Sore itu, ketika si kembar pulang dari sekolah, [M/n] dapat merasakan ada yang salah. Wajah si bungsu tampak kusut, cemberut sejak masuk ke dalam rumah. Di belakang Solar, Duri pun tampak sedih, mata dan hidungnya memerah, hampir menangis.
Ketika mata keduanya menangkap sosok sang kakak, tanpa pikir panjang Duri langsung berlari, menerjang kakaknya dalam pelukan mematikan. Tangisnya pecah, kepalanya di sembunyikan pada perut kakaknya. [M/n] mengerutkan kening, bingung. Tangannya bergerak mengelus surai lembut si manik Zamrud.
"Kenapa?"
Tanyanya lembut, masih mengelus kepala Duri. Tidak ada jawaban, tangisan Duri justru semakin keras. Solar disisi lain, ikut menerjang kakaknya, memeluk pinggang [M/n] dan menangis dalam diam di perutnya.
"Solar."
Melihat kedua adiknya seperti ini, mau tak mau [M/n] merasa khawatir. Apalagi keduanya tak mau menjawab pertanyaan yang dia lontarkan. Jangankan menjawab, berbicara sepatah katapun tidak.
"Kakak."
[M/n] mengangkat kepalanya. Yang semula menunduk kini menatap adiknya yang dikenal paling bertanggung jawab. Paling pandai mengatur emosi.
"Tadi di sekolah, Solar di ejek oleh teman sekelasnya. Karena terpojok saat kalah berdebat dengan Solar. Dia bilang.."
Gempa terdiam. Berhenti di tengah kalimatnya. Lidahnya terasa kelu. Dia tidak ingin membahas topik ini. Kepalanya menunduk.
"Dia bilang kami anak pembawa sial, anak yang tidak diinginkan karena tidak punya ayah dan ibu.."
[M/n] terdiam mendengar itu. Benar, dia tidak akan pernah bisa melupakan kejadian 9 tahun lalu. Bencana yang mengubah hidup mereka selamanya. Tepat pada hari ulang tahun si kembar, orang tua mereka meninggal. Kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya saat perjalanan pulang dari pekerjaan mendadak. Kecelakaan maut akibat kelalaian seorang sopir truk. Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya.
[M/n] masih dapat mengingatnya dengan jelas. Bagaimana hancurnya mobil mereka kala itu. Bayang bayang jasad kedua orang tuanya terus menghantuinya selama 1 bulan penuh. Setiap kali menutup mata, kondisi mengenaskan keduanya terlintas di kepalanya. Dia yang masih berumur 8 tahun ketika itu, harus menenangkan tangisan pilu adik adiknya.
"Kakak, itu tidak benar kan? Bunda tidak membenci kita kan? Yang Adu Du bilang itu salah kan?"
Ratapan di sela isak tangis Duri membuyarkan pikiran [M/n]. Adik kecilnya itu tengah menatapnya dengan mata berlinang. Air mata tak kunjung berhenti, mengalir bebas di pipi cabi nya. Pipi yang selalu ia jaga agar tetap cabi.
"Tidak. Itu tidak benar. Bunda sangat menyayangi kalian. Beliau menyayangi kalian lebih dari apapun."
Duri mengangguk, tangisnya belum berhenti, tapi jelas hatinya sudah terasa lebih lega.
"Kenapa dia bilang begitu?"
[M/n] bertanya. Mencubit sebelah pipi adiknya.
"Dia hanya iri, dan kerena dia tau bahwa setiap tahun hanya Tok Aba yang mengambil raport kami. Karena besok pengambilan raport jadi Adu Du bilang begitu.."
Solar menjawab, sekalian mengadu pada kakaknya. Wajahnya masih ia sembunyikan, malu. Walau dia tau kakaknya tidak akan menertawakannya. Namun, malu tetaplah malu, Solar tidak mau kakaknya melihat wajah memerahnya.
"Kakak."
Gempa mendekat. Berdiri di depan kakaknya. Dengan tangan menggenggam erat tali tasnya dan salah satu kakinya bergerak malu malu.
"Boleh tidak besok kakak yang ambil raport kami?"
Anak yang terkenal dewasa itu meminta dengan nada memohon. Sifat yang belum pernah dia tunjukan sebelumnya, benar benar "tidak Gempa sekali". Kekanakan memang, tapi tidak apa apa, toh dia juga masih kecil. Masih anak anak, masih membutuhkan sosok yang sedia 24 jam melindungi dan membelanya. Masih membutuhkan sosok yang mendukungnya, menggandengnya di setiap langkah yang dia ambil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Brother
Fanfiction[Boboiboy x Big Bro Male! Reader] Kamu, kakak laki laki dari 7 kembar yang ada aja kelakuannya