Tidak Sepakat

136 28 1
                                    

Sebenarnya agak sulit menemukan tempat yang privat di lingkungan rumah Diora dan Arza, meski begitu mereka tetap harus menemukan tempat itu. Maka berbicara di bawah pohon jengkol dekat rumah Arza menjadi satu-satunya pilihan.

"Pokoknya gue nggak mau ya, Za, dilamar sama elo. Lamaran ini harus batal!" sembur Diora setelah omelan panjang lebar. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa merasa sungkan sama sekali. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah berkomunikasi intens.

Arza masih mengamati bagaimana Diora melepaskan amarahnya. Sampai gadis itu terlihat sudah mengeluarkan semua uneg-unegnya, Arza baru mengeluarkan suaranya.


"Kita cuma lamaran, Diora. Nggak langsung dikawinin," ucap Arza dengan dahi berkerut-kerut, "kita masih punya banyak waktu sebelum menuju pernikahan. Ada banyak hal yang bisa terjadi selama waktu itu. Setidaknya kita sudah berusaha menjalankan wasiat. Kamu paham maksud saya, kan? Acara besok hanya untuk menyelamatkan wajah keluarga kita," imbuh Arza menekankan pemikirannya atau setidaknya berusaha menenangkan Diora yang terlihat terlalu overthinking. Padahal solusi dari masalah ini sederhana sekali.

Diora menatap Arza dengan tatapan tidak suka. Namun apa yang dikatakan lelaki itu ada benarnya. Ini hanya lamaran, bukan langsung dinikahkan. Pertunangan bisa batal kapan saja, malu juga sebentar. Tak seperti pernikahan yang dianggap Diora sangat sakral. Pertunangan tak sesakral itu. 

Dari kalimat Arza, Diora bisa menyimpulkan bahwa Arza jug atak tertarik untuk menikah dengan Diora. Tentu saja, keduanya tak memiliki perasaan apa pun. Bagaimana bisa mereka menikah? Masalah wasiat itu... setidaknya mereka sudah berusaha.

Meski sudah menyimpulkan hal tersebut. Diora beum juga tenang. Sampai di rumah, gadis itu kembali dilanda kekhawatiran. Bagaimana kalau besok bukan hanya acara lamaran, tapi langsung dinikahkan? Sepertinya ia sering mendengar kisah semacam itu.

Malam itu, Diora berencana kabur seperti Yasmin. Ia berusaha tidak peduli dengan kerugian finansial dan moral yang akan ditanggung orang tuanya. Hanya saja, rasa lelah yang luar biasa setelah tenaga dan pikirannya terkuras, ditambah emosi yang terkuras pula, Diora malah jatuh tertidur.

Bahkan ia bermimpi didatangi sang kakek yang memintanya untuk meneruskan wasiat, atau dia akan diteror hantu. Mana hantu di film Tika yang ia tonton ikut-ikutan nongol dalam mimpinya pula.

Diora terbangun dengan kondisi napas tersengal. Beruntung kejadian horor itu hanya mimpi. Saat melihat jam dinding kamarnya, benda bulat itu sudah menunjuk angka setengah enam pagi. Diora kesal. Sudah terlambat salat subuh, mimpi horor, gagal kabur pula. Sepertinya Diora mengalami kesialan bertubi sejak kemarin.

***

Acara lamaran tak terlalu menyenangkan bagi Diora. Meski ia didandani begitu cantik. Ia bahkan memakai kebaya yang sudah dipesan untuk Yasmin agar terlihat serasi dengan Arza nantinya. Dekorasi sudah diubah. Ada inisial namanya dan Arza, juga Yoga yang cengar-cengir karena berhasil melakukannya.

Mungkin satu-satunya orang yang bersedih dalam acara itu hanya Diora, sebab Arza pun terlihat baik-baik saja.

Acara lamaran berlangsung lancar, sangat lancar malah. Hingga setelah acara tukar cincin, seorang photografer mengarahkan Diora dan Arza untuk berfoto sembari memamerkan cincin pertunangan mereka.

"Mbak, senyum yang lebar. Mas, agak mendekat, ya," si photografer memberi arahan.

Arza dengan santai merapatkan tubuhnya, sementara Diora berusaha melebarkan senyum.

"Jadi kapan kita akan membatalkan pertunangan ini?" tanya Diora setengah berbisik.

"Batal? Saya tidak berencana untuk membatalkannya," ucapan santai Arza itu sukses membuat Diora melotot marah. Namun belum sempat mengomel, Arza sudah merangkulnya dan tersenyum licik ke arah kamera.













Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Beda FrekuensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang