11 - Peran Karma.

608 61 16
                                    


Belum di revisi jadi maaf kalau banyak typo nya.
_________
Beberapa jam lalu sebelum mereka berada di kapal angkasa saat mereka tengah mendiskusikan startegi atau lebih tepat di katakan rencana dari Nagisa.

"Saat dia datang aku menebak 50% kemungkinan dia akan menyuruh Taufan membunuh kalian semua. Itu yang dikatakan Nagisa." Karma sekali lagi menjelaskan gerakan tangan si rambut biru. "Dia juga mengatakan kalau dia sudah menemukan solusi untuk kalung pengekang hidup dan mati yang nanti di berikan oleh si alien."

Mata Taufan membelalak, tidak dia sangka Nagisa berpikiran sampai sana. Sudah menemukan solusi pula! Kurang pintar apa coba?

"Taufan—chan kawaii," Nagisa terkekeh. "Jangan membelalak begitu, aku tau aku pintar. Tapi belum tentu semua berjalan lancar." Nagisa membuat gerakan isarat lagi membiarkan Karma menerjamahkannya.

"Dia memerintahkan mu memanggil teman-teman kalian, rencana ini membutuhkan bantuan. Itu katanya." Karma berkata sembari menunjuk Hali.

Di sisi Gempa tidak ada yang sadar tangan remaja bertopi coklat itu mengepal, dia dengan gugup berucap. "Apa harus melibatkan mereka? Ini berbahaya bukan...?"

Tidak ada bantahan dari Nagisa, pertanda apa yang di katakan Gempa benar adanya. Jujur Nagisa sendiri sudah mencari segala cara sampai tidak tidur 2 hari demi memikirkan rencana teraman menuju keberhasilan, tapi apalah daya bila yang mereka lawan adalah alien terkuat di angkasa. Tentu saja bahaya tetap ada.

Bila Nagisa memikirkan diri sendiri maka dia tidak akan pernah berniat melepaskan diri dari Rettaka, meski seringkali mendapat hukuman serta misi yang berbahaya namun bila lepas pun Nagisa tidak tau harus kemana.

Jika bukan karena Taufan...

"Dek... Sorry," Ucap Taufan lirih. Mata anak kedua dari Boboiboy bersaudara itu kini tidak lagi memancarkan cahaya. Taufan ingin bersama saudara-saudaranya tapi bila rencana Nagisa malah membahayakan yang lain lebih baik tidak. "Sa, kalau berbahaya gini mending ngga usah. Biarin mereka pergi aja."

Si rambut biru mengangkat bahu. "Ya aku sih keserah kalian, aku ngga tidur 2 hari sama cuma makan mie loh buat mikirin rencana kayak gini. Buat apa? Buat kalian juga biar sama-sama, kalau mikirin di sendiri mah aku ogah repot-repot begini."

Taufan terdiam begitu juga dengan Gempa tapi lain halnya dengan Hali, pria bermata merah darah itu mengambil gawainya tak lama terdengar suara dari sebrang panggilan.

"Halo Fang, bisa kalian kesini dulu? Ada sesuatu. Hm.. aku butuh pertolongan sekarang. Akan ku jelaskan saat kalian kesini, bisakah? Baiklah terimakasih." Panggilan tidak berlangsung lama sampai dua menit pun sepertinya tidak, Hali melirik sekilas ke arah Gempa. "Jangan sia-siakan kerja keras orang lain demi kita,  jika mereka tidak mau maka tidak akan memaksa."

"Tapi kak—"

"Gempa, bukan sekali dua kali kita menolong mereka bukan? Taruhannya juga nyawa, apa salahnya mereka membalas jasa?"

Gempa menggigit bibirnya hingga berdarah, tidak bisa membantah. Ucapan Hali terlalu kejam meski itu faktanya. Tapi yang Hali tidak tau bukan itu saja yang menjadi kekhawatiran Gempa, melainkan keselamatan 6 saudara mereka.

Taufan buru-buru menghampiri Gempa, dia berjongkok sedikit untuk melihat wajah Gempa yang menunduk. Manik safir langitnya nampak kosong seperti langit berkabut hitam yang menutupi bintang juga bulan.

"Gempa.. kalau Gempa ngga mau juga gapapa kok, nanti kita batalin rencananya oke?" Suara Taufan lirih.

"Tau—"

"Kak Alin, omongan Taufan jangan di potong dulu." Hali lantas diam, meremat gawainya hingga nampak akan retak. Mata darah sang petir tidak mengandung filter kasih sayang, namun syukurlah Halilintar tetap diam. "Kakak juga sebenarnya nggak bakal kenapa-kenapa kok, hukuman? Kakak udah biasa sama itu. Nyawa kakak ngga terancam, jadi kalau Gempa ngga setuju sama rencananya Nagisa.. ngga perlu di jalanin oke?"

Freedom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang