CHAPTER 4

378 22 7
                                        

"Dia sangat jauh dari apa yang orang-orang lihat."

❝ DIMENSI ARLO ❞

Suara pecahan terdengar kembali di sekitar Rea, gadis itu tak peduli dan tak mau ambil pusing dengan apa yang telah diperbuat. Rea hanya ingin pergi dan menjauh dari tempat ini, jika bisa ia tak ingin kembali lagi. Hatinya bergemuruh mengingat laki-laki yang menjadi pacarnya menyeret dirinya hingga sampai di sebuah ruangan asing. Tak tanggung-tanggung Genta mengikat kedua tangan Rea di sisi ranjang dengan dalih agar gadis itu tak kabur. Rea sangat frustasi karena ikatannya yang erat ia menjadi tak bisa membukanya.

"Brengsek lo, Genta! Lo pikir lo siapa berani nyekap gue kaya gini?!" teriak Rea dengan penuh emosi.

Sangat jauh dari dugaan Rea jika kakak tingkatnya ini abnormal bahkan merembet gila. Ia hanya menduga jika Genta playboy dan tak sebaik yang dikira orang lain. Dilihat dari luar memang menyenangkan dan positive vibes, tapi jika tahu dalamnya akan sangat berbeda, seperti sekarang ini. Sepertinya Rea teramat menyesal telah menyetujui kedua temannya untuk berpacaran dengan Genta.

Genta terkekeh pelan sembari memungut kepingan kaca yang berserakan akibat ulah Rea. Genta berjalan ke arah tempat sampah dan membuang kepingan kaca itu kesana.

"Jadi lo mikir kalau gue lagi nyekap lo?" Genta mendekati Rea sambil tersenyum. "Menarik juga pikiran lo, baby girl."

"Lepasin gue!" Rea menatap tajam Genta tanpa ada rasa takut.

"Syarat utama pacaran sama gue adalah wajib patuh dan nurut sama gue, sekali ngebantah ada hukuman tersendiri," ujar Genta mutlak.

"Kita cuma pacaran, bukan suami istri!" protes Rea dengan berteriak.

Genta mendekatkan wajahnya di hadapan Rea, matanya menelisik ke seluruh wajah gadis itu. "Bukannya lo suka sama gue? Kenapa sikap lo beda jauh kaya orang yang bener-bener suka sama pacarnya?"

Sontak tubuh Rea menegang mendengar hal itu. Rea mulai bergelut dengan pikirannya sendiri sambil mengigit bibirnya cemas. 

Jangan sampai nih orang tau sama taruhan gue sama temen-temen gue. Gue nggak yakin bisa hidup tenang kalau dia tau yang sebenernya. Batin Rea gelisah.

"Lo bener suka sama gue, kan? Nggak ada rasa paksaan, kan, baby girl?" tanya Genta dengan suara seraknya.

"Enggak, gue beneran suka sama Kak Genta," jawab Rea dengan gugup.

"Manis sekali," gumam Genta sambil mengusap lembut bibir Rea.

Genta kembali menegakkan badannya. "Oke, kalau gitu nggak boleh kasar sama pacar sendiri. Jadilah gadis baik dan sekarang ubah kosakata kita menjadi aku-kamu. Paham, baby girl?"

Rea hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon.

"Mau kemana?" tanya Rea dengan lirih saat melihat Genta berjalan menuju pintu.

"Mau masak buat makan siang kita. Kamu di sini dulu, aku nggak akan lama," jawab Genta sambil membalikkan badannya.

"Ternyata cowok kaya kamu bisa masak juga, ya," ceplos Rea dengan asal.

Perkataan Rea membuat Genta menaikkan sebelah alisnya. Rea yang ditatap intens oleh Genta langsung mengulum bibirnya ke dalam dengan memasang wajah gelisah.

Aduh, nih bibir asal nyeplos aja, ntar kalau gue diapa-apain gimana huaaa. Batin Rea menjerit.

Rea semakin tegang saat melihat Genta berjalan ke arahnya. Raut wajah lelaki itu lempeng-lempeng saja membuat Rea sulit menebak apa isi pikirannya. Bahkan suara ketukan sepatu Genta terdengar nyaring yang semakin memberikan kesan menakutkan.  Tanpa sadar Rea meneguk ludahnya susah payah ketika Genta sudah berada tepat di hadapannya. Melihat Genta mengangkat tangan kanannya refleks membuat Rea menutup mata. Dapat Rea rasakan usapan lembut di atas kepalanya. Hal itu membuat Rea membuka matanya dengan perlahan.

"Kam-mphhhh." Rea membulatkan matanya saat mendapatkan serangan mendadak dari Genta.

Seolah Genta menemukan permen yang begitu candu untuknya. Dia terus melumat dan menghisap bibir Rea dengan kasar. Melihat Rea yang terpejam pasrah dengan kedua tangan terikat membuat lelaki itu tak bisa menahan nafsunya. Alhasil kini gadis itu terbaring lemas dengan Genta yang terus melahap bibirnya tanpa henti. Meskipun dengan keadaan lemas, Rea berusaha memberontak dengan menggeleng-gelengkan kepalanya ketika dirasa akan kehabisan nafas. Bukannya berhenti, Genta malah semakin menekan tengkuk Rea untuk memperdalam ciumannya.

"Mphhh mphhhh."

Rea semakin memberontak dan menarik-narik kedua tangannya yang terikat tanpa peduli jika hal itu akan melukainya. Tak hanya itu, kaki Rea juga menendang ke segala arah sebagai protesan. Tapi tindakan itu membuat Genta mengapit kaki Rea dengan kedua kakinya sehingga gadis itu tak dapat bergerak. Rea yang merasa tak memiliki harapan hanya terkulai pasrah dibawah kuasa Genta. 

Selang beberapa menit, Genta melepaskan ciumannya membuat Rea langsung bernafas lega. Genta hanya terkekeh pelan melihat gadisnya terengah-engah karena kehabisan nafas.

"Kamu gila, ya! Aku nggak bisa nafas! Shhh." Rea meringis di akhir kalimat saat merasakan bibirnya sedikit nyeri.

"Bibir kamu candu, rasa laparku sampai berkurang 50%." Genta mengecup bibir Rea sekilas sebagai penutup.

"Aku tinggal masak, kamu jangan kemana-mana."

"Gimana mau kemana-mana kalau diiket kaya kambing gini," ketus Rea sambil menatap Genta yang membuka laci.

Rea mengernyitkan dahinya saat melihat Genta balik ke arahnya sambil membawa lakban hitam.

"Meskipun tangan kamu aku iket nggak menjamin kalau kamu bakal diem anteng di sini," ujar Genta sambil menggunting lakbannya beberapa cm.

Rea melototkan matanya saat paham apa yang akan dilakukan oleh Genta. "Nggak! Aku nggak mau! Kamu apa-apaan, sih?!"

Genta menempelkan potongan lakbannya ke bibir Rea dengan mudah meskipun gadis itu berontak tak mau diam. Suara Rea menjadi teredam akibat lakban itu, hanya terdengar gumaman saja.

"Mphhhhhhh."

"Aku belum masang alat pengedap suara. Kamu baik-baik di sini, nanti kalau waktunya makan siang aku lepasin semuanya." Genta menepuk-nepuk kepala Rea dengan pelan.

Sebelum beranjak, Genta sempat-sempatnya meremas dada kiri milik Rea membuat gadis itu terlonjak kaget. Kemudian Genta melenggang pergi tanpa rasa bersalah. Berbeda dengan Rea yang menatap kosong pintu yang telah tertutup sempurna. Dia masih syok akan kelancangan Genta yang memegang dadanya. Tak lama Rea meneteskan air mata merasa gagal menjaga dirinya sendiri. Ia pun menunduk untuk meneliti keadaannya sekarang yang jauh dari kata baik-baik saja. Dress ketat yang membalut tubuhnya sudah tak beraturan, di bagian paha sedikit tersingkap dan di bagian dada sedikit melorot membuat buah dadanya terlihat jelas. Tak lama Rea menangis terisak, mengasihani nasibnya sekarang yang sudah seperti korban penculikan dan pelecehan.

Bersambung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIMENSI ARLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang