka?"

Rattan menggeleng. "Aku masih muda. Masih banyak yang mau denganku. Dan aku berjanji akan merahasiakan kejadian ini pada siapa pun. Aku tak akan menyebarkan aibku sendiri di luar sana. Ini juga soal harga diriku. Aku membuat musik untuk salah satu agensi terkenal di kota ini, kalau aku macam-macam, aku tak akan punya masa depan lagi."

Abbi memikirkan perkataan Rattan dengan serius. "Aku tidak mengerti kenapa kamu dengan mudah merelakan Benih. Kalian berpisah selama 3 tahun, begitu saja kalian bertemu dan melakukan hal yang memalukan di depan mataku. Sekarang kamu melepaskannya begitu saja. Aku semakin yakin, sebenarnya kamu bukan orang yang bisa dipercaya. Mungkin... Kamu sebenarnya tidak pernah mencintai Benih." Abbi menuduh.

Hari Ini, Kita (ANDA ANUNTA) (GXG) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang