Takdir; sederet peristiwa bertuan, melekat dan tak terpisahkan.
Sujiwo Tejo berkata Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa rencanakan cintamu untuk siapa.
Kemudian mana yang lebih menyiksa; hidup bersama dengan orang yang mencintaimu tanpa rasa, atau berjuang untuk orang yang kamu cintai tanpa ada?
Semua berlalu begitu cepat. Berawal dari ketakutanku semasa sekolah menengah atas. Masih ingat kalau aku pernah bicara bahwa yang aku takutkan bukanlah tidak menikah, melainkan menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai hanya karena keadaan.
Lalu runtutan takdir membawaku pada berbagai kisah patah hati. Hingga mempertemukanku pada sosok obat yang mencintaiku tanpa syarat.
Aku pikir perjalanan cintaku sudah usai. Aku pikir perasaanku sudah tak berfungsi hingga tak apa untuk menerimanya asalkan hatiku aman.
Namun nyatanya alur kehidupan tidak semulus itu. Seakan mencemooh perhitunganku. Dari sekian probabilitas yang bisa terjadi, dia yang lain muncul tanpa aku sadari.
Kehadirannya sungguh diluar kendali. Diantara beberapa notifikasi permintaan mengikuti, aku sudah terpana bahkan sebelum sempat melihat profil pribadi.
Setelahnya berisi kebodohanku yang lain. Waktu lamaran sudah dekat, perasaan itu malah datang dengan nekat.
Sekonyong-konyong ketakutan masa mudaku menjadi representasi pada kehidupanku saat itu. Bagai sebuah entah doa, ganjaran, atau kutukan yang jadi kenyataan.
Namun apa boleh buat, aku tak bisa dan tak sepatutnya mengambil tindakan bodoh lain untuk mengakhiri apa yang sudah ku mulai lebih dulu.
Kumatikan hatiku, kuanggap segalanya merupakan bagian dari nasib yang harus ku jalani.
Walau begitu perasaan untuk dia yang lain tak pudar, berkali-kali ku yakinkan diri bahwa hal tersebut hanya ilusi. Namun kau tahu, betapa sulit mengarahkan hati.
Alur cerita yang lain semakin menantang. Kesempatan bertemu dengan dia yang lain datang. Meski harusnya tidak perlu, namun hati kecilku berkata bahwa sekali seumur hidup baiknya bertemu.
Singkat cerita pertemuan itu tiba, aku masih ingat waktu itu ia mengenakan kemeja dark mustard lengan panjang yang digulung seperempat, celana panjang hitam, sepatu putih yang sering muncul di akun instagram miliknya. Wajahnya persis seperti difoto, minus jerawat dipipi yang mulai menghilang.
Beberapa kali kulihat ia memalingkan wajah. Sesekali melihat kearah jam tangan yang kukenakan kemudian beralih pandang pada jam tangan miliknya.
Aku suka cara dia mengusap muka karena berhasil membuatku terkejut, aku suka cara dia menahan senyum saat kutanyai kabar ponakan kesayangannya, aku suka cara dia melembutkan suara saat aku tak sengaja meninggikan nada.
Satu hal yang membuatku terpaku adalah kecepatan ia menoleh saat pertama kali aku membuka kain penutup mulut, kemudian membuang pandangan saat aku menyadari tingkahnya. Membuatku sadar bahwa gerak refleks pria sungguh tidak diragukan lagi.
Sesi foto berlangsung, tiga foto terabadikan. Tinggiku sedagu-nya. Terlepas dia setuju atau tidak, tapi disana kita terlihat serasi. Seperti pasangan sempurna. Ironinya tidak ada yang sempurna didunia ini, mungkin itu sebabnya aku tidak ditakdirkan dengannya. Dilan dan Milea juga sama.
Pertemuan yang singkat. Setelahnya aku berjanji pada diri sendiri untuk berdamai dengan segala ini.
Meski entah takdir macam apa yang mempertemukan aku dengannya. Namun aku tak pernah menyesal telah mengenalnya. Selanjutnya aku berharap agar takdir membuatnya bahagia, dimanapun dia berada.
But I can see us lost in the memory
August slipped away into a moment in time 'Cause it was never mine
~August - tylor swift~
KAMU SEDANG MEMBACA
Nada Rasa
Short StoryKetika musik melukiskan kisah hidup seseorang. Kumpulan cerpen yang terinspirasi dari lirik lagu.