Antha berbaring di kasurnya. Mengingat hari mulai larut namun matanya belum bisa terpejam. Sesekali mengecek notifikasi di ponselnya, namun tak ada yang menarik sama sekali. Hanya sendau gurau teman-temannya di grup.
Teman-temannya sibuk membahas tugas kelompok pelajaran ekonomi mereka, Antha hanya menghela nafasnya. Sungguh malam ini terasa bosan. Tadi ia mencoba menuliskan beberapa kalimat di bindernya, namun rasanya mood-nya sedang tidak bisa berkompromi. Untuk itu Antha memilih berbaring di kasurnya bermalas-malasan. Matanya menoleh ke arah jam dinding, waktu menunjukkan pukul 8 malam.
Ia mencoba mengingat kejadian tadi siang, dimana si Pengendara Motor Oranye memperkenalkan dirinya di depan banyak orang. Memang tidak terlalu banyak, tapi setidaknya Antha bisa melihat nya di depan mata nya langsung. Walau tidak bisa di pungkiri suaranya tidak begitu lantang terdengar namun cukup membuat debar jantung Antha tak karuan.
Berulang kaki Antha mengerjap-ngerjap kan matanya, alih-alih agar bisa segera tidur, namun tetap saja tidak mengantuk. Tiba-tiba ponsel Antha bergetar, pertanda ada notifikasi yang masuk. Antha segera melihat ponselnya, namun Antha tiba-tiba mengernyit dibuatnya
08*********99
Hai! Udah, tidur?
Dih, siapa nih? Stress ni orang.
Antha tidak menanggapi dan lebih memilih mengabaikan pesan masuk tersebut, sebuah SMS nyasar, pikirnya. Selang beberapa menit, ponselnya kembali bergetar, mau tak mau Antha harus melihatnya.
Kok, nggak dibales? Lo udah tidur?
Jujur Antha juga bingung, sebenernya siapa yang mengirimi nya pesan seperti ini malam-malam begini. Yang mengetahui nomor ponsel Antha hanya beberapa orang saja. Hanya orang terdekatnya, sebab Antha tidak sembarang memberikan nomornya pun amat susah jika di mintai nomor ponsel nya.
Ini, Gian. Udah tidur ya? Yaudah, good night, Antha yang manis.
Antha dibuat melongo tak percaya melihat notifikasi selanjutnya. Gian? Astaga. Darimana dia berhasil mendapatkan nomor ponsel Antha? Tunggu, ini juga bukan prank yang biasa dilakukan oleh Olin, Tania maupun Hilya. Mereka bertiga justru tidak begitu menyukai Gian. Lalu? Jika benar ini Gian, darimana dia berusaha sekuat tenaga mendapatkan nomor ponsel Antha?
Antha mengumpat. Ia langsung menonaktifkan sambungan data nya dan men-charger ponselnya. Ia bergegas tidur dengan perasaan kesal, alih-alih ingin tidur dengan mimpi yang manis, Antha dibuat kantuk dengan perasaan tak karuan oleh Gian.
Sialan lo, Gian!
*****
Pagi hari Antha bangun dengan tergesa-gesa, ia langsung bergegas ke kamar mandi. Setelahnya dengan cepat memakai seragam lalu pergi keluar kamar mencari keberadaan Ibu nya.
Di dapur tidak ada, di kamar mandi juga, di ruang tamu pun sama. Di halaman rumah? Nihil. Sebenarnya, kemana Ibunya pergi se-pagi ini? Waktu sudah semakin siang, tapi Ibunya belum juga menunjukkan batang hidung nya. Adik kecil nya masih tertidur pulas di kamar Ibunya, ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 6.30, biasanya jam jam 6.05 ia sudah berangkat ke sekolah.
Tunggu dulu, apa Ibunya juga lupa untuk tidak memberinya uang saku sekolah? Antha berlari ke arah kulkas di dapur, ia mengangkat kain penutup kulkas barang kali Ibunya menaruh uang saku Antha di bawah nya. Nihil, tidak ada uang. Antha menghembuskan nafasnya kasar. Ia berpikir, masa bodo jika hari ini pergi ke sekolah tanpa membawa uang saku, masa bodo jika hari ini harus berpuasa hitung-hitung mengganti puasa nya yang batal saat ramadhan lalu. Ia nekat pergi ke sekolah, berjalan gontai ke depan rumah dan tanpa sengaja ia merasa ada yang tersisa di saku nya.
Alhamdulillah, masih ada goceng sisa beli seblak kemaren.
Saat ingin menutup pintu, langkah seseorang membuat Antha cepat menoleh. Antha menghembuskan nafas nya gusar, ternyata Ibunya baru saja pulang dari pasar. Dengan Abang Ojek yang setia membantu membawa barang yang di beli Ibu dari pasar.
Dengan cengiran khas nya Ibu meminta maaf, “Maaf ya, Tha. Ibu lupa ninggalin uang buat kamu. Soalnya semalem ada pesenan kue banyak banget, jadi pagi-pagi Ibu belanja deh. Maaf ya nggak bangunin kamu, udah mendingan kamu sekarang berangkat naik ojek aja ya sama Abang ini.” Ucap Ibunya seraya memberikan uang saku pada Antha.
Antha tidak menjawab dan memilih untuk menyalami Ibunya, tidak lupa dengan uang saku yang langsung ia sambar dan dimasukkan ke saku nya. Ia langsung bergegas ke sekolah dengan Abang Ojek yang tadi sudah mengantar Ibunya.
*****
Antha menelungkupkan wajahnya di lipatan tangannya. Kelasnya ramai sekali hingga menimbulkan suara bising. Itu terjadi karena guru mata pelajaran jam ini tidak masuk, sakit katanya. Tugas sudah diberikan oleh guru piket, namun tidak ada yang mengerjakannya. Terkecuali Antha, ia merasa masih anak baru dan harus mengikuti aturan sekolah sebaik mungkin. Ia mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru piket; begitu pula dengan Viona. Setelah selesai mengerjakan tugas, Antha memilih untuk memejamkan matanya dengan menelungkupkan wajahnya.
Namun tiba-tiba ia ingat sesuatu perihal pesan-pesan semalam yang dikirim Gian padanya. Ia mengangkat wajahnya refleks menoleh ke arah Gian.
Sialnya kini Gian juga tengah menatapnya. Dengan seulas senyum di wajah Gian, namun dengan cepat Antha membuang tatapannya dari Gian.
“Najis, sok cakep!” Decih Antha yang terdengar oleh Viona.
“Antha, kenapa?”
Sadar akan gerutu nya, Antha pun angkat bicara. “Nggak apa-apa, Antha abis liat jurig, Vi.”
Alis Viona bertaut, tak mengerti apa yang di ucapkan oleh Antha. “Jurig?”
Antha menghembuskan nafasnya gusar. Ia menyesal harus mengucap kata yang tidak di mengerti oleh Viona. Pertama Gian, lalu Viona. Kenapa rasanya hari ini begitu buruk? Semua nampak begitu kesal bagi Antha.
Gian, astaga. Kenapa laki-laki itu terus menebar pesona nya pada Antha? Padahal sudah sangat jelas Antha memberi sinyal penolakan dari awal bertemu. Wajah nya tidak terlalu buruk, maksudnya ialah, dia memang tampan tapi Antha tidak tertarik sebab laki-laki itu secara terang-terangan memberi sinyal bahwa dia menyukai Antha. Bagi Antha, dikejar laki-laki yang tidak ia cintai, tidak ada tantangannya. Ia lebih tertarik menyukai lebih dulu meskipun harus tertatih-tatih.
Viona, gadis ini kaku. Namun tidak diragukan lagi otaknya. Gadis itu cukup pintar di kelas, pribadi yang lembut, tidak pernah berkata kasar, tidak pernah bicara gue-lo, namun ada banyak hal yang tidak diketahui oleh gadis itu. Semisal makanan pinggir jalan layaknya cilok, cimol, batagor, penjual es gerobak pinggir jalan, yang mesti nya semua orang sudah pasti mengetahui makanan dasar seperti itu bukan?
Viona memang berasal dari keluarga yang kaya, tapi tidak dengan sifatnya yang seperti orang kaya kebanyakan. Ia jauh dari kata sombong. Ramah dan lemah lembut melekat pada pribadinya; sepertinya calon kandidat putri solo selanjutnya. Tak jarang ia gagap berusaha mengetahui kata-kata asing yang keluar dari mulut Antha.
“Iya, jurig itu nama lain hantu dalam bahasa sunda, Vi.”
“Oh, ya? Dimana?” Viona malah antusias, ia tidak percaya temannya melihat hantu di kelasnya.
Antha merutuki dirinya sendiri, ia menggeleng, “Udah pergi, tadi Antha usir.”
“Yah, padahal Vio juga mau liat. Tapi hebat lo, Antha bisa ngusir hantu. Vio nggak nyangka, Tha.”
Antha tersenyum getir, tak percaya Viona seperti ini.
Hebat biji mata lo! Gue liat setan beneran aja lari.
*****
Bel pulang sudah terdengar sekitar 30 menit yang lalu. Antha belum pulang, masih menunggu Hilya yang sedang latihan bulutangkis, ingin ditemani katanya, mau tak mau Antha menurutinya. Selain pulang satu arah, Hilya juga membawa motor ke sekolah, hitung-hitung mengirit ongkos.
Antha duduk di luar GOR, bersantai di bangku kayu panjang yang memang sengaja dibuat amang-amang penjaga sekolah. Menghilangkan bosan, Antha mengeluarkan ponsel dari saku seragam nya. Andai saja Hilya tahu kalau Antha kembali menyimpan ponsel di saku seragam nya, maka Antha akan habis di ceramahi 6 semester oleh Hilya. Ya, dia selalu mewanti-wanti kepada teman-temannya untuk tidak menaruh ponsel di saku seragam sekolah. Radiasi, katanya. Namun tetap saja teman-temannya yang keras kepala mencuri-curi kesempatan untuk menaruh kembali di saku seragam.
Antha memeriksa notifikasi di ponsel nya, tidak ada yang menarik sama sekali. Namun bangku panjang yang ia duduki tiba-tiba sedikit bergerak, ia menoleh dengan cepat dan mendapati Gian sudah duduk manis di sisi nya.
Laki-laki itu nampak tampan saat ini. Sepertinya ia juga mengikuti ekskul bulutangkis sama seperti Hilya. Jersey yang ia kenakan sedikit basah oleh keringat. Dahi nya di penuhi dengan peluh yang bercucuran, rambutnya agak berantakan tak teratur. Handuk kecil tersampir di bahu nya, serta botor air mineral yang setia ia genggam. Ya, laki-laki itu terus menatap ke arah Antha penuh senyum.
“Ini gue, Gian.” Interupsi nya.
Antha membuang tatapan nya dan menggeser duduknya agar lebih jauh dari Gian. “Udah tau!” Sengit Antha.
“Kenapa sih?” Gian kembali menggeser duduknya mendekati Antha.
“Apa nya yang kenapa?!”
Antha baru saja ingin menggeser duduknya lebih jauh namun tiba-tiba tangannya di cekal oleh Gian. “Jangan geser-geser mulu, nanti jatoh aja baru tau rasa.”
Antha membetulkan posisi duduk nya kembali, dengan perasaan yang tidak senang, Antha mencoba ikhlas duduk berdampingan dengan Gian.
Gian kembali angkat bicara, “Tumben disini, ngapain? Nungguin gue latihan, ya?”
Antha mengernyit tak percaya, entah kenapa ia sangat percaya diri sekali. “Nungguin, lo? Kayak nggak ada kerjaan lain aja gue.”
Samar terdengar tawa Gian, “Terus ngapain?”
“Kepo amat sih, lo!”
Tiba-tiba saja seseorang memanggil Gian untuk kembali masuk ke dalam GOR. Gian memberi kode pada temannya untuk menunggu sebentar.
“Gue masuk dulu ya, dah!” Pamit Gian.
“Bodo amat.”
Gian hanya tersenyum ke arah Antha dan bangkit pergi masuk ke dalam GOR. Setelahnya, yang ditunggu pun akhirnya datang juga. Hilya datang dengan jersey merah nya dan tas yang tersampir di punggungnya. “Oy! Pulang yuk.” Hilya menginterupsi.
Sadar tak di gubris dan melihat air muka Antha yang tidak menyenangkan, Hilya kembali angkat bicara, “Kenapa cemberut, Tha? Kelamaan nungguin gue ya? Sori ya, Tha.”
“Iya, lama lo.” Setelahnya Antha dan Hilya bergegas pulang dengan mengendarai motor Hilya. Kali ini Gian benar-benar cari perhatian pada Antha.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalantha
Teen FictionManusia tidak pernah tahu bahwa jalan perih yang mereka pilih terkadang sebuah jalan yang benar, yang akan membawa mereka ke tujuan yang di impikan, yang di harap. kejadian demi kejadian, hanya bagian dari alur hidup. selebihnya, kau akan terkejut b...