Nagi membelakangimu, suara klik tombol pengontrolnya adalah satu-satunya yang memenuhi ruangan. Pasti ada sesuatu yang terjadi sehingga dia kesal padamu, tapi dia tidak responsif dan memberitahumu apa yang terjadi. Komunikasi selalu tersedia dalam hubungan kalian, yang membuatmu bertanya-tanya mengapa dia tidak mengakui kehadiranmu dan mencoba berbicara denganmu.
Kamu menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengukuhkan kesabaran. "Masih tidak mau memberitahuku apa yang salah?" Tanyamu berusaha membujuknya, satu tanganmu terulur memijat bahunya.
Nagi menoleh ke belakang ke arahmu, tetapi hanya memandangmu dengan tatapan kosong dan kepala sedikit miring seperti yang dilakukan emoji anak kucing.
"Tidak. Tidak ada yang salah."
Dia berbalik, mengklik tombol dan menggerakkan joystick. Tidak ingin bicara lagi tapi kamu menduga dia marah padamu karena sesuatu, entahlah kamu bisa merasakannya.
"Nagi, ini tidak akan berhasil," katamu terpaksa mengambil joystick miliknya dan mematikan komputer. Kamu sudah tahu kalau dia akan kesal, justru akan lebih baik jika dia meluapkan apa yang dipendamnya padamu. Kamu tidak bisa membiarkan dia bersikap seperti ini terus-menerus karena dia dan kamu tidak akan kunjung tenang, setidaknya dia harus menjelaskan sesuatu yang harus dia jelaskan.
Saat kamu merebut alat game itu, kamu dapat mengetahui bahwa kemarahan muncul dalam dirinya dan wajahnya menjadi merah. Matanya menyipit, urat di keningnya menyembul, dia frustasi.
"Jangan sentuh itu. Aku perlu berlatih."
Dia mengambil joystick dari tanganku dan permainan muncul lagi di layar, dia mulai bermain seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak ingin membicarakannya, agaknya kamu memperburuk keadaan dengan mencoba menekan masalah tersebut.
Hal ini sudah terjadi berkali-kali, kamu lelah memberinya waktu sendirian, membiarkan ini berlalu bagaikan angin yang berhembus begitu saja... Bukankah sebaiknya kalian menyelesaikannya bersama-sama?
"Kau tahu, kau bisa memercayaiku untuk mendengar apa pun darimu, jadi katakan padaku apa yang mengganggumu," ujarmu, suaramu terdengar memohon dan sedikit mendesak. "Pasti ada solusinya, Nagi."
Dia berhenti bermain game, nafasnya sedikit berat saat dia mencoba mengendalikan amarahnya, sepersekian sekon berikutnya dia menjadi tenang. Dia membalikkan tubuhnya ke arahmu, menggeser kakinya satu sama lain alih-alih membiarkan dirinya duduk bersila.
"Tidak butuh solusi apapun. Jangan khawatir." Suaranya lebih dari tegas, matanya menatap tajam ke matamu.
Matamu masih mencari titik lembutnya, tapi matanya menolak bantuan yang kamu tawarkan. Entah kenapa kamu jadi emosi dan kesal, kamu memalingkan muka karena sepasang manikmu bisa berair kapan saja, kamu tidak ingin terlihat lemah atau mengklaim dirimu sebagai satu-satunya korban yang tersakiti di hadapannya.
"Mungkin aku belum menjadi pacar sempurna seperti yang kamu idam-idamkan, tapi kamu selalu bisa terbuka padaku agar aku bisa bergerak maju memenuhi ekspektasimu," ucapmu setengah berbisik, tenggorokanmu terasa tercekat namun kamu harus terus berbicara. "Terkadang aku merasa kamu tidak menganggap aku ada, karena kamu selalu diam."
Kamu tidak dapat menemukan sisi lunak dalam dirinya, seluruh penjagaannya sudah habis. Dia melindungi dirinya darimu saat ini, menolak untuk bercerita dan memberi tahumu masalahnya. Dia menggelengkan kepalanya, berusaha melawan hatinya agar tidak terpecah antara putus asa dan terbuka.
"Kamu sempurna, sayang. Itu masalahnya. Kamu terlalu sempurna untukku. Aku tidak ingin membuatmu terbebani dengan masalahku."
"Lalu apa gunanya aku berada di sini? Apa gunanya aku sebagai pacarmu jika kamu menghindariku saat ada sesuatu yang membuatmu linglung?" Kamu mengusap wajahku dengan emosi yang ingin meletup, menyibakkan rambutmu ke belakang sedikit gregetan dan menatapnya dalam-dalam. "Setidaknya kamu didengar dan tidak merasa sendirian. Aku memang tidak bisa membantumu seratus persen, tapi aku ingin menemanimu dalam suka dan duka. Kenapa kamu membuatku ragu sekaligus bingung dengan niatku itu?"
Dia melihat ke bawah dan menjauh dari pandanganmu. Mungkin dia tidak ingin kamu marah padanya atas apa yang akan dia katakan. "Niatmu selalu baik, itulah bagian dari masalahnya... Aku ingin kamu selalu tenang, aku tidak ingin kamu stres karena masalahku. Bukan tanggung jawabmu untuk memastikan aku baik-baik saja. Kamu di sini untuk menikmati hidup bersamaku dan aku tidak ingin membebanimu."
"Kamu... apakah kamu bodoh?" Tanyamu tak percaya, benar-benar tersinggung tertutupi oleh tawa palsu. "Faktanya kamu membuatku stres karena tidak memberiku akses untuk mengetahui siapa dirimu. Suatu hubungan hanya akan berhasil jika keduanya saling berbagi, tapi kamu memutuskan untuk tidak melakukannya."
Dia memejamkan mata dan menoleh kesamping, masih tidak ingin melihatmu saat berbicara. Pada poin ini kamu bisa merasakan dia hampir menangis, emosinya hancur di dalam dirinya.
"Tetapi bagaimana jika aku menjadi beban bagimu? Aku tidak ingin kamu harus hidup bersama laki-laki sepertiku, yang mungkin akan memiliki lebih banyak masalah daripada solusi. Kamu berhak mendapatkan lebih dari apa yang bisa aku berikan."
Kamu menangkup pipinya, mengelusnya dengan lembut, memintanya untuk menatap lurus ke arahmu. "Aku memilihmu, Nagi. Itu menjadi alasan kuat bagiku untuk menerima kelebihan dan kekuranganmu serta resiko menjalani hari-hariku bersamamu."
Kamu meraih kedua tangannya, lalu aku mengarahkannya ke dada kirimu dimana jantungmu berdebar kencang. "Aku tidak menyesal bersamamu sejauh ini dan aku hanya ingin cinta kita menyelamatkan semua masalah."
Kamu mampu mengeluarkannya dari pikiran gelapnya, sebab kata-kata yang kamu ucapkan tadi meruntuhkan temboknya.
"Maafkan aku, sayang. Sepanjang hidupku, hanya kamu yang tetap berada di sampingku dan aku tidak mau mengambil konsekuensi itu. Mari kita berjanji untuk selalu berkomunikasi satu sama lain daripada bersembunyi di balik masalah kita. Karena... kamulah yang terpenting bagiku."
Akhirnya kamu bisa tersenyum sambil menganggukkan kepala tanda setuju padanya. Kamu mengecup keningnya sekilas, lalu membawanya ke dalam pelukan hangat. Kamu begitu terbawa suasana hingga aku menangis tanpa suara, membenamkan wajahmu di sela-sela lehernya. Inilah saat yang kamu tunggu-tunggu, dimana dia tak lagi berpikir untuk menyembunyikan masalahnya darimu.
Kamu bisa merasakan tubuhnya rileks saat dia membalas pelukan hangatmu. Air mata kebahagiaan dan kelegaanmu membasahi lengan bajunya saat dia membalas dekapanmu erat-erat. Dia melepaskannya setelah kalian berdua sudah tenang kembali. Kita berbagi ciuman kecil dan lumayan intim sebagai ucapan terima kasih karena telah meruntuhkan dindingnya untuk menemukan dirinya yang sebenarnya.
"Sekarang kita sudah berbagi momen sentimental, mari kita lupakan hal itu dan tidurlah yang nyenyak. Ya, sayang?"
Dia terkekeh melihatku dengan air mata berlinang saat kamu membersihkan ingus dari hidungmu. Tapi kamu yakin sesuatu tentang pemandangan absurd itu menghangatkan hatinya.
"Kamu terlalu menggemaskan. Kemarilah."
Kamu hampir tidak bisa berkata apa-apa sebelum Nagi menarikmu dengan lengannya yang kuat, dia meremas tubuhmu sambil mengecup keningmu berkali-kali. Dia memperlakukanmu seperti bayi sekarang dan kamu merasa seperti bisa tertidur dalam pelukannya kapan saja.
•••
gawat aku kehilangan ide ‼️😔🙏🏻 pengennya nulis yang sedih-sedih