8

422 40 0
                                    

Sampai tengah malam, Rattan masih belum bisa memejamkan matanya. Ia memikirkan kembali keputusannya bersama Wika. Masalahnya, ia bukan hanya takut menjalin komitmen. Rattan yakin bahwa dirinya tidak mencintai Wika dengan sungguh-sungguh. Ia resah saat membayangkan apa yang akan terjadi di masa depan. Begitu saja Wika ada, dan menjadi bagian dari hidupnya secara utuh.

Dalam perjalanan pulang kemarin, Rattan merasa keputusannya sudah bulat. Ia ingin melupakan Benih. Ia ingin fokus pada pekerjaannya. Ia ingin membangun karirnya lebih dahulu dan menaruh urusan cinta serta semua yang berbau emosional di belakang. Ia ingin mengubur semua hasratnya. Ia ingin jadi realistis. Dan realistis adalah mengumpulkan uang. Rattan ingin menjadi mapan.

Ia tahu bahwa kehidupan asmara dan materi adalah dua hal yang selalu ditempatkan takdir pada posisi berseberangan. Hasrat dan rasionalitas adalah dua hal yang berbeda. Bagaimana bisa menumpuk materi tanpa rasionalitas? Bagaimana bisa menyambut sebuah cinta tanpa hasrat? Sementara Rattan tak pernah berhenti menoleh pada masa lalu, sedang materi dan cinta selalu berjalan seolah tak saling bersinggungan ke masa depan.

Rattan tahu kalau seumur hidupnya, ia membuang waktu untuk selalu menghadap ke belakang, sampai-sampai tak pernah menyadari bahwa banyak sekali yang ditawarkan takdir di hadapannya.

Dan sekarang, seorang perempuan telah meninggalkan semua kenyamanan hidupnya untuk Rattan. Meski sejak awal Wika adalah gadis yang berpunya. Bersama atau tanpa status pernikahan.

Wika keturunan bangsawan. Ia berdarah biru. Ia punya warisan, ia punya pekerjaan. Ia seorang dosen, ia sedang melanjutkan jenjang pendidikan profesi yang kedua. Dan wanita sepertinya memilih perempuan seperti Rattan. Yang tidak berkuliah, yang hanya seorang guru musik honor, yang hanya bekerja paruh waktu sebagai peramu musik untuk serial web. Terutama, Wika memilih seseorang yang tidak mencintainya. Tentu cinta adalah sebuah anugerah yang besar.

Sayangnya, anugerah tersebut tidak disertai dengan hak untuk bebas memilih. Sebagian orang lebih senang mencintai dengan pengorbanan. Yang lain lebih nyaman dicintai.

Memikirkan situsi penuh kontradiksi ini, Rattan menjadi gelisah. Ia turun dari tempat tidurnya, meninggalkan Wika yang masih berbaring di sana.

"Kamu akan ke mana?" tanya Wika. Suaranya serak dan nampaknya ia masih setengah tidur. Barangkali kegelisahan Rattan bisa dirasakannya melalui suara seprai yang berkerisik lalu membangunkannya.

"Aku akan cari minum, kemudian melanjutkan pekerjaan."

"Apa musik tidak bisa dibuat pada jam kerja normal?"

"Mengajar musik bisa. Tapi, aku tidak bisa menunda lebih lama, Wika. Bukan aku produsernya. Bukan aku yang menentukan kapan aransemen musiknya selesai. Kembalilah tidur," ungkap Rattan.

Kemudian perempuan itu memberi Rattan ketenangan untuk sementara. Rattan menutup pintu kamar kerja dan melanjutkan pekerjaannya yang sudah tertunda 4 hari ini. Ia memang butuh hal lain untuk mengalihkan perhatiannya. Dari pilihannya, dari perempuan bernama Benih yang akan melakukan pernikahan dalam hitungan jam.

***

Di pagi hari, bukan suara burung yang membangunkan Rattan. Ia masih duduk di ruang kerjanya yang kedap suara. Tidak ada pula cahaya matahari yang menyusur lewat celah jendela. Namun tengkuk yang pegal dan kedinginan karena terlelap di meja kerjanya yang memaksanya.

Sambil merenggangkan badan Rattan keluar dari tempat persembunyiannya. Aroma kopi menari dalam pemandangan tak kasat mata. Pisang goreng buatan sendiri menjadi pasangannya. Belum pernah pagi jadi begini tertata buatnya. Meski Wika datang setiap malam, di pagi hari Rattan tak pernah melihat keberadaannya. Pagi ini berbeda, perempuan itu sudah menunggunya. Ada senyum di wajahnya yang elok. Rambutnya yang hitam dan tebal sudah dipusung rapi. Kelopak matanya dipoles dengan warna yang lembut.

"Sarapan dulu," ajak Wika.

"Selamat pagi..." Rattan duduk di kursi. Wika mendorong sebuah asbak ke depannya. Juga segelas air putih.

"Kamu akan berangkat mengajar?" tanya Rattan setelah mencium aroma parfum dari perempuan di depannya.

"Hari sabtu," jawab Wika sambil menggelengkan kepala. "Aku kuliah di hari sabtu."

"Terimakasih sarapannya."

"Siapa bilang itu buatmu?" Wika berkata sinis, Rattan tak jadi menelan pisang goreng yang sudah keburu masuk ke dalam mulutnya.

Lalu Wika tertawa. "Aku hanya bercanda."

Rattan tersenyum. Ia menelan pisang gorengnya dengan susah payah. Namun Wika belum selesai ternyata, ia melanjutkan perkataannya, "Perutmu harus diisi. Hari ini perkawinan itu akan terjadi. Tubuhmu tak boleh punya alasan untuk pingsan. Atau kalau pun kamu akan minum-minum karena frustasi, ada yang bisa kamu muntahkan nanti."

Rattan menaruh sisa bilah pisang goreng di tangannya. "Lain kali tolong racuni aku saja sekalian. Ini terlalu pagi untuk mengomel. Jangan samakan aku dengan anak-anakmu."

"Jangan bawa anak-anakku."

"Kalau begitu jangan kamu bawa masa laluku," kata Rattan pahit. Ia menyisip kopinya dan menyalakan sebatang rokok.

"Kamu akan datang ke pesta pernikahan itu nanti?" tanya Wika.

"Ya, aku akan datang."

"Tolong jangan permalukan dirimu di sana." Lalu Wika berdiri dan menyambar tasnya. "Sudah kusiapkan kemejamu. Kugantung di lemari."

"Terimakasih." Rattan menghisap rokoknya dan menghembuskan asap. Ia pikir Wika akan segera pergi seperti asap rokoknya. Tapi perempuan itu masih berdiri di sana. "Apa lagi?"

"Cium aku. Aku akan berangkat kuliah."

"Nanti kamu bau rokok."

"Cium aku sekarang. Cepatlah, nanti aku terlambat." Wika semakin menuntut.

"Apa ini yang kamu lakukan setiap pagi dengan mantan suamimu?" tanya Rattan sambil berdiri.

"Kamu akan menciumku atau tidak?" Wika semakin sengit.

"Ya. Ya." Rattan mengecup kening Wika. Kemudian bibirnya. Lehernya. Ia tidak bisa memungkiri perbedaan ini. Rattan menjadi lebih bersemangat pagi ini. Hidupnya yang kosong tiap pagi pelan-pelan terisi. Kesepiannya seolah ada yang mengobati.

Untuk sejenak ia bisa mendorong jauh rasa rindunya pada Benih, yang ternyata masih belum tuntas. Tapi, apa pantas jika Rattan melampiaskan kerinduan itu pada perempuan yang lain?

Wika mendongakkan kepalanya pada Rattan. Mata yang sudah dipolesnya menjadi redup. "Apa aku harus bolos kuliah?"

"Apa mungkin kamu bolos kuliah?" Rattan balik bertanya. Tangannya menyusur punggung perempuan di depannya. Bersiap membuka kemeja lengan panjang berwarna sage milik Wika kapan pun perempuan itu mempersilahkannya.

"Aku akan terlambat," katanya di antara nafas yang kini mulai acak.

"Ya. Aku bisa membuatmu terlambat."

"Apa kamu bisa memberikan padaku jaminan yang sepadan dengan keterlambatan?"

"Apa kita akan berdiri saja di sini sambil menimbang-nimbang? Atau kita harus menundanya dulu?" Rattan menelan ludahnya. Tentu akan berbeda rasanya jika ditunda-tunda.

"Mungkin dalam hitungan ketiga kita akan mundur selangkah. Lalu kita akan memutuskan. Mungkin kita bisa berubah pikiran. Ada pesta yang harus kamu hadiri. Ada kuliah yang harus aku jalani."

"Baik. Mulailah menghitung. Aku menurut padamu."

"Kita hitung mundur atau maju?"

"Setelah tiga atau tepat pada hitungan ketiga?" tanya Rattan lagi. "Baik. Pada hitungan ketiga saja." Ia mengernyit sambil menahan ngilu di selangkangannya.

"Satu," bisik Wika.

"Dua..." Rattan mengambil ancang-ancang mundur. Kaki kanan ia kendurkan.

"Persetan." Wika menarik Rattan, lalu mengecup bibirnya. Rattan tidak lagi bicara. Ia lupakan kopi dalam cangkir yang sudah mulai dingin. Meski nanti kopi dingin akan membuatnya ingat pada Benih. Ia lupakan juga pisang goreng meski perutnya masih terasa lapar.

Sedang Wika, perempuan itu sibuk menghapus rasa kehilangannya. Seorang ibu yang tak lagi punya hak terhadap anaknya. Seorang istri yang meninggalkan status sosialnya, suaminya untuk seseorang. Perempuan. Yang tidak mencintainya. 

Hari Ini, Kita (ANDA ANUNTA) (GXG) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang