4. Gara-gara kuota

6 3 0
                                    




          Kali ini Antha datang ke sekolah dengan terburu-buru. Pasalnya semalam ia tidur cukup larut demi streaming idol kesukaannya. Bak di beri durian satu truk, Antha begitu bahagia karena mendapatkan kuota nyasar ke nomor ponsel nya. Lumayan bukan untuk streaming. Semalam Gian juga tidak mengirimi nya pesan, mungkin kapok dengan sikap Antha. Mungkin saja ia jadi takut untuk mendekati Antha lebih jauh.

Meski imbas nya begitu besar; bangun kesiangan dan telat datang ke sekolah. Antha begitu puas semalam. Beruntung nya gerbang sekolah masih terbuka lebar, Antha bisa memanfaatkan kesempatan dengan berlari ke kelas atas. Bersyukur pula guru di kelas nya belum datang. Nafas Antha tak teratur sebab ia lari mengejar waktu agar tak tertinggal, Antha duduk terengah-engah setelah menaruh tas di meja nya.

Viona menatap bingung, “Antha, telat?”

Rasanya berusaha untuk tidak mencakar wajah cantik milik Viona, awalnya Antha ingin menjawab jika saja itu pertanyaan dari teman dekat nya, “Menurut, lo? Pake nanya. Mata lo pake dong!” tapi Antha memilih menetralkan nafas nya lebih dulu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Viona dengan, “Iya, Vi.” Antha berusaha untuk tersenyum walaupun rasa nya getir.

Viona mengangguk-angguk layaknya hiasan di dashboard mobil. Beberapa menit kemudian datang lah Pak Hendra yang memberi tahu bahwa pelajaran hari ini tidak ada materi yang harus di lakukan di kelas, melainkan di Lab. Komputer.

Satu hal yang membuat Antha serasa tertimpa tangga ialah karena mendengar kata-kata dari Pak Hendra. “Anak-anak hari ini kita ke Lab. Jangan lupa tugas yang kemarin di kumpulkan sekarang, yang tidak mengumpulkan tugas tetap berada di luar Lab.”

Antha langsung mengecek tas nya berharap ia membawa apa yang di maksud Pak Hendra, namun benar saja tugas nya tertinggal di atas meja makan tadi pagi. Benar-benar sial hari ini. Viona mengajak Antha untuk segera menyusul anak-anak yang lain turun ke ruang komputer, Antha mengangguk pasrah berjalan gontai menuruni tangga. Sebelum masuk ke ruangan, Antha menitip pesan pada Viona.

“Antha, nggak masuk?”

Antha menggeleng pasrah, “Kenapa?” tanya Viona.

“Antha nggak bawa tugas Pak Hendra, Vi. Nanti bilangin aja sama Pak Hendra, Antha nggak bawa tugas.”

Viona mangut-mangut, “Jadi, Antha di hukum?”

Engga, gue mau bangun candi.

“Iya, Vi. Udah sana Vio masuk.”  Viona mengangguk dan masuk ke dalam Lab.

Antha duduk di lantai di depan Lab seorang diri. Matanya memandang  lurus ke depan. Gian? Laki-laki itu masuk ke dalam ruangan tanpa menoleh sedikit pun pada Antha. Tidak jauh dari Lab, ada sebuah ruangan yang biasa di pakai guru-guru piket untuk bergantian menjaga gerbang sekolah, sekaligus memantau anak-anak nakal yang telat datang ke sekolah. Tampak sedikit sepi di ruang piket, namun salah seorang guru laki-laki menghampiri Antha yang tengah duduk di lantai.

“Kamu ngapain disini? Bolos ya? Waduh, perempuan juga nakal amat sih.” Antha langsung diberondong banyak pertanyaan, tidak, lebih tepat tuduhan.

“Bapak su’udzon aja sih. Saya kena hukum Pak Hendra gara-gara tugas saya ketinggalan. Kalo saya bolos, ngapain saya duduk depan Lab begini? Mendingan saya keluar gerbang, pergi kemana kek asal jangan di sekolah.”

“Oh, jadi kamu mau bolos?”

Antha mengusap wajah nya kasar, “Astagfirullah, bapak. Saya kaga bolos pak, sumpah!”

“Lah, tadi kamu bilang mau pergi keluar sekolah.”

“Itu kan hanya perumpamaan, pak.”

“Ya, berarti kamu emang niat bolos.”

Antha kesal bukan main, namun seseorang baru saja menyelamatkan Antha, sebab berhasil mengalihkan pandangan Bapak Cerewet ini padanya. “Eh, kamu! Telat ya? Sini kamu!” si Bapak pergi menghampiri seorang siswa yang dengan santai memasuki gerbang sekolah. Sepertinya dia telat.

Tapi, tunggu. Antha seperti mengenali siswa tersebut. Mata Antha memperhatikan siswa tersebut, jaket chelsea biru dan tas abu-abu. Tidak salah lagi, Antha terkejut seketika. Rupanya si Pengendara Motor Oranye. Yang kali ini datang tidak dengan Motor Oranye miliknya.

Tampak terlihat si Bapak memarahi laki-laki itu. Ia nampak diam dan menuruti kata-kata yang terlontar padanya. Entahlah, ekspresi nya tetap datar meskipun di hujani ceramah sarkas dari guru piket. Tak ada raut wajah sedih maupun takut. Nampaknya ceramah nya telah selesai, laki-laki itu kini membawa tong sampah kecil dan berjalan memunguti sampah daun yang berserakan di sekitar gerbang sekolah; yang memang banyak bunga-bunga yang daun nya berguguran.

Antha jadi tidak bisa diam, ia terus memperhatikan laki-laki itu. Entahlah, Antha harus senang atau sedih sebab kali ini baik laki-laki itu maupun Antha sama-sama tengah di hukum. Raut wajah laki-laki itu biasa saja, seperti orang yang tidak memiliki air muka di wajah nya. Nampak nya ia kini beralih memunguti sampah ke arah Lab. Dengan hati yang berdegub tak karuan, Antha  memutar posisi duduk nya hingga menatap ke arah tangga yang menuju kelas nya. Ia merapal doa agar tidak bertemu tatap dengan laki-laki kesukaannya.

Bunyi krasak-krusuk kini tiba di samping kanan nya. Ia membelakangi laki-laki itu sekarang. Tepat di tempat Antha di hukum, banyak sampah bunga dan daun kering. Suara berisik itu bergantian dengan derap sepatu laki-laki dingin itu. Benar saja, laki-laki itu kini berjalan maju memunguti sampah nya. Yang sudah pasti meskipun Antha menghadap ke arah tangga, dapat melihat laki-laki itu melewati nya. Laki-laki itu lewat tanpa suara permisi sedikit pun, tangannya masih setia memunguti sampah kering dan tangan satu nya setia memegangi tong sampah kecil.

Selanjutnya laki-laki itu beralih arah ke area mushola. Antha mengusap dada nya lega, untung saja ia tidak bersikap yang aneh-aneh. Laki-laki dingin itu kini juga sepertinya sudah mendapat izin dari si Bapak yang memperbolehkan dia untuk masuk ke dalam kelas nya. Ia berjalan santai menuju kelas nya, tidak ada ekspresi wajah yang menunjukkan ke khawatiran nya. Ia sangat terlihat santai dengan earphone yang senantiasa bertengger manis di telinga nya.


Ganteng-ganteng kayak limbad, nggak ada suara nya.



*****


“Lo, tadi katanya di hukum ya? Kenapa?” Hilya melontarkan pertanyaan dengan suara nyaring nya.

Kini mereka berempat tengah berada di kantin, mereka datang ke kantin lebih awal sebab jika telat sedikit saja sudah pasti tidak mendapatkan tempat duduk yang kosong. Meskipun mereka sudah datang lebih awal namun tetap saja keadaan kantin lebih ramai dari yang mereka duga.

Antha yang masih setia menyeruput kuah bakso nya pun mengangguk pasrah, mengingat kejadian tadi pagi yang begitu melelahkan sekaligus mendebarkan.

“Tau, nggak? Gara-gara apa?” Antha malah melontarkan pertanyaan.

“Apa?” Tania angkat bicara.

“Tebak, lah.” Antha kembali mengunyah bakso nya.

Olin yang sedari tadi santai pun ikut bersuara, “Ibu ke pasar lagi terus lupa kasih lu uang saku?”

Antha menggeleng masih dengan dengan kunyahan bakso di mulut nya. “Pasti angkot nya mogok, iya kan?” Hilya ikut menyahut.

“Lupa nyetrika seragam? Sepatu lo ilang? Tali sepatu lo ketuker? Lupa charger ponsel? Apa sih, anjir!” Tania memberondong pertanyaan.

“Bentar, lagi makan, ah! Ribet ngomongnya.”

“Anjir! Lo yang nyuruh nebak, giliran di tanya malah sibuk sama mangkok.” Sinis Tania.

“Sabar, Tan. Kita tunggu sampe dia nelen mangkok bakso nya juga. Sabar aja.” Ujar Olin.

Antha tak kuasa melihat ketiga temannya yang menunggu nya selesai makan dengan wajah yang bertanya-tanya. Ia terkekeh geli, “Iya, iya. Jadi gini-“

“Halo, Antha!” Tepukan tangan mendarat di bahu Antha. Seseorang memotong pembicaraan Antha.

Antha menoleh dan mendapati Gian dengan Tangan yang masih bertengger manis di bahu Antha. Ia menepis nya kasar, “Apaan sih, lo! Kaga usah sok akrab.” Seru Antha.

“Ngapain sih lo? Cari muka?” Ujar Tania.

“Muka lo ilang?” Timpal Olin.

“Makanya di cari?” Tambah Hilya.

“Uuh.. santai-santai. Gue kesini nggak ada urusan sama kalian, kenapa kalian yang sinis. Gue kesini karena ada urusan sama Antha.” Ujarnya dengan senyuman yang menyebalkan.

“Apa? Gue nggak ngerasa ada urusan apa-apa sama lo.”

“Bukan, gue mau nanya aja.”

“Apa?!” Balas Antha sinis.

“Semalem, kuota nya udah sampe belum?” Tanya Gian pada Antha dan berlalu meninggalkan Antha yang masih terbelalak tak percaya.

Rupanya kuota nyasar itu memang sengaja di kirim Gian. Antha terkejut bukan main. Ia merasa dikalahkan oleh Gian. Laki-laki itu patut di acungi jempol, ia tahu kelemahan Antha, jika Antha bersikap tidak baik padanya, Gian justru tersenyum manis dengan taktik yang mampu memutar balik siapa yang akan merasa lebih sakit.

Awas lo, Gian!




****

KalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang