1/1

37 2 0
                                    

Sosok gadis manis tengah termenung menatap langit sore. Matanya menerawang jauh, menatap cakrawala yang tengah memamerkan pesonanya. Gadis itu, Dyah, sedang membayangkan jika dirinya menjadi seorang putri kerajaan. Ia menghela nafas panjang, tangannya kokoh memegang setang sepeda bututnya. Seandainya, ya, seandainya.

Pagi itu, Dyah mengayuh sepedanya dengan semangat, seperti pagi pagi sebelumnya. Ia tersenyum lebar menatap elang yang terbang tinggi dikejauhan, juga kupu-kupu yang mendarat anggun pada bunga yang siap merekah. Dyah memarkirkan sepedanya di tempatnya, menatap sejenak sepeda teman-temannya yang jauh lebih bagus -dan mahal- sembari mengucap syukur dalam hati.

"Selamat pagi," Dyah masuk ke kelasnya sembari tersenyum lebar.

"Eh? Pagi, miskin," Dyah tetap tersenyum, tatapannya lembut terarah pada Willy yang 'membalas' sapaannya.

Dyah menata langkah menuju mejanya diujung kelas, meja paling kotor, bau, dan penuh coretan selalu menemaninya. Satu-dua kertas terlempar kearahnya, diabaikan, semakin banyak kertas yang dilemparkan. Seperti melempar jumroh saja.

Bel berbunyi, tanda waktu istirahat datang. Dyah tetap berada pada posisinya, perlahan membersihkan mejanya yang penuh sampah kertas -walau ia tau, hal tersebut percuma.

"Eh, Dyah, ayahku baru saja kembali dari Bandung, eh, ini ada bingkisan untukmu."

"Terimakasih, Aru, titip salam pada keluargamu!" Dyah tersenyum riang, mengucap syukur dalam hati berulang kali.

"Aru, sejak kapan kau peduli padanya? Kau suka pada gadis miskin itu? Atau perusahaan ayahmu bangkrut, ya, belajar menjadi orang miskin, mungkin?" Willy tertawa kecil sembari melayangkan tatapan menilai untuk Aru.

Dyah menggenggam erat paperbag di tangannya. Ia tidak tersinggung, sungguh, dia hanya tidak ingin seseorang diolok-olok karena dekat dengannya.

Bel berbunyi untuk kesekian kalinya, kali ini bel pulang sekolah. Dyah mengemasi barang-barangnya lantas berjalan pelan menuju parkiran sepeda. Sesekali ia tersenyum ramah dan menyapa bapak dan ibu guru.

"Dyah"

"Eh? Ada apa, Aru?"

"Eh, tidak, hanya ingin mengajakmu pulang bersama, eh, rumah kita searah, kan?"

"Maaf, aku akan pergi ke suatu tempat, tidak langsung pulang"

"Eh, baiklah, bolehkah aku menemanimu ketempat itu?"

Dyah menatap heran pada Aru, ada apa dengan anak itu?

"Apa? Jangan menatapku seperti itu, aku seperti tertangkap basah mencuri mangga milikmu."

"Memang," Dyah tertawa sembari menaiki sepedanya, perlahan menjauh dari area sekolah.

Aru menyusulnya, "Jadi, tidak boleh?"

"Tidak."

Dyah mengayuh sepedanya santai menuju tempat ia biasa menikmati lukisan sang pencipta. Tak seperti sore-sore sebelumnya, bangku tempat ia biasa duduk diisi oleh seorang pria tua. Dyah memelankan laju sepedanya, memilih duduk di bangku kosong yang tersisa. Pria tua tadi berjalan pelan dengan tongkatnya, berpindah duduk disebelah Dyah.

"Nak, kakek lupa tadi membawa kotak itu, boleh tolong ambilkan kotak itu? Kaki tuaku sudah kelelahan."

"Tentu, kek, sebentar, biar saya ambilkan," Dyah tersenyum, bersenandung kecil sembari mengambil kotak milik pria tua itu.

Dyah kembali, terkejut menatap bangku yang kosong, kemana pria tua tadi? Ia tidak salah, itu benar bangku yang tadi didudukinya bersama pria pemilik kotak ini, bahkan sepeda miliknya masih terparkir rapi ditempatnya.

Dyah menatap bimbang kotak ditangannya, apa yang harus ia lakukan? Sebenarnya, diatas kotak itu terdapat sebuah note kecil bertuliskan :
'Nak, ini milikmu, sungguh, ini milikmu. Seseorang menitipkannya padaku, bertitah untuk memberikan pada pemiliknya yang asli. Jangan cari aku, sungguh jangan cari, karena aku tidak pernah benar-benar ada'

Dyah berpikir cepat, semoga ini memang miliknya. Tangannya gemetar membuka kotak itu. Bibirnya merapal berulang-ulang seolah membaca mantra 'aku bukan pencuri, sungguh, aku bukan pencuri'. Matanya berbinar menatap sepasang sepatu kaca yang diukir indah dengan ornamen-ornamen rumit. Tangannya semakin gemetar menyentuh sepatu yang seolah terbuat dari air.

Nalurinya bergerak cepat, tangannya -walau gemetar- bergerak memakai sepatu kaca itu, pas, seolah-olah sepatu itu memang dibuat hanya untuknya. Dyah berdiri, terhuyung, mencoba berjalan satu dua langkah, tertatih. Namun setelahnya, ia berjalan cepat menuju danau buatan di taman itu. Entahlah, kakinya seolah mengajaknya kesana.

Senja sempurna mengungkung cakrawala, membuat redup oleh sinar kemuning. Saat mentari sempurna terbenam, saat sang Bagaskara kembali ke peraduan, saat itu juga tubuh Dyah sempurna tenggelam dalam danau itu. Entahlah, tiada seorangpun yang menyadari hal itu, atau mungkin, kejadian itu sungguh tak pernah terjadi.

Dyah mengerjap, netranya berusaha menyesuaikan cahaya yang seolah menusuk. Pandangannya yang buram perlahan menjadi tajam. Dimana?

"Ah, syukurlah anda sudah sadar, Nona, sebentar, akan saya panggilkan tabib kerajaan," Dyah mengernyit, merasa bingung dengan ucapan seorang wanita berwajah teduh itu.

Tak lama setelahnya, suara derit pintu terbuka menyapa indra pendengarannya, "Ah, kau sudah sadar rupanya."

Dyah seperti mengenali suara itu, ia perlahan menggulirkan matanya, berusaha mengingatnya. Matanya membelalak terkejut, "Aru?"

"Selamat datang kembali, Dyah Pitaloka.

Impian Si Gadis MiskinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang