Bab 6. Paksaan Winda

1.6K 204 29
                                    


Dinar tentu saja melawan karena tidak terima disebut Winda sebagai gadis licik. Kedua tangannya mengepal dan rasa ingin menonjok wajah Winda yang penuh dengan kepalsuan.

"Siapa yang licik, perempuan mandul!" teriak Dinar penuh amarah tertahan.

"Dinar!" Keenan mencegah gadis itu yang hampir mendekati Winda dan bisa saja Dinar akan memukulnya.

Winda cukup sabar, dia tidak beralih ke Dinar sedikitpun, karena memang dia tidak peduli. Dia fokus ingin mendapatkan tanda tangan suaminya agar sepakat untuk bercerai dengan segera.

Winda tersenyum sinis ke arah Keenan yang langsung panik. Suaminya itu memegang lengan Dinar dan dia tahu Keenan lebih mengkhawatirkan perasan Dinar ketimbang perasaannya. Percuma saja meneruskan pernikahan tapi hati selalu sakit. Baru saja dia mendengar kata-kata Dinar yang menghinanya, menyebut dirinya perempuan yang tidak bisa memiliki anak. Bagaimana bisa gadis itu menilainya sejauh itu, apa Keenan yang berkeluh kesah kepadanya?

Winda menggeleng, Keenan tidak pernah menyinggung masalah anak selama pernikahan. Menurut Winda, Keenan belum siap, terlihat dari sikap kasarnya saat bersetubuh. Winda tidak memperdulikan hinaan Dinar, meskipun dalam hati dia menilai kata-kata itu sangat keterlaluan juga menyakitkan.

"Winda. Tolonglah. Kita bisa bicara di rumah baik-baik."

"Sudah tidak ada waktu lagi, Keenan. Aku sudah meminta berkali-kali, dan aku sudah tidak ada kesabaran lagi." Winda membuka berkas lainnya yang dia pegang, dan melempar beberapa lembar foto yang menunjukkan kemesraan Keenan dan Dinar di dalam sebuah kamar. Tidak itu saja, keduanya berpelukan di dapur, Dinar memeluk Keenan yang bertelanjang dada tengah menyiapkan sarapan pagi.

Keenan terkejut melihat foto-foto itu dan menurutnya tidak seperti yang dipikirkan Winda atau mungkin orang-orang yang melihatnya. Dia tidak "menyentuh" Dinar sama sekali. Keenan menoleh ke Dinar dengan tatapan tidak percaya, bertanya, "Dinar, apa yang sudah kamu lakukan?"

Dinar diam tidak menjawab, malah balas menatap Keenan dengan angkuhnya, dan Keenan tidak berdaya dibuatnya. Keenan memang menyayangi gadis itu.

Pandangan Keenan beralih ke Winda yang masih memasang wajah marahnya.

"Winda. Tidak seperti ini, please."

"Jadi seperti apa? Ha? Hilang sudah sabarku, Keenan. Kamu apa tidak menyadari bahwa kita selalu bertengkar dan mempermasalahkan itu-itu saja, dan aku sudah muak!"

Dinar tampak tidak sabar lagi Keenan segera menandatangani berkas perceraian itu, matanya sesekali tertuju ke lembaran yang tergeletak di atas meja, dan Winda tahu gelagatnya. Winda tersenyum sinis dalam hati, gadis ini sangat licik dengan pikiran yang sangat jahat di dalam otaknya. Yakin dia gadis yang sangat manja dan keinginannya harus selalu dipenuhi. Sialnya, gadis ini yang juga disayang Keenan.

Winda masih bertahan tidak mau menggubris Dinar. Tujuannya sangat jelas, ingin segera bercerai dari Keenan.

"Cepat tanda tangan, Keenan, sebelum amarahku memuncak dan aku benar-benar akan mengamuk!" teriak Winda penuh amarah.

Belum sempat Keenan menandatangani berkas, tiba-tiba saja muncul Beno dari luar rumah dengan langkah tergesa-gesa. Tentu saja dia terkaget-kaget melihat Winda dan Keenan berdiri berhadap-hadapan dengan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan, juga ada Dinar di antara mereka berdua.

"Wah, pantas saja aku menerima telepon dari kantor asuransi, dan ... Winda. Selamat datang ke rumahku, dan ... terima kasih telah melunasi tunggakanku," ujar Beno yang langsung menangkap kedatangan Winda di rumahnya.

Kali ini Keenan yang terkejut. Winda melunasi asuransi Beno, bagaimana mungkin? Tapi mengingat penampilan Winda sebelumnya, dia akhirnya mengerti. Winda sudah merencanakan semuanya dengan matang, dan mantap bercerai darinya.

Dinar mendekati kakaknya, seolah ingin meminta perlindungan. Dia tidak bisa memungkiri bahwa dia cukup gentar menghadapi Winda secara langsung. Ternyata wanita itu tidak lemah seperti yang dia bayangkan.

Winda tidak peduli akan kehadiran Beno, dan dia malah lebih meledak-ledak, "Cepat, Keenan!" Dia teriak penuh ancaman.

Keenan duduk dengan perasaan tidak menentu, kesal dan bingung, dan lemah tak berdaya. Satu sisi dia masih memiliki perasaan terhadap Winda, di sisi lain dia tidak bisa melepas Dinar dan dia tidak mengerti kenapa dia begitu terikat dengan Dinar.

Keenan tidak berdaya, posisinya terpojok, dia sedang berada di rumah sahabat terdekatnya, yang selama ini telah banyak membantunya, sejak kuliah, kerja, sampai memperkenalkannya dengan pejabat-pejabat dan pengusaha besar, termasuk papa Winda. Pilihannya memang sulit, tapi dia harus memilih. Beragam kekhawatiran menerpa pikirannya, tapi pada akhirnya dia menandatangani berkas itu.

Winda memejamkan matanya dengan perasaan lega, juga Dinar yang merasa di atas angin.

"Jangan khawatirkan soal pekerjaanmu. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan perceraian ini, dan aku sudah bicara dengan papaku." Winda sudah mulai melunak.

Ada perasaan sesal dan kesal dalam diri Keenan akan sikap Winda yang langsung tenang setelah dia menandatangani berkas. Dia ikut lega karena Winda tidak lagi meledak-ledak. Hampir saja dia membayangkan keributan di rumah Beno dan dia pasti akan malu karena melibatkan Beno dalam masalah rumah tangganya.

Winda mengambil berkas-berkas yang berserakan dan menyusunnya tanpa bantuan siapapun di ruang tamu. Seketika ruang tamu hening, dan hanya terdengar bunyi kertas-kertas yang disusun Winda.

"Terima kasih atas kerjasamanya, aku sangat menghargainya," ucap Winda ke Beno, juga ke Keenan. Dia tidak melihat Dinar sama sekali, yang dia yakini akan bersorak sorai setelah ini, atau bahkan mungkin akan merayakan kemenangannya. Tidak masalah bagi Winda mengalah, asal hati dan pikirannya tenang. Lebih baik dia kembali ke papanya, fokus bekerja dan mengembangkan diri, dia tidak mau pikiran dan perasaannya terbuang sia-sia untuk hal yang tidak penting. Dia ingin meraih kembali ketenangan batinnya.

Winda dengan tenang ke luar dari rumah Beno, tanpa berucap pamit, tidak pula menoleh ke belakang. Dia merasa sangat puas, keinginannya tercapai sudah.

Setelah Winda benar-benar pergi, muncul mama Beno dari dalam rumah, mendekati Dinar dan menyuruhnya masuk ke dalam, membiarkan Beno dan Keenan bicara dari hati ke hati di ruang tamu. Ratri memahami permasalahan yang terjadi dan Dinar yang pasti terlibat.

"Ini masalah besar, Dinar."

"Aku nggak peduli, Ma. Mama liat sendiri, 'kan? Bagaimana bisa Mas Keenan betah dengan perempuan galak itu, Mas Keenan pasti tidak tahan, dan akhirnya mau bercerai."

Ratri menggeleng, dia sebenarnya tidak menyetujui tindakan "kasar" Dinar yang mencampuri masalah rumah tangga Keenan dan Winda. Tapi tidak pula ingin mencegah, karena dia sebenarnya juga menyukai Keenan dan berharap Dinar bisa menarik hatinya.

Sementara itu di ruang tamu, Keenan dan Beno duduk berhadap-hadapan, Keenan duduk bersandar di sofa dengan wajah letihnya, dan Beno duduk mengamati Keenan dengan perasaan simpatinya. Dia mengerti Keenan yang pasti sangat letih, karena dia baru saja menyelesaikan perjalanan bisnisnya di Palangkaraya, menguras otak dan tenaga, dan ketika kembali pulang, dia malah dituntut istrinya untuk segera bercerai.

"Aku pulang sekarang, Ben."

Bersambung

Pilihan SulitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang